Masa lalu Tulungagung erat kaitannya dengan Kerajaan Singasari dan Majapahit. Hampir di seluruh penjuru kota mudah ditemukan candi Hindu-Buddha sebagai sarana peribadatan masyarakat kala itu. Reruntuhan candi itulah yang menjadi tujuan penelusuran saya kali ini di Bumi Marmer.
Saya hanya menyambangi empat reruntuhan candi Hindu dan satu rumah peninggalan kolonial di tengah kota. Hal ini karena jarak satu sama lain cukup berjauhan dan harus melalui perbukitan kapur yang cukup terjal.
Namun, itu bukan halangan besar. Menikmati setiap langkah adalah cara terbaik meredakan lelah selama penelusuran. Saya menempuh perjalanan tiga jam dengan kereta api dari Stasiun Solo Balapan ke Stasiun Tulungagung.
Hiruk piruk aktivitas warga di pagi hari mewarnai geliat kota setibanya saya di Tulungagung. Sekitar pukul 08.00, saya memulai penelusuran.
Mengunjungi Kampung Pecinan Tulungagung
Tujuan pertama saya adalah Hotel Tanjung, yang terletak di Jalan Laksamana Muda Adi Sucipto No. 42, Kenayan. Jalan di depan hotel bergaya Indis Oriental masih cukup sepi. Hanya tampak tukang becak yang setia menunggu pelanggan di tepi jalan.
Ada dugaan kawasan ini merupakan kampung pecinan Tulungagung. Oleh karena itu, Hotel Tanjung memiliki gaya bangunan yang paling menonjol daripada sekitarnya. Hanya saja, hotel tersebut tidak tampak secara langsung dari jalan raya di depannya.
Layaknya hotel, bagian beranda depan difungsikan sebagai resepsionis. Setelah mendapat izin, saya pun masuk. Tampak dari luar hingga dalam tidak ada perubahan signifikan. Detail ragam hiasan awal hotel tidak dihilangkan. Hanya halaman belakang yang kini menjadi kamar dua lantai.
Menurut cerita sesepuh setempat, Hotel Tanjung diduga didirikan sekitar tahun 1920–1930 oleh Tho Kok Poen. Seorang pejabat Tionghoa di Dewan Kabupaten Tulungagung periode 1928–1934. Sebelum menjadi dewan, ia menjabat sebagai bupati Tulungagung tahun 1920–1928.
Tho Kok Poen naik jabatan menjadi Wakil Ketua II Dewan Kabupaten Tulungagung, mendampingi Wakil Ketua I Raden Ngabehi (R.Ng) Djojokoesoemo. Saat masa kejayaan itulah, Tho Kok Poen mendirikan rumah ini dan namanya diabadikan di jendela depan hotel.
Saya menduga, ia juga seorang titulaire di masyarakat Tionghoa Tulungagung. Titulaire merupakan jabatan pemerintah yang diberikan pemerintah Belanda, terhadap orang Tionghoa untuk mengatur aktivitas masyarakat Tionghoa di sekitarnya.
Ada tiga jabatan yang diemban, yakni kapitein, lieutenant dan majoor. Tujuannya untuk mengatur surat-menyurat dari pemerintah, menarik pajak, memperbaiki jalan kampung, dan menyelesaikan permasalahan hukum. Jika menilik hiasan yang terpahat apik di setiap sudut dan gaya bangunan, ada dugaan Tho Kok Poen juga menduduki jabatan di kampung pecinan Tulungagung.
Gua Pasir, Jejak Pertapaan Dyah Gayatri
Puas berkeliling di kampung pecinan, penelusuran saya lanjutkan menuju situs Gua Pasir Tulungagung. Setelah 22 menit perjalanan dengan mobil dari Hotel Tanjung, tibalah saya di Gua Pasir. Gua ini terletak di puncak bukit kapur yang termasuk dalam gugusan pegunungan selatan Jawa Timur.
Perlu pengorbanan untuk mencapai puncak. Hanya satu jalan setapak terjal, di antara celah batu perbukitan berbentuk anak tangga, untuk mendaki bukit. Namun, semua itu sepadan dan terbayar dengan indahnya pemandangan Sumbergempol dan sungai berkelok dari puncak bukit.
Tepat di puncak, terdapat satu ceruk gua kedalaman dua meter dengan relief Mahabharata. Ceruk gua lain ada di bawah, sedikit memutar ke arah barat. Hanya saja setibanya di sana, saya harus lebih hati-hati karena ruang gerak cukup sempit dan angin bisa tiba-tiba berembus kencang.
Merujuk informasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur di Trowulan, situs Gua Pasir didirikan abad XIV sebagai karsyan atau pertapaan Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajassa Rajapatni dari Kerajaan Singasari, untuk mendekatkan diri dengan leluhur. Dyah Gayatri adalah istri Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
Lazim kala itu puncak bukit atau gunung dianggap sebagai tempat suci. Tempat leluhur bersemayam, karena puncak tersebut menjadi tempat tertinggi menuju nirwana. Di tempat ini, sang dewi mengasah ilmu dan strategi perang hingga ia dikenal sebagai perempuan ahli strategi perang.
Dari Gua Pasir, saya turun bukit dan melanjutkan eksplorasi. Tujuan selanjutnya berada di Boyolangu, sekitar 8,5 kilometer ke arah barat Kecamatan Sumbergempol.
Eksplorasi Candi Boyolangu dan Candi Sanggrahan
Masih mengacu informasi dari BPCB Trowulan, Candi Boyolangu atau Candi Gayatri merupakan tempat penghormatan Dyah Gayatri, yang dibangun oleh Hayam Wuruk dari Majapahit. Candi induk memiliki satu stupa, yaitu arca Dewi Tara (Prajnaparamita) atau Dewi Kebijaksanaan, penggambaran Dyah Gayatri. Diduga Candi Boyolangu dibangun sebagai makam atau tempat menyimpan abu jenazah sang ratu.
Arca Dewi Tara digambarkan sedang duduk di atas singgasana berbentuk daun teratai dengan sikap dharmacakramudra. Sayangnya, belum ada informasi lebih jauh mengenai detail lain yang terkubur di Candi Boyolangu. Namun, fakta tersebut menunjukkan pembangunan candi sebagai wujud penghormatan masyarakat kepada sang ratu.
Kembali ke arah timur, saya mengunjungi Candi Sanggrahan di Desa Sanggrahan Lor. Candi ini memiliki nama lain Candi Proetoeng.
Candi Sanggrahan terdiri atas satu bangunan candi induk dan dua candi perwara, yang berada di atas empat tingkat berdenah bujur sangkar menghadap arah barat. Candi ini beraliran agama Buddha.
Namun, fungsi awal didirikannya Candi Sanggrahan belum diketahui secara pasti. Ada dugaan sebagai tempat peristirahatan keluarga ratu sebelum menuju tempat pembakaran jenazah Dyah Gayatri. Dugaan lain menyebut sebagai tempat membakar jenazah dan tempat menyimpan abu sang ratu.
Meski begitu, bagi saya Candi Sanggrahan merupakan wujud akulturasi budaya antara keluarga Singasari dan Majapahit yang paling kentara di Jawa Timur, selain kompleks Trowulan. Kepercayaan animisme dan dinamisme melebur dengan kepercayaan Siwa dan Buddha tanpa menghilangkan kebudayaan asli leluhur.
Situs Prasasti Penampihan, Destinasi Pemungkas
Puas mengabadikan candi induk dan aktivitas penggalian arkeologi di bagian pondasi candi, perjalanan saya lanjutkan menuju tujuan akhir, Situs Prasasti Penampihan. Sekitar 39 kilometer dari Desa Sanggrahan atau tepatnya di lereng Tenggara Gunung Wilis.
Disebut situs prasasti karena memang ditemukan sebuah prasasti terukir berinskripsi huruf Pallawa di sebuah batu andesit berukuran besar. Namun, jika dilihat lebih dekat, kawasan ini sejatinya reruntuhan sebuah candi dengan dua tingkat di belakang prasasti.
Prasasti Penampihan sejatinya wilayah otonom di bawah Mataram Kuno pimpinan Dyah Balitung, sebagai tempat awal dan akhir pertemuan seluruh raja di Jawa. Status wilayah otonom diberikan sebagai legitimasi wilayah Prasasti Penampihan atas jasa warganya untuk kerajaan yang memimpin.
Singasari, Kertanegara, Kediri hingga Majapahit pernah memimpin wilayah ini. Ketika Singasari memegang tampuk wilayah, terciptalah konsep Cakrawala Mandala atau Penyatuan Bumi Jawa, termasuk Madura, atas inisiasi sang pati-pati kepercayaan kerajaan.
Meski berhasil dilakukan, tetapi penyatuan itu penuh intrik dan konflik antarkerajaan. Akibatnya, para raja enggan untuk berkumpul kembali ke wilayah Prasasti Penampihan, seperti apa yang diharapkan pertama kali. Mereka tidak bersedia diajak bermusyawarah, walau perluasan wilayah kerajaan terus berlangsung.
Dari empat candi di Tulungagung yang saya kunjungi, sejatinya memiliki ikatan benang merah yang kuat. Namun, harus ada penelitian lebih lanjut untuk membuka simpul ikatan yang masih membelenggu. Tujuannya, agar masyarakat Tulungagung dapat bercerita kepada generasi penerus sesuai fakta.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.