Sebelum gajah-gajah datang, Tangkahan adalah taman bermain bagi para penebang kayu liar. Balik kanan di napas terakhir.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Penebusan Dosa Rutkita
Tampak jembatan gantung Nini Galang yang menghubungkan kampung dengan hutan dan PLSK Tangkahan. Siapa sangka dahulu hutan serimbun itu memerah tanpa sehelai daun pun/Mauren Fitri

Jika orang belum mengenal baik, sekilas pria berkalung perak itu cocok jadi bintang film laga. Tubuhnya tegap. Postur menjulang. Paras sangar dengan rahang siku. Intonasi bicara tegas, tidak bertele-tele.

Namun, sorot matanya tidak bisa menutupi perubahan besar yang pernah dialami. Kulit sawo matangnya adalah saksi nyata yang menguak masa lalunya. Ia menengok ke arah hutan di seberang Sungai Batang Serangan. Menunjuk deretan pepohonan ujung ke ujung.

“Dulu kering [hutan] ini. Kalau kalian kemari di tahun 2000, [hutan] ini merah! Merah! Tinggal pancang-pancang [anakan pohon] saja yang ada,” kenang Rutkita Sembiring (47). Penduduk asli Tangkahan dan mantan pembalak liar.

Merah yang ia maksud bukan karena terbakar. Merah berarti tak ada lagi jejak hijaunya hutan tersisa. Gundul. Kulit-kulit pohon besar mengelupas, seolah terluka. Suara senso meraung-raung sepanjang waktu. Serpihan kayu melayang bersama debu. Sepanjang 1995—2000, kurang lebih 300 sampai dengan 400 hektare hutan Tangkahan rusak. Mencakup kawasan di sepanjang Sungai Batang Serangan dan beberapa ratus meter ke dalam hutan. Bukti keberingasan manusia terhadap alam.

Pikiran Rutkita waktu itu, “Mengambil kayu di hutan itu gampang. Tidak menanam, tidak merawat. Hanya menebang saja jadi [uang].”

Pada 2001, sejumlah tokoh masyarakat merintis mimpi mengubah wajah Tangkahan. Dari pusat pembalakan kayu yang brutal menjadi pusat konservasi dan desa ekowisata.

Di era-era transisi, Rutkita mengalami pergulatan batin luar biasa. Kami menemuinya sore itu (25/09/2023) untuk mendengar ceritanya.

Penebusan Dosa Rutkita
Puluhan limbah kayu berusia puluhan tahun berserakan di tepi Sungai Batang Serangan. Saksi bisu rusaknya hutan Tangkahan beberapa dekade/Rifqy Faiza Rahman

Masa-masa kelam Tangkahan

Simbiosis erat antara masyarakat dan hutan Tangkahan telah berlangsung puluhan tahun. Sejak kampung dibuka pertama kali pada awal abad ke-19, mayoritas mata pencaharian masyarakat bersumber dari hasil hutan. Mulai mengambil getah kayu damar hingga menebang kayu.

Rutkita menyebut bekerja di kayu diwariskan turun-temurun, “Mulai dari kakek saya [dan] ayah saya sendiri. Saya juga sempat mengambil kayu di hutan.”

Kuatnya rantai kehidupan yang nyaris tak pernah putus itu bukan terjadi secara tiba-tiba. Hutan Tangkahan memiliki sejarah konflik yang sangat panjang. Sejak ditetapkan sebagai hutan lindung dan hutan produksi pada 1900-an, segala dinamika terjadi. Konflik yang timbul bukan berasal dari dalam hutan, melainkan faktor manusia. 

Saiful Bahri (alm.), dengan pendekatan kajian historis, memiliki catatan menarik tentang kampung lawas tersebut; yang diketahui dirintis oleh keluarga marga Sembiring Depari dari Karo Gugung yang merantau. Di bab kesepuluh dalam Tersesat di Jalan yang Benar: Seribu Hari Mengelola Leuser (2012), buku karya Wiratno, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) periode 2005—2007, tokoh muda konservasi hutan Tangkahan itu mengungkap fakta penting. 

Kegiatan illegal logging atau pembalakan liar tidak dimulai oleh masyarakat Karo itu sendiri. Masyarakat Karo justru memiliki norma dan nilai-nilai budaya konservasi, jika melihat dari hubungan spiritualnya dengan hutan. Pelopor sejarah penebangan ilegal Tangkahan dimulai pada awal 1920-an, ketika terjadi kerja sama antara penguasa kolonial Hindia Belanda dan pengusaha (pedagang besar) Tionghoa, Kon Sen Song.

Sejak saat itulah era besar pembalakan kayu bermula. Kemudian di tahun 1950 sampai 1980-an, pengusaha-pengusaha lokal (tokoh masyarakat dan pengikutnya) mulai unjuk gigi. Pemain atau pekerja kayu di Tangkahan bukan hanya berasal dari masyarakat kampung setempat saja. Dari desa luar pun masuk, kebanyakan masih satu kecamatan, seperti Namo Sialang, Sei Serdang, dan Karya Jadi. Bahkan ada pula dari Tapanuli.

Mereka yang semula hanya menonton, lambat laun belajar dan makin berani mengambil alih “konsesi” di kawasan hutan dekat tempat tinggal mereka. Sekalipun sasaran penjualannya, baik perorangan maupun kelompok, tetap melalui saudagar-saudagar kelas kakap keturunan Tionghoa—seperti A Gong, A Lai, A Lai muda, Kho An, A Beng—di Tanjung Pura. Tanjung Pura adalah sentra perdagangan ramai pada masa itu, yang termasuk ujung dari Sungai Batang Serangan—jalur balok-balok kayu selain lewat darat.

Selama nyaris seabad ekosistem hutan dan masyarakat Tangkahan seperti tak memiliki muruah. Rata-rata masyarakat tidak paham fungsi hutan yang ada di Tangkahan. Tidak mengerti kenapa harus dijaga dan dilestarikan. Yang mereka tahu, ada banyak jenis kayu mahal yang bisa diubah jadi uang.

Hal ini diperparah kebijakan rezim Orde Baru. Atas nama pembangunan, Soeharto mendukung eksploitasi dan ekstraksi hutan lewat Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Pihak swasta, militer, bahkan aparatur negara lainnya diberikan karpet merah untuk mengakses sumber daya alam dalam jangkauan nyaris tak terbatas. 

Namun, Saiful Bahri mengingatkan ini sepenuhnya bukan bicara soal etnis tertentu. Ia menilai masalah permainan kayu ilegal sejatinya adalah proses kolaborasi antara kekuasaan dan uang, yang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari alam.

Salah satu momen puncak penebangan kayu paling brutal terjadi saat krisis moneter 1998. Ketika hampir seantero daerah di Indonesia limbung karena krisis ekonomi, masyarakat Tangkahan justru berlimpah uang. 

“Di tahun 1998, saya mendapat penghasilan [dari kayu] sampai dua juta rupiah per minggu. Jadi, satu bulan itu sekitar delapan jutaan,” ujar Rutkita mengenang masa-masa kejayaannya. 

Uang sebesar itu ia dapat sangat mudah, setidaknya hanya dari satu pohon. Jika satu pohon bisa menghasilkan balok lima ton, dengan asumsi harga per ton Rp600.000, maka dalam satu hari saja Rutkita sudah mengantongi uang tiga juta rupiah. Memang hasil penjualan masih dibagi lagi dengan rekan kerjanya yang ikut memeras keringat. Akan tetapi, di tahun-tahun segitu, sudah sangat besar bagi seorang pemain kayu. 

Gurihnya bisnis kayu membutakan mata Rutkita. Ia tak ingin hanya menjadi penonton di kampungnya; membiarkan ceruk besar itu hanya dimakan orang-orang tua. Jika hidayah Tuhan tidak pernah benar-benar datang, barangkali Tangkahan akan selamanya merah.

Penebusan Dosa Rutkita
Rutkita Sembiring, satu dari sedikit orang Tangkahan yang tidak malu menceritakan perjalanan gelap hidupnya membalak hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Titik terendah

Mengetahui anaknya ingin menjadi penebang kayu, ayah Rutkita sempat melarang keras. Ia memberi nasihat, “Enggak ada [gunanya]. Enggak bisa kau beli apa pun dengan uang jual kayu dari hutan.”

Saat itu ayahnya sudah sakit-sakitan. Mendengar nasihatnya, gejolak muda Rutkita meronta. Tak percaya. Ia memberontak, baginya apa pun bisa dibeli. Rutkita remaja—berusia 19 tahun—dan teman-temannya tetap mencebur bermain kayu.

Masa-masa keemasan memang sempat dirasakan. Pundi-pundi terisi jutaan rupiah per minggu. Tak peduli peluh mengucur, mata perih terkena serpihan kayu, atau telinga pekak karena suara senso. Semua demi uang.

Seiring waktu berjalan, Rutkita kian menyadari makna ucapan sang ayah. Uangnya memang banyak, tetapi ia tak berkembang. Tidak melangkah ke mana pun. Tolok ukurnya sederhana, yaitu kepemilikan mobil atau sepeda motor.

Rutkita mencoba mengamati lebih dalam. Rupanya sejak nenek moyang mereka membuka kampung, sampai sekitar tahun 1999, tidak ada satu pun yang memiliki mobil. “Tahun 1998—1999, berapa jumlah sepeda motor di sini? Tak lebih dari lima!”

Penyebabnya tidak jauh dari nafsu menghambur-hamburkan uang. Berjudi, minum-minum. Tatkala kalah judi, terpaksa berutang. Begitu uang habis, kembali ke hutan. Kerja lagi menebang kayu berhari-hari. Dapat uang, bayar utang. Lanjut judi, minum-minum lagi. Siklus yang selalu berulang. 

“Itu namanya uang setan dimakan hantu,” seloroh Rutkita. Uang yang didapat lenyap tak berbekas. Jika dia percaya mistis, mungkin akan menuduh babi ngepet atau tuyul pelakunya.

Rutkita memberi contoh lain dari kondisi “uang setan dimakan hantu”, yakni pemain bisnis galian C. Sumber bahan bakunya ada di pantai-pantai—daratan berpasir dan berbatu di sepanjang sungai. Di Kecamatan Batang Serangan, banyak pelakunya.

“Orang jual batu itu, yang enggak ada modalnya, kaya dia. Tapi sebentar. Begitu berhenti dia dan habis pantainya, habis [juga] hartanya!” terang Rutkita.

Gelimang uang dari kayu—yang bahkan hanya dinikmati setitik dan sesaat—ternyata juga memakan tumbal. Tidak sedikit warga menjadi korban fatal akibat kerasnya hidup menjadi pembalak liar. Masyarakat kecil tertatih dan pusing tujuh keliling, sementara bos-bos besar tetap kipas-kipas uang sambil ongkang-ongkang. 

“Abangnya bapak saya [orang tua Pak Okor] meninggal di hutan, tertimpa kayu. Adiknya [bapak] juga, terputus tangannya gara-gara kayu juga,” tutur Rutkita pilu, “dan ayah saya sendiri, delapan tahun sakit-sakitan di masa tua karena kelelahan fisik luar biasa.”

Bayangan-bayangan seram itu mengisi pikiran Rutkita. Masa-masa kejatuhannya sebagai pembalak liar tampak nyata. Ia seperti tinggal menanti detik-detik embusan napas terakhir, dan selamanya dikenang sebagai penebang. Sampai akhirnya Tuhan menunjukkan padanya buku takdir yang baru.

Ketika kembali ke rumah dan hampir putus harapan, ia sampaikan mimpi besarnya kepada ayah dan ibunya, “Saya janji ke orang tua saya, bahwa hidup saya itu di Tangkahan. Jadi, apa pun yang saya lakukan sekarang ini, itulah nanti hidup saya. Kalau memang Tangkahan itu tidak jadi [berkembang], berarti habislah masa depan saya.”

Penebusan Dosa Rutkita
Rutkita menunjukkan bagian bawah batang damar yang pernah ia tebang 24 tahun lalu. Damar adalah salah satu komoditas kayu bernilai tinggi/Deta Widyananda

Dari penebang ke penjaga hutan

Di sela sesi wawancara, TelusuRI sempat diajak Rutkita masuk sedikit ke hutan. Beberapa meter saja dari kandang gajah Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Ia menunjukkan jejak batang damar setinggi 40-an meter yang rebah di tanah. Lingkar batangnya setara pelukan tiga orang dewasa. Pohon tersebut ia tebang sekitar tahun 1999. Begitu tumbang, menimpa pohon-pohon lain di sekitarnya dan ikut jatuh. Usianya ratusan tahun. Jika diukur dengan kurs sekarang, nilainya bisa mencapai 150 juta rupiah. 

“Kami pikir dulu kayu ini [hadiah] dari Tuhan. Karena ditanam, berarti [kayu] ini untuk kita,” kelakar bapak dua anak itu. Kami ikut tertawa. 

“Ternyata kami salah,” katanya.

Sekitar 1999—2000, sekelompok mahasiswa pencinta alam (mapala) asal Medan datang ke Tangkahan. Para mahasiswa ini prihatin dengan rusaknya hutan Tangkahan. Salah satu koordinatornya adalah mendiang Saiful Bahri. Melihat kondisi menyedihkan itu mereka bertekad untuk mengajak masyarakat melakukan perubahan. 

Waktu itu secara perlahan, anggota mapala tersebut berdialog dengan penduduk yang bermain kayu. Tidak serta-merta melarang, tetapi diajak membuka pikiran tentang untung-rugi bermain kayu, lingkungan hidup, manfaat hutan, hingga potensi ekonomi melalui pariwisata seperti yang sudah berjalan di Bukit Lawang.

“Mereka ‘menjual’ hutan juga, tetapi bukan dengan menebang, melainkan wisata. Mereka dapat uang [dari] membawa turis-turis berkeliling. Di Bukit Lawang ada hutan, di sini juga ada hutan. Di sana ada sungai, di tempat kami bahkan ada dua sungai besar,” jelas Rutkita.

Rutkita dan lima orang temannya adalah sasaran awal “cuci otak” dari anak-anak mapala tersebut. Mereka menginap dan saling berdiskusi di tempat milik Wak Yun, pengusaha ekowisata dari Bukit Lawang, yang membangun penginapan dan restoran. Sayangnya, karena berkonflik dengan para penebang kayu, restoran miliknya dibakar. Wak Yun pun “kabur” dan kembali bekerja sejenak ke Inggris, negara asal istrinya.

Lambat laun pendekatan Saiful Bahri dan anggotanya menemui titik terang. Gol pertama yang berhasil dicetak adalah terbentuknya komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger pada 22 April 2001. Rutkita didapuk menjadi ketua. Tugas utamanya menghentikan illegal logging, menyetop truk-truk pengangkut kayu yang masuk kampung. Mereka meyakinkan kawan-kawan—para pembalak—untuk berhenti bermain kayu. 

Selang sebulan kemudian, berdasarkan inisiatif menggerakkan ekonomi alternatif melalui ekowisata, lahirlah Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Sisanya adalah sejarah, seperti yang terlihat sampai saat ini. Berkolaborasi dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), menyediakan paket ekowisata gajah dan aktivitas petualangan alam lainnya.

Di masa-masa inilah titik balik Rutkita terlahir menjadi pribadi yang benar-benar baru. Dengan agak tertatih, ia dan timnya berjuang melestarikan sungai dan hutan di belakang rumah mereka.

Namun, perjalanannya tentu tidak semulus itu. Konflik pribadi masih menyala, karena Rutkita berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri. Termasuk paman-pamannya, yang menilai gerakan Tangkahan Simalem Ranger akan memotong sumber rezeki mereka.

Selain itu Rutkita dan teman-temannya harus menjalani masa-masa prihatin. Menganggur berhari-hari bak orang bingung tanpa arah. Periuk di dapur selalu kosong. Tak punya uang untuk membeli beras. Cita-cita dan janji besar untuk memajukan kampung halaman jelas penuh liku. Tak akan didapat dalam waktu singkat. Sampai-sampai ia bilang ke ibunya yang khawatir dengan kesehatan dan nasib anak sulungnya, “Sudahlah, Mak! Kalau memang Tangkahan nggak jadi, sudah, kami mati saja di sini.”

Di masa-masa itu, Rutkita dan anggota komunitas maupun LPT sering dianggap orang gila. Dibodoh-bodohi. Sejumlah warga, bahkan keluarga sendiri, masih memandang sebelah mata. Diremehkan karena tak mungkin bisa dapat uang selain bermain kayu. Tak mungkin tamu mau datang ke Tangkahan melihat sungai dan hutan, yang saat itu masih bopeng dan belum kembali pulih sebagaimana mestinya.

“Yang menggaji saya adalah Tuhan!” cetusnya ketika dahulu sering dipertanyakan sumber penghasilannya. Seketika membungkam mulut para peragu itu.

Berangkat dari pengalaman itu, Rutkita sering keliling memotivasi kawan-kawan senasib di luar Tangkahan. Di Jambi atau di mana pun. Ia bilang ke mereka, “Potensi yang ada di daerah kalian ini, dibandingkan daerah saya, itu jauh [lebih bagus]. Tapi apakah kalian mau dan bersedia jadi orang gila? Karena memang harus gila [untuk mau berubah]!”

Bagi Rutkita, terlalu banyak berpikir tanpa aksi nyata adalah kesia-siaan belaka. Tidak bisa berpangku tangan menunggu uang jatuh dari langit. Entah setahun, dua tahun, atau lima tahun, pasti akan menghasilkan sesuatu. “Kalau ada dua atau tiga orang saja [yang mau] gila memajukan daerahnya, yakin jadi!”

Setelah cukup lama berkontribusi di LPT, belakangan Rutkita fokus bekerja sebagai humas di CRU. Ikut membantu pengelolaan gajah-gajah yang dirawat para mahout. “Saya suka kerja di NGO [organisasi nirlaba] karena itu memang tempat saya,” katanya. 

Kini suami Susanti itu sudah cukup membuktikan kepada banyak orang. Meskipun tidak sekolah dan tidak membuka lahan perkebunan untuk orang tua, Rutkita merasa tidak kalah sukses daripada kawan-kawan yang tidak satu gerbong dengan mereka.

Rutkita—dan mungkin beberapa orang di kampung—tidak pernah menyangka Tangkahan akan berkembang sejauh ini. Sejajar dengan Bukit Lawang, menjadi destinasi penyangga TNGL favorit wisatawan.

Tak terkecuali pengerasan jalan yang sedang berlangsung. Senyawa asphaltene akan mengguyur tanah dan memuluskan mobilitas masyarakat.

“Sekarang kan, siapa yang bermimpi [jalan kampung] bisa diaspal?” tanya Rutkita, “tidak pernah bermimpi saya.”

Penebusan Dosa Rutkita
Setelah tidak lagi menebang kayu, kini Rutkita banyak diundang ke berbagai acara di banyak tempat untuk berbagi pengalaman pahitnya di masa lalu/Mauren Fitri

“Saya tidak menyesal”

Kisah dan kiprah Rutkita membawanya ke pintu ajaib yang bisa mengantarnya ke mana saja. Menemukan jalan baru yang tak pernah ia sangka-sangka. Meskipun tidak pernah mengenyam bangku kuliah, ia telah kenyang pengalaman berdiri di forum-forum internasional. Berbicara di ASEAN Heritage Parks, dikirim ke Myanmar hingga Australia.

Tahun lalu Rutkita pernah dihubungi BKSDA Jambi untuk menjadi salah satu konsultan kegiatan sosialisasi dan edukasi konservasi. Ia hadir bersama sejumlah pakar sebagai narasumber forum pertemuan antar kepala dinas, camat, dan perangkat desa se-Provinsi Jambi. Di sesi presentasi, ia bercerita tentang Tangkahan dan masa lalunya. Memberi motivasi kepada orang-orang yang masih tenggelam di dunia pembalakan liar.

Beberapa waktu setelah pertemuan, ia diundang seorang kepala desa peserta forum, untuk datang ke daerahnya di dekat perbatasan Jambi—Riau. Salah satu penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Namanya Desa Pemayungan. Di peta wilayah kerja BKSDA Jambi, desa ini masuk zona merah. 

“Desa Pemayungan itu di 2022 kemarin, [kondisinya] sama seperti di Tangkahan tahun 1998,” ujar Rutkita. 

Menurut Kepala BKSDA Jambi saat itu, Rahmad Saleh (alm.), desa tersebut hutannya gundul dan rawan konflik. Ia belum pernah ke sana. Pernah anggotanya berkunjung malah mau dibakar dan nyaris tidak bisa pulang. Bahkan LSM pun tidak boleh masuk.

Rutkita nyaris berangkat sendiri, andaikata kepala seksi tidak berani menemaninya. Padahal dia tidak paham jalan ke Pemayungan. Lokasinya memang jauh sekali. Sekitar 300 kilometer dari pusat kota Jambi. Mereka pun akhirnya berangkat bersama satu orang sopir. Atas usul Rutkita, plat mobil dinas diganti hitam.

“Begitu sampai di desanya, memang sama seperti Tangkahan dulu. Samping kantor desa numpuk balok bulat-bulat itu,” kata Rutkita sambil terkekeh, “karena saya memang aslinya pemain kayu, saya tahu jenis kayu ini dan itu.”

Ia pun turun. Kepala seksi dan sopir menunggu di dalam mobil. Mesin tetap dihidupkan. Dalam pikiran Rutkita, mungkin sebagai antisipasi kalau terjadi sesuatu mereka bisa langsung tancap gas dan pergi dari desa. 

Di pekarangan ia menemui ibu-ibu, yang tampaknya perangkat desa juga. Sembari berkeliling melihat tumpukan balok-balok tersebut. Rutkita lekas meminta mereka memanggil penduduk desa.

Pada momen itu, ia berbicara dari hati ke hati. Di awal, ia meluruskan pemahaman tentang keberadaaan BKSDA setempat, yang bekerja justru untuk kebaikan masyarakat. Selanjutnya menceritakan sisi pahit dari bermain kayu, serta perubahan dirinya dari penebang pohon menjadi aktivis konservasi dan ekowisata. 

Rutkita berkata kepada masyarakat, “Tapi itu dulu. Sekarang saya enggak lagi [main kayu]. Saya enggak butuh lagi [kayu] seperti kalian. Ini bunuh diri.” 

Tidak ada cara terbaik untuk mengajak orang berubah selain karena berdasarkan pengalaman pribadi. Itulah sebabnya ia mengaku tidak malu menceritakan dosa-dosa di masa lalu, ketika menebang ratusan pohon di hutan Tangkahan. 

“Saya tidak menyesal. Kalau saya tidak pernah melakukan tadi [pembalakan liar], mungkin juga saya tidak pernah melakukan seperti ini [edukasi]. Gara gara pernah melakukan illegal logging, saya sudah keliling Indonesia,” katanya.

Seolah tak cukup, ia menambahkan satu legitimasi lagi. Memvalidasi perubahan hidup yang dijalaninya sampai saat ini.

Di wawancara atau acara mana pun, ia juga selalu berkata, “Saya adalah satu-satunya orang yang berani mengakui, [bahwa] saya pelaku illegal logging!” Dalam pandangannya, Rutkita merasa otaknya lebih konservasionis dibandingkan orang-orang taman nasional sendiri. 

Roda kehidupan memang dinamis. Jika mobil dan motor jadi ukuran kesuksesan hidup tanpa bermain kayu, Rutkita menyebut sekarang ada 4—5 motor dalam satu rumah. Warga yang memiliki mobil pun sudah 70 persen.

Begitu pun alam. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, hutan Tangkahan mampu memulihkan diri. Dari semula merah membara menjadi hijau menyejukkan. Bukan hanya proses alami semata, melainkan juga kesadaran dan komitmen orang-orang di sekitarnya.

Rutkita berani memastikan saat ini tidak ada lagi pembalak liar di Tangkahan. Nol persen, katanya. Namun, di luar Tangkahan—entah kawasan sekitar Leuser atau daerah lainnya—mungkin masih ada dan marak. Ia tak bisa apa-apa kecuali berharap agar kawan-kawan yang masih melakukan illegal logging lekas bertobat.

“Berhentilah, karena uang setan tetap dimakan hantu! Pasti!” pesannya.

Ia tahu, orang-orang seperti itu tidak akan mudah percaya dengan omongannya. Mereka akan menyadari kebenaran pesan Rutkita ketika kelak berhenti menebang pohon. Mengalami saat-saat terendah, seperti yang Rutkita rasakan begitu lama. Ketika berapa pun banyaknya uang yang didapatkan setiap bulan tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan sepeda motor saja tidak punya. Sehari-hari bercelana pendek yang sama. 

“Tidak ada yang bisa langgeng dari hasil hutan [secara ilegal]. Saya jamin itu,” tegasnya.Barangkali, satu-satunya penyesalan Rutkita adalah ayahnya tidak sempat melihat langsung hasil perjuangan yang ia janjikan dahulu, hingga Tangkahan menjadi seperti sekarang. Sang ayah meninggal dunia tahun 2002. (*)


Foto sampul:
Rutkita Sembiring menceritakan pengalamannya saat dahulu menebang kayu secara ilegal/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar