Events

Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta

Berdiri sejak 26 September 1982, Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) tahun ini kembali merayakan ulang tahunnya yang ke-42. BBY menggelar pameran seni rupa dengan tema “Tarik Tambang”, menampilkan karya seni rupa yang sesuai dengan realitas sosial di Indonesia. Konsistensi BBY dalam merayakan ulang tahunnya ini tentunya juga untuk melestarikan dan memperkenalkan seni tradisi dan seni modern kepada masyarakat, agar eksistensinya tidak terkikis zaman. 

Pameran ini dibuka pada Kamis (26/9/2024), yang dimeriahkan oleh Elisha Orcarus Allaso dan Campursari Grapyak Semanak Yogyakarta. Pameran berlangsung sampai 4 Oktober 2024, dibuka pada pukul 10.00–21.00 WIB.

Pada Jumat sore (4/10/2024), saya bersama teman saya, Afrinola, mengunjungi gedung BBY yang beralamat di Jalan Suroto 2, Kotabaru. Cukup mudah menemukan lokasi BBY, karena di atas gerbang pintu masuk terdapat plang bertuliskan “KOMPAS”. Grup Kompas Gramedia memang ikut mendirikan dan menyokong dana pembangunan BBY.

Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
Tampak depan gedung Bentara Budaya Yogyakarta/Danang Nugroho

Mengenang Sejarah dan Tradisi Masyarakat Indonesia

Saya datang sekitar pukul 17.15, menjelang azan Magrib tiba. Saya tidak sempat bertemu kurator di sana untuk saya wawancarai. Saya hanya menemui penjaga registrasi pameran. Saya lalu memperkenalkan diri dan mencoba bertanya-tanya.

“Maaf, Kak. Karena sudah malam [di luar jam kerja], para kurator sudah tidak ada di sini. Saya tidak ada wewenang memberikan informasi karena takutnya salah dengan informasi sebenarnya. Nanti Anda bisa gali ulasan karya via Instagram Bentara Budaya Yogyakarta dan ‘e-katalog’-nya saja,” tuturnya.

Dilansir dari reels Instagram @bentarabudayayk, Romo Sindhunata, salah satu kurator BBY, mengemukakan bahwa Bentara Budaya, sebagai lembaga yang selalu mengenang sejarah dan tradisi, selalu berusaha untuk menemukan tema-tema yang dekat dengan kehidupan rakyat sehari-hari.

“Tarik tambang itu pasti ada di setiap pikiran orang [Indonesia], karena ini berkenaan dengan proklamasi [kemerdekaan Indonesia] setiap kali peringatan ulang tahun. Sebagai realitas, ini [atraksi tarik tambang] ada, dan mengena,” tutur Romo Sindhunata.

Jika mengulang kembali perayaan 17 Agustus-an, peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tentu frasa “tarik tambang” tidak akan jauh dan relevan dengan masyarakat Indonesia. Biasanya pada beberapa tempat, entah itu padukuhan, desa, sekolah, tempat kerja, ataupun tempat-tempat lainnya, mengadakan lomba-lomba untuk semarak kemerdekaan. Salah satunya lomba atraksi tarik tambang.

Maklum, sebagai hiburan masyarakat, atraksi tarik tambang biasanya tak mengunggulkan kemenangan di atas kekalahan. Peserta yang kalah dan yang menang akan tertawa bersama. Begitu pula dengan para penonton yang menyaksikan. Hal itu dikarenakan mereka sedang merayakan kegembiraan bersama menyambut kemerdekaan. 

Akan tetapi, alih-alih menyoroti tradisi ultah kemerdekaan itu. Tarik tambang juga berkaitan dengan kondisi sosial-politik yang belum lama ini menjadi perbincangan bagi masyarakat Indonesia, yaitu terkait konsesi tambang bagi ormas keagamaan.

  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta

Karya-karya yang Selaras dengan Polemik di Indonesia

Sebelumnya, menyambut kedatangan pemerintah baru, BBY mengundang para perupa, baik pelukis maupun pematung, untuk berpartisipasi dalam pameran ini. Sebanyak 33 perupa ikut terlibat. Hasilnya, para perupa tidak menyoroti “Tarik Tambang” sebagai atraksi saja, tetapi menjadi alegori bagi tarik-menarik kekuasaan, yang sesuai dengan polemik sosial-politik di Indonesia.

Jika direnungkan, setelah Pemilu 2024, seakan penguasa politik Indonesia sudah tidak peduli lagi dengan fungsi dan keluhuran kuasanya. “Tarik Tambang” bukan seperti atraksi pada 17 Agustus-an lagi, bukan lagi kegembiraan yang mewarnai, melainkan hasrat akan kekuasaanlah yang mendominasi. Mereka tarik-menarik di antara satu dengan yang lainnya, tanpa memerhatikan keprihatinan terhadap masalah-masalah yang dialami rakyat.

“Maklum, karena begitu mendengar kata tambang, walaupun asosiasi kami sebenarnya lebih terkait [atraksi] tarik tambang. Orang teringat akan policy pemerintah yang sempat menjadi polemik, justru di akhir pemerintahannya memberi konsesi kepada ormas keagamaan untuk bersedia mengelola tambang,” ucap Romo Sindhunata.

Tema “Tarik Tambang” ternyata menjadi pemantik teman-teman seniman untuk mencurahkan keresahan mereka pada karyanya. Mereka juga mengkritisi polemik konsesi tambang yang diberikan pemerintah kepada ormas keagamaan tersebut. Bagaimana tidak resah? Sebelumnya ormas-ormas kelihatan malu-malu untuk menerima tawaran itu. Akan tetapi, kemudian sebagian menerimanya. Hanya sebagian kecil yang menolaknya.

Karya Hermanu, misalnya, berjudul “UNTUNG DUNIA MASIH BERPUTAR (TERJERAT TAMBANG)”, yang memperlihatkan dua simbol ormas keagamaan terbesar; bintang, bumi, berwarna biru dan hijau, yang ditarik oleh tambang (tali yang besar). Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah ormas keagamaan itu perlu ke sana? Karena jika direnungi, tambang dan agama itu dua bidang yang berbeda.

Kemudian, karya Alit Ambara “TUG OF WAR”, yang memperlihatkan sebuah bumi terikat tali tambang dan terperas hingga bentuknya menyerupai angka delapan. Jika dibayangkan, tentu itu merupakan simbolik pemerasan yang sangat destruktif, apa saja yang diperas dari bumi hingga bentuknya tidak bulat lagi.

Di karya foto, Ferganata Indra membawa judul “(SI)JI (LO)RO (TE)LU”. Gambar itu memperlihatkan keserakahan pengerukan tambang pasir, sampai-sampai truk itu perlu ditarik dengan tali yang besar secara beramai-ramai. Hal itu memperlihatkan bagaimana sebagian orang masih saja membantu keserakahan oknum yang menambang pasir.

Selain tiga karya itu, masih ada 30 karya lain yang juga menampilkan sebuah seni rupa. Karya-karya ini juga berkaitan dengan atraksi tarik tambang dan kritik pada polemik konsesi tambang bagi ormas keagamaan di Indonesia. Karya-karya itu dapat dilihat melalui katalog elektronik di situs web bentarabudaya.com.

  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta

Menyisihkan Perhatian pada Masyarakat Pinggiran

Setelah saya mengamati semua pameran ini, saya cukup puas dan mengapresiasi BBY yang masih peduli terhadap polemik di Indonesia. Pameran ini memperlihatkan bagaimana perayaan ulang tahun itu bukan hanya untuk kegembiraan saja. Akan tetapi, pemeran ini mengajak masyarakat untuk lebih peka lagi terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia yang memprihatinkan.

Kepekaan yang saya maksud adalah melihat orang-orang pinggiran yang selalu saja dibiarkan menderita. Karya Ledek Sukadi, yang berjudul “HAI SANG PENGUASA”, menggambarkan seorang pejabat atau penguasa sedang mengendalikan rakyat kecil dengan gerobak yang bertulis “GERBONG DERITA”. Penguasa yang serakah menjadi jalan derita bagi mereka masyarakat pinggiran.

Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
Karya Ledek Sukadi yang memperlihatkan keserakahan pejabat dan membuat rakyat menderita/Danang Nugroho

Pameran ini adalah dinamika bangsa yang digambarkan melalui karya-karya seni rupa. Masih ada kepedulian dan perhatian BBY beserta para seniman yang terlibat terhadap masyarakat pinggiran. 

Seperti ungkapan Romo Sindhunata dalam Instagram BBY, “Saya menjadi teringat seorang di Kalimantan mengatakan: ‘kalau semua hutan di Kalimantan digunduli dan orang beramai-ramai ke sana mengeruk tambang, tidak mustahil Kalimantan yang rimba raya ini menjadi padang gurun yang luas di masa depan’.”

Selain pernyataan itu, saya juga teringat pada postingan channel Youtube Watchdoc Image yang menayangkan film dokumenter SEXY KILLERS. Film ini mempersoalkan permasalahan tambang dan masyarakat pinggiran yang terkena dampaknya. 

Lewat perayaan ke-42 BBY, tentu kita sebagai masyarakat Indonesia diajak untuk merenung dan mempertanyakan lagi, apakah kegembiraan masyarakat masih menjadi prioritas? Atau justru kepentingan segelintir orang saja yang lebih diutamakan?

Belajar dari tulisan guru saya, Pak Eko Triono, dalam buletin Mimesis 2024 yang dicetak Divisi Susastra Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta (KMSI UNY), cerita yang baik tidak memberi kesimpulan. Cerita yang baik memberikan kesan, juga beban pada pikiran pembaca, dan saya juga mencoba melakukannya di akhir tulisan ini. Jadi, silakan dijawab dan disimpulkan sendiri. Tabik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Danang Nugroho

Aktif kuliah di Jogja. Verified Writer di IDN Times. Suka menulis dan mendengarkan musik yang mellow..

Aktif kuliah di Jogja. Verified Writer di IDN Times. Suka menulis dan mendengarkan musik yang mellow..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo