INTERVAL

Pentas Seni Desa Gedangan: Menyambut Hari yang (Semoga) Benar-Benar Merdeka

Gas (Bagas), langit begitu indah dan banyak bintang. Aku jadi teringat Ifan. Ia selalu saja tertawa dan jenaka ketika kita latihan warok bersama. Kejenakaan dia menebar dan membuat orang sekitarnya menjadi semangat latihan, padahal sebelumnya kita dan teman-teman lain sudah letih dan kurang semangat.

Bayangkan saja, misal saat HUT ke-80, seluruh orang di Indonesia mengenal dan melihatnya. Tentu mereka akan turut tertawa karena terpengaruh kejenakaannya. Kira-kira, akan disebut negara bahagia atau negara jenaka, ya?

Kalau semua orang tertawa tanpa tertawan dan merasa merdeka, tentu itu bisa disebut negara bahagia, katamu. Tapi kalau kondisi sekarang mungkin masih disebut negara jenaka. Lha wong bendera One Piece dikibarkan saja dikira makar, tambahmu.

Malam itu kita tertawa bersama. Beralas karpet merah di teras rumah, angin dan langit malam setia menemani kita sebelum fajar merekah. Aku pun memejamkan mata dan teringat Sabtu–Minggu lalu.

Tepat tanggal 2–3 Agustus 2025, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali mengadakan pentas seni rakyat di Dusun Tegalurung. Hari Minggunya, Dusun kita main peran warok temanggungan.

Tak hanya itu, sebelumnya acara juga dimeriahkan oleh berbagai hal. Kreasi anak sekolah, senam sehat ibu-ibu, lalu seni yang berbeda-beda dari tiap dusun di Gedangan.

Pentas Seni Desa Gedangan: Menyambut Hari yang (Semoga) Benar-Benar Merdeka
Peserta dari Dusun Dangean yang berperan sebagai reog temanggungan/Agil Muhamad Yasin

Berperan Semestinya, Bertanggung Jawab Semestinya

Kebahagiaan datang dari pintu yang riang, maka dari itu akan rugi jika kita tidak tertawa. Latihan-latihan kita lewati dengan penuh jenaka. Namun, di tengah panggung kita berhenti tertawa untuk memperlihatkan sisi garang warok temanggungan bersama.

Tidak ada juri, tidak ada nominasi juara. Ini adalah arena nguri-nguri budaya seni untuk menyambut dan merayakan hari ulang tahun Republik Indonesia.

Tiga minggu sebelum pentas, kita sering latihan bersama, dilatih oleh Vito dan Sholeh, dikoordinasikan oleh Yoga, Bayu, Dhea, dan Aji. Diperankan oleh kita (Ririn, Maya, Naya, Denishya, Ana, Janah, Ifan, Firman, Bagas, Galih, Krisna, dan aku). Tak lupa mantan RT Pak Widodo yang selalu memberi doa, serta masyarakat Dusun Dangean yang selalu mendukung.

Yang paling jenaka adalah Ifan. Dengan celoteh teman-teman, “Pan, sadar, Pan!” sebuah ungkapan yang diambil dari video Shorts kocak yang viral.

Ulah Ifan yang sering tertawa dan tindakannya yang jenaka membuat kita selalu riang ketika latihan. Ia juga yang paling lincah memerankan waroknya, karena ia sendiri juga ikut salah satu sanggar kesenian reog.

Tapi Minggu itu, waktu kita tampil, aku sudah tak melihat wajah-wajah jenaka kalian. Apa karena terpengaruh Ifan yang sudah berhenti jenaka dan berganti peran warok temanggungan yang garang? Atau karena kita diberi tanggung jawab dan disorot oleh banyak mata?

Jika kedua pertanyaanku itu jawabannya adalah “iya”, maka pikirku harusnya begitulah orang Indonesia. Kalau memang mau benar-benar merdeka, pertama, orang yang berpengaruh seperti Ifan harusnya selalu memberi dan menebar kebahagiaan bagi semua. Kedua, jika mempunyai tanggung jawab dan disorot banyak mata seperti kita, memang seharusnya berperan yang terbaik agar tak mengecewakan banyak orang.

Bayangkan saja, jika kita orang berpengaruh seperti Ifan, tapi memberi pengaruh buruk bagi banyak orang. Atau, jika kita diberi tanggung jawab dan dilihat oleh banyak orang, tapi malah tidak bertanggung jawab dan berperan tidak semestinya. Bukankah keduanya itu malah merugikan banyak orang?

Syukurlah, Aku melihat Ifan memberi pengaruh yang baik bagi kita ketika latihan ataupun saat pentas. Dan kemudian melihat kalian berganti peran semestinya. Bertanggung jawab semestinya. Memberi keindahan bagi banyak mata. Tidak ada yang kecewa. Semoga dicontoh oleh pejabat-pejabat, orang-orang yang berpengaruh, dan orang-orang yang memiliki tanggung jawab di negara kita.

Sedikit Harapan Mengenalkan Indonesia ke Dunia melalui Budaya

Hari itu begitu ramai. Kita ditonton oleh banyak mata. Ternyata kecintaan orang-orang di sekitar kita terhadap budaya seni di negara sendiri masih terjaga.

Aku membayangkan budaya kita mendunia. Seperti tato spidol yang Bagas gambarkan di punggungku. Bajak laut Shirohige, salah satu kelompok bajak laut yang ada di dalam serial One Piece, karya Eiichiro Oda dari Jepang. Aku terinspirasi olehnya, Edward Newgate, kapten kru, yang menganggap semua anggotanya sebagai keluarga, walaupun isinya orang-orang yang berbeda.

Ketika ada salah satu kru yang akan dieksekusi oleh marinir, Edward Newgate dan krunya datang untuk menyelamatkannya. Ketika ada salah satu kru yang diadu domba oleh marinir untuk membunuh dan sudah menusuknya, Edward Newgate tetap tenang, memberi penjelasan, dan memeluknya. Edward Newgate menjadi contoh orang yang berpengaruh sekaligus bertanggung jawab sebagai pemimpin, yang dapat menyatukan anggotanya. 

Tak hanya karena itu. Di sisi lain, aku juga kagum karena bendera One Piece, yang juga jadi inspirasi bagi masyarakat kita untuk dikibarkan menjelang kemerdekaan Indonesia, sebagai bentuk keresahan terhadap keadilan di negara kita.

Bagas sedang menato punggungku dengan logo kru bajak laut Shirohige (kiri) dan tampilan jadi saat rias warok sudah dikenakan/Agil Muhamad Yasin

Kalau saja budaya kita bisa berperan demikian, maka bisa saja menginspirasi banyak orang. Bahkan sampai di luar negara kita. Itu seperti peran Ifan dan kita, berpengaruh untuk banyak orang dan bertanggung jawab ke banyak mata untuk melakukan yang terbaik.

Dengan cara itu, budaya kita tentu juga bisa memiliki kesempatan yang sama. Memperkenalkan Indonesia ke seluruh dunia. Bisa juga memberikan gambaran bahwa budaya di Indonesia adalah berpengaruh baik dan bertanggung jawab. Ah, tapi itu cuma harapanku saja. Aku tersadar waktu itu sedang berperan sebagai warok temanggungan.

Suasananya ramai, sangat seru, ketika ditonton banyak orang, peran itu memang ada. Layaknya teater, kita seperti berganti muka. Berbekal rias warok, kuda lumping, dan tongkat, kita berjingkrak-jingkrak hingga penonton bersorak.

Dua puluh lima menit berlalu. Kita juga disorot dan ditayangkan di kanal YouTube JMP Bayu Aji. Selain sebagai arsip, itu juga upaya untuk memperkenalkan kebudayaan kita melalui ranah digital dan ditonton orang-orang yang belum bisa datang.

Aku membuka mata. Melihatmu, Gas, yang tengah tertidur. Membangunkanmu. Lalu kita pulang dan pergi ke rumah kita masing-masing, ke kamar kita masing-masing, dan melanjutkan harapan serta mimpi kita masing-masing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Danang Nugroho

Danang Nugroho, lahir 2004 di Boyolali. Kini sedang menempuh pendidikan di Jogja. Suka berkelana serta menikmatinya. Dapat dihubungi via instagram @danang.kulo_real atau email [email protected].

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Museum Pertama di Boyolali (1)