Sampai bakda magrib, Budisni dan Sobri Lail belum juga memberi aba-aba bahwa pertunjukannya telah atau akan dimulai. Sedari pukul 17.00, tak ada yang namanya pembawa acara dan basa-basi pembukaan seperti biasanya. Seakan-akan, pertunjukan dimulai begitu penonton mempertanyakannya.
Beberapa hari sebelumnya, Budisni dan Sobri Lail mengumumkan jadwal manggung dengan tajuk Cintaku, Kalah: Mini Tour Budisni x Sobri Lail. Melalui unggahan Instagram, mereka menulis, “Sebuah skema pencarian bentuk artistik pertunjukan Cintaku, Kalah di ruang publik. Kolaborasi ini akan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan cinta, lengkap dengan patah hatinya, di kehidupan kontemporer.”
Mini tur itu dapat ditengarai alasannya, karena pada 19 Juli 2025, Budisni baru merilis single “Cintaku, Kalah” di kanal-kanal musik digital. Dibersamai Sobri Lail, seorang seniman pertunjukan, Budisni berencana mengunjungi empat tempat: Bjong Ngopi Nologaten (28 Juli 2025), Teko, Su Street Coffe (30 Juli 2025), Kedai Sabana Tak Bertepi (3 Agustus 2025), dan Ambarpranaasmara Studio (10 Agustus 2025).

Di Kedai Sabana Tak Bertepi
Hari itu (3/8/2025), saya kebetulan ada janji dengan seorang kawan di Kedai Sabana Tak Bertepi. Lantaran usia studi sudah lumayan tua, kawan saya itu mengajak saya mengerjakan skripsi bersama-sama di Kedai Sabana ini. Memang, di kota pendidikan, hal-hal begini lazim adanya. Baik itu ‘mengerjakan skripsi di kedai kopi’, ataupun ‘mahasiswa tua yang telat sadar’.
Sore itu, saya belum tahu-menahu soal ada apa di kedai. Kawan belum juga datang. Saya mengambil duduk di pojok, berniat memandangi langit jingga yang memudar. Tetapi malahan saya hanya memandang ke satu meja di tengah. Berbeda dengan yang lain, meja itu diselimuti kain putih, semacam kain mori. Kemudian diletakkan berhadapan dua kursi, lengkap dengan dua mikrofon, mengingatkan saya pada set podcast. Terdapat satu pengeras suara yang dihadapkan ke tengah, seakan hendak menjadi monitor suara. Tepat di atas meja itu, dipasang satu lampu general yang menempel di kayu atap.
Ketika kopi tubruk pesanan saya diantar, saya pun bertanya pada yang mengantar. Ia menjelaskan, apabila saya masih penasaran, ia menyarankan saya memeriksa detailnya di Instagram. Ia memberi tahu saya nama pengguna @budisni dan @sobri_lail. Saya pun mencari tahu, dan lantas tahu, apa yang sedang dan akan terjadi. Laptop batal saya buka. Kawan batal saya kirimi pesan sampai di mana. Rokok saya nyalakan. Saya menunggu.
Pada unggahan Instagram, tertulis bahwa acara ini dimulai pada pukul lima. Tetapi kini, hingga magrib usai, tak ada tanda-tanda ada yang dimulai. Memang, sedari kedatangan, telah terputar lagu-lagu yang kelak saya tahu bahwa itu adalah karya-karya Budisni. Melalui pengeras suara di tengah, juga di langit-langit kedai, lagu-lagu itu diputar terus menerus. Dan di meja yang mirip podcast itu, Budisni dan Sobri Lail pun hanya duduk. Tangan mereka sibuk berurusan dengan kertas. Waktu saya mendekat, mereka tengah menulis kata I, gambar hati, dan you, lantas melipatnya sampai terbentuk pesawat. Saya pun teringat kenangan ketika ada jam kosong di usia sekolah.
Saya lantas melihat sekeliling. Pengunjung lain tampak menggaruk-garuk kepala. Beberapa ada yang tak acuh, sibuk mengobrol. Lainnya tenggelam di balik layar laptop. Sementara di tengah, Budisni dan Sobri Lail hanya menulis dan melipat. Begitu saja, terus-menerus. Sampai, pesawat-pesawat kertas itu menggunung di meja dan tumpah beberapa.


Pesawat Cinta
Pertunjukan dimulai ketika pengunjung sadar bahwa pertunjukan telah dimulai. Dan salah satu tanda kesadaran ialah timbulnya pertanyaan. Memang sedikit problematik. Bagaimanapun, pengalaman dan pemahaman orang tentulah berbeda-beda. Tetapi barangkali situasi itulah yang ingin dihadirkan Budisni dan Sobri Lail. Mereka seakan memberi tanda dengan tidak menghadirkan tanda. Maka, pertunjukan dimulai ketika pengunjung sadar bahwa pertunjukan telah dimulai.
Tepat setelah azan Isya berkumandang, lagu-lagu Budisni berhenti. Kini yang terdengar adalah suara semacam nada dering telepon. Tiba-tiba, Budisni dan Sobri Lail berdiri. Mereka lalu menggerakkan pemanasan, bagai hendak berolahraga. Satu per satu, saya perhatikan, yang mengobrol berhenti. Laptop ditutup. Semua mata tampak menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Budisni dan Sobri Lail berganti baju. Kini mereka mengenakan pakaian yang lebih formal: berkemeja, bersepatu. Sementara sebelumnya mereka hanya berkaus, tanpa alas kaki. Pelan-pelan, Budisni membuka kunciran yang mengikat rambut gondrongnya. Ia lantas mengambil gitar yang ternyata ada di balik meja. Sementara Sobri Lail memupurkan bubuk putih—mungkin bedak atau tepung—ke seluruh mukanya. Ia mengingatkan saya pada saat-saat hendak berangkat ngaji di TPQ. Lalu pria berpupur yang lucu itu beranjak, berkeliling ke para pengunjung. Ia membagi-bagikan kertas yang telah bertuliskan makna aku cinta kamu itu.
Tanpa diperintah, pengunjung dengan sendirinya melipat kertas pembagian itu menjadi pesawat kertas. Saya pun ikut-ikutan. Sejenak, saya lupa tujuan kedatangan. Kawan yang belum datang pun saya tak begitu peduli.
Barulah Budisni menyanyikan lagu-lagunya secara langsung. Saya tentu tak tahu-menahu judul-judulnya. Hanya, kelak saya tahu bahwa Budisni baru merilis dua single di kanal-kanal musik digital: “Beri Aku Sebuah Dangdut” dan “Cintaku, Kalah”. Ternyata, tak semua yang sedari tadi terdengar dan kini dinyanyikan sudah dirilis oleh penyanyinya.
Sewaktu Budisni bernyanyi, Sobri Lail memulai aksinya. Ia menerbangkan ‘pesawat cinta’ ke sembarang penjuru. Akibatnya, pengunjung terpancing untuk membalas. Sempat saya dengar ada celotehan semacam, “Kubalas cintamu!” “Terima ini!” dan semacamnya. Entah dari siapa.
Puncaknya, bagi saya, adalah di lagu yang kelak saya tahu berjudul “Cintaku, Kalah”. Pesawat-pesawat cinta beterbangan di angkasa kedai. Saya saksikan orang-orang berderai tawa. Semata-mata kontras dengan lirik yang dinyanyikan:
Kuharus menulis surat sebab keterbatasanku
Dunia menuntut banyak hanya ‘tuk berbicara
Oh, hanya, yang hanya, dan hanya
Ucap selamat tinggal
Di sini aku mengerti kekhawatiranmu
Kau punya mimpi-mimpi yang tak mampu kuikuti
Oh, kesepianku dan kekalahanku
Ya, biarlah
Oh, inilah cinta yang kalah
Oh, ini cinta yang kalah
Demi kepastian di papan iklan
Yang memaksamu
Yang merenggutmu
Dariku
Aku bagai pendar cahaya
Yang tersapu lampu kota
Cintaku, kalah

Pertanyaan-pertanyaan yang Membekas
Seperti memulainya, saya tak siap pertunjukan ini berakhir. Tangan saya belum puas menerbangkan pesawat-pesawat cinta. Saya mengenang banyak hal. Seakan masa lalu begitu dekat; letaknya di hadapan.
Tetapi ternyata waktu mengembalikan kenyataan. Para pengunjung bertepuk tangan. Budisni dan Sobri Lail menundukkan kepala.
Dan seperti dugaan saya di awal, Budisni dan Sobri Lail kembali duduk. Mereka mulai mengobrol, layaknya podcast. Namun, itu tak lama, karena ternyata terdapat sesi diskusi. Semacam tanya-jawab dan berbagi pengalaman menyaksikan.
Ada dua pertanyaan yang saya kira cukup membekas di ingatan saya. Kira-kira beginilah transkripnya:
Penanya 1 (Mang Kiki): “Aku sangat tersentuh dengan lagu-lagu yang dimainkan. Rasanya ingin sekali menangis. Tetapi, di waktu yang sama, melihat orang-orang girang menerbangkan pesawat, aku jadi batal sedih. Malahan ingin tertawa. Itu kenapa sih begitu?”
(Budisni dan Sobri Lail tertawa).
Budisni: “Ya. Itu adalah tawaran konsep dari Sobri. Dan itulah yang saya suka darinya. Ia selalu punya keinginan lebih dengan cara-cara sederhana. Bagaimana, Sob?”
Sobri: “Terima kasih sebelumnya. Waktu mendengar lagu-lagu Mas Budi pertama kali, terutama mungkin yang “Cintaku, Kalah”, saya sedih sekali. Tetapi, setelah saya terus mendengar, kok sepertinya ada yang bisa dimaknai lebih. Saya merasa sebetulnya lagu itu tak melulu soal kesedihan. Jadilah saya sengaja mengganggu, atau membagikan, pengalaman saya mendengarnya dengan mengajak menerbangkan ‘pesawat cinta’ itu.”
Penanya 2 (Jazuli Imam): “Jujur, ini pengalaman yang kaya. Menerbangkan pesawat cinta itu bagi saya adalah hal yang menakjubkan. Tetapi, mungkin saya ada sedikit masukan. Sekadar meramaikan.”
(Budisni dan Sobri Lail mengangguk-angguk, menyimak).
Penanya 2 (Jazuli Imam): “Bagi saya, lagu “Cintaku, Kalah” ini punya tafsiran yang luas. Bagi yang putus cinta, ini adalah kekalahan yang romantis. Tetapi, bagi seorang demonstran, barangkali papan iklan yang dimaksud adalah papan iklan yang dilapisi tulisan-tulisan protes, Adili Jokowi, misalnya. Dan kekalahannya adalah kekalahan bernegara. Dan masih banyak lagi tafsirannya, sesuai latar belakang pendengar.
“Nah, saat Mas Sobri di pertunjukan ini, hanya menuliskan I Love U di kertas yang nantinya menjadi ‘pesawat cinta’, khawatirnya bakal mereduksi pengalaman orang-orang. Ungkapan cinta yang seragam itu dapat dibaca sebagai pemaksaan. Mungkin, akan ada yang bilang dalam hatinya, ‘Ini bukan cinta yang saya maksud!’ Nah, seperti itulah.”
(Budisni dan Sobri Lail mengangguk-angguk, tampak sepakat).

Semacam Epilog
Seusai acara, selepas berkesempatan mengobrol sejenak dengan Budisni dan Sobri Lail yang ramah, saya pun pamit pulang. Di parkiran, saya baru teringat membuka gawai. Ada pesan dari kawan saya! Pesannya panjang, tetapi kira-kira singkatnya begini:
“Sebenarnya, aku hanya niat bantu kamu skripsian. Setelah kemarin kamu bilang kalau kamu suka padaku, aku jadi kepikiran. Kamu tahu, dari dulu kita ini cuma teman. Aku takut. Aku tidak siap.”
Di perjalanan pulang, saat membelah kesunyian jalan, saya menyanyikan lagu “Cintaku, Kalah” dari balik kaca helm. Entah mengapa saya tersenyum.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.