Semasa Corona, ada banyak hal berubah dalam denyut kehidupan kita. Ada banyak sekali perasaan senang—yang dulu dapat dengan mudahnya ada dan bisa dicari dimana-mana, kini seringkali enggan dan sulit dilakukan. Yaitu bepergian.
Banyak sekali kejenuhan, sepi, sunyi, dan sendiri yang dulunya kerap dibenci namun justru keadaan berbalik saat ini. Yang mau tidak mau, suka tidak suka, diri sendiri pun perlahan mulai menganggap mereka—keadaan—sebagai teman.
Dulu dengan mudah kita bisa pergi keluar rumah dan makan di tempat kesukaan saat suasana hati tidak nyaman. Namun sekarang, tentu banyak sekali pertimbangan yang harus diperhitungkan sebelum memutuskan untuk beranjak dari rumah.
Sering-sering saya mengelus dada sambil menghela napas berat, “baik-baik ya sama diri sendiri.”
Bepergian, melakukan perjalanan
Perjalanan kali ini saya sebut dengan nama “perjalanan tanpa tujuan”. Berdua bersama Bapak, kami melangkah dari rumah menuju Karawaci atau Tangerang kota. Kemudian, tanpa ada berhenti, kami pulang kembali ke rumah.
Meski hanya sebuah rute pendek, tapi perjalanan kali ini membawa saya menemukan apa-apa yang sebelumnya sudah lama hilang.
Mengapa Tangerang kota? Jujur saya ingin melihat lagi keramaian. Ingin sekali melihat gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Jakarta terlalu jauh untuk ditempuh. Dan juga sepertinya saya belum siap untuk kembali lagi ke sana. Oleh karenanya, untuk mengobati rasa rindu yang ada, Tangerang menjadi pilihan perjalanan kali ini.
Tangerang, meski tak begitu banyak gedung-gedung tingginya, tapi tetap membuat dua bola mata saya terpana.
Dalam perjalanan sore itu—yang meskipun saya hanya duduk diam di mobil, rasanya cukup menyenangkan dilakukan daripada suntuk di dalam rumah dan menerbangkan pikiran entah kemana jauhnya.
Refreshing tipis-tipis ini pun bukan hanya sekadar jalan. Dalam perjalanan ini, saya seperti diajak kembali bertemu dengan diri saya yang dulu.
Perputaran waktu yang melambat
Adalah waktu, yang saya sadari pertama kali kala itu. Hiruk-pikuk kendaraan serta perjalanan yang dilakukan saat jam pulang kantor membuat ritme perjalanan berjalan lebih lambat. Waktu yang terasa melambat ini membawa saya untuk berpikir dan merenungi apa yang selama ini berjalan dan pada akhirnya terbuang dengan percuma.
“Masih macet juga, ya?” pikir saya sembari melihat beberapa motor yang berjalan tersendat-sendat di belakang truk dan bus. Bukti bahwa banyak yang WHF atau fenomena work from home hanya dirasakan oleh sebagian pekerja kantoran saja.
Perjalanan sore hingga petang bersama Bapak, sering kami isi dengan obrolan-obrolan sederhana. Seringkali kami berbincang tentang hidup, sesekali tentang berita yang sedang hangat-hangatnya di hari itu, kami berbincang apapun ditemani alunan kaset DVD kesukaan Bapak saat berpadu kasih dengan Ibu saat masa lalu.
Dari dalam mobil, saya terpana dengan senja sore yang menghias langit dengan indahnya. Beberapa jepretan saya ambil dengan kamera ponsel, mengabadikan perjalanan sore bersama Bapak kala itu.
Saya begitu bersyukur, meskipun belum leluasa untuk bepergian setidaknya dengan cara seperti ini saya bisa untuk menjaga ‘kewarasan’, tentunya dengan tetap taat pada protokol kesehatan.
Melihat pohon-pohon pinggiran jalan, awan yang berpindah halus kesana-kesini, obrolan yang dilakukan dengan suasana baru, rasanya cukup membawa angin segar, dan saya bisa pulang dengan perasaan lebih bahagia dari sebelumnya.
Dunia berubah cepat
Saat memasuki jalan bebas hambatan, mobil pribadi dan bus kota mendominasi. Mereka melaju cepat di lajur kanan untuk saling mendahului. Mendadak saya tersadar, bahwa apa yang ada di kolong langit ini begitu cepat berubah dan sifatnya hanya sementara.
Karena sejatinya memang, begitu kan?
Saat saya sedih, kecewa, hancur, dan banyak perasaan gelap lainnya. Dunia akan tetap berjalan. Tidak peduli tentang seberapa gelap serta gemuruhnya hati saya. Meratapi dan gelisah tentu bukan pilihan terbaik. Karena semua itu hanya akan membuang waktu.
Lalu, menangis? Tentu saja sebagai manusia menangis adalah pasti. Tidak apa-apa karena sedih juga akan berdampingan bahagia nantinya.
Perjalanan sore tanpa tujuan ternyata membuat saya sadar bahwa yang hilang ternyata bisa ditemukan. Saya pun kemudian melihat raut wajah Bapak yang fokus menyetir sembari menanggapi pertanyaan saya yang masih abu-abu dan merasa kecil terhadap dunia, saya tersenyum sendiri.
Jadi, sampai di sini, apa yang ingin kamu temukan saat sudah banyak kehilangan datang?
Dan apa yang kembali saat sudah tidak kamu harapkan lagi?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Melancholic Person who writes deep feelings & intimacy. I talk about love & life in my podcast ‘Kita & Waktu’ only on Spotify. Instagram; helobagas.