TRAVELOG

Pelangas: Riuh Budaya di tengah Rimba Bangka Barat

“Perjalanan ke Desa Pelangas nanti butuh waktu tiga jam, ya. Perjalanannya juga jauh, lewat hutan, dan banyak belokan. Kalau gak kuat, tidur aja, ya,” ucap seorang tim ahli pariwisata.

Namun, siapa yang mau melewatkan kesempatan bertualang menuju desa yang terletak di ujung Kabupaten Bangka Barat? Ini adalah kesempatan emas, belum tentu bisa kembali lagi secepat itu.

Perjalanan dari Pangkalpinang, ibu kota Bangka Belitung, terasa sangat lama. Sebab, sejauh yang tertangkap mata hanya hamparan pohon yang menjulang tinggi di kiri-kanan. Saya tidak merasa bosan sama sekali, karena pemandangan ini sulit didapatkan di tempat yang penuh dengan lengkingan klakson.

Di balik tingginya pohon-pohon tersebut, terdapat Desa Pelangas yang kaya akan warisan budaya dan kearifan lokal. Jauh dari hiruk pikuk kota, Pelangas menawarkan pengalaman wisata budaya tradisional yang autentik.

Pelangas menjadi ruang pemberdayaan kehidupan masyarakat suku Jerieng. Suku asli Pelangas tersebut hingga kini masih mempertahankan tradisi dan identitas budayanya, yang berpadu dengan cepatnya arus modernisasi.

Desa Wisata yang Berbudaya

Salah satu daya tarik utama Desa Pelangas adalah paket wisata yang memperkenalkan budaya dan tradisi suku Jerieng. Tidak hanya sekadar menguntungkan desa, paket ini juga dirancang mengajak wisatawan berpartisipasi langsung dalam rangkaian kegiatan yang selama ini mungkin belum mereka ketahui.

Seluruh kegiatan di Desa Pelangas dipandu oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pelangas, yang berisikan anggota-anggota yang penuh semangat memperkenalkan budaya Pelangas lewat aktivitas edukatif dan menyenangkan. Pokdarwis Pelangas diharapkan dapat menjadi salah satu komunitas yang dapat mendukung pengembangan wisata di desa, sekaligus menjaga nilai-nilai luhur dan budaya yang ada di dalamnya.

  • Pelangas: Riuh Budaya di tengah Rimba Bangka Barat
  • Pelangas: Riuh Budaya di tengah Rimba Bangka Barat

1. Pertunjukan Tari Taboh

Ketika datang, wisatawan akan disambut Tari Taboh. Tarian tradisional khas Pelangas itu merupakan simbol sambutan dan penghormatan kepada tamu. Para wisatawan juga dipersilakan untuk turut menari bersama pokdarwis dan para penari. Setelah mengikuti Tari Taboh, perjalanan mengenal budaya Jerieng akan dimulai. Diawali dengan mengenal suku Jerieng itu sendiri, mencoba permainan tradisional, mempelajari bahasa Jerieng, hingga ikut serta dalam proses menganyam pengipat, kipas tradisional Pelangas bersama para perajin lokal. Pengipat yang sudah jadi pun bisa dibawa pulang wisatawan sebagai buah tangan.

2. Permainan ketilan ketiluk

Setiap aktivitas punya keunikan tersendiri. Ketilan ketiluk adalah permainan sederhana yang menggunakan biji buah saga dan dimainkan oleh maksimal empat orang dengan peran berbeda, yaitu ketilan, ketiluk, gelimang, atau bakong. Melalui permainan ini, pemain diajarkan untuk bersikap jujur dalam menjalankan perannya, mendukung teman, serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan persaudaraan. Permainan ini biasanya dimainkan ketika anak-anak desa memiliki waktu luang.

3. Permainan ding gluding

Ding gluding juga dimainkan secara berkelompok. Semakin banyak orang yang ikut serta, suasana permainan akan terasa semakin ramai dan menyenangkan. Ding gluding lebih menekankan daya ingat dan kepekaan indra peraba. Dalam permainan ini, salah satu pemain akan ditutup matanya, sementara anggota kelompok lainnya membentuk lingkaran dan berputar mengelilingi si pemain sambil menyanyikan lagu ding gluding. Setelah lagu selesai, tugas pemain yang matanya ditutup adalah menebak siapa di antara teman-temannya yang ada di hadapannya. 

4. Belajar ucap Jerieng

Belajar ucap Jerieng menjadi pengalaman seru sekaligus bermanfaat. Sebab, wisatawan tidak hanya mendengar, tetapi juga diajak mencoba langsung bahasa daerah dalam percakapan sederhana. Kegiatan diawali dengan mengenalkan kosakata dasar yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jerieng, seperti salam, sapaan, atau kata-kata umum untuk berinteraksi. Setelah itu, wisatawan akan diajak bermain untuk menyusun kalimat sederhana berdasarkan kosakata yang sudah dipelajari sebelumnya. Proses belajar ini berlangsung secara santai dan interaktif, sehingga suasananya seimbang antara belajar dan bermain.

Sebagai seseorang yang berasal dari luar Bangka, saya datang tanpa tahu apa-apa mengenai budaya Jerieng. Mendengar suku Jerieng pun belum pernah. Namun, justru itulah yang membuat pengalaman ini lebih berkesan.

Saya berkesempatan untuk mengikuti semua aktivitasnya sebelum dikenalkan atau dijual pada tamu pada pengujung minggu. Awalnya saya juga merasa kesulitan, maklum, ini pertama kali mencoba. Namun, semua anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pelangas, yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan ini, sabar dan telaten mengajarkan saya hingga akhirnya saya bisa dan memahami kegiatannya. Mereka juga sangat semangat memberikan berbagai contoh kegiatan budaya dan permainan lain yang dapat dilakukan bersama-sama.

Menariknya, sebagian besar aktivitas ini dilakukan dalam kelompok. Hal ini membuat suasana lebih hangat, interaktif, dan mendapatkan nilai-nilai kebersamaan serta kerja sama. Nantinya, kelompok yang menang dalam mempelajari Bahasa Jerieng dan permainan tradisional akan mendapatkan hadiah yang bisa dibawa pulang sebagai kenang-kenangan.

Pelangas: Riuh Budaya di tengah Rimba Bangka Barat
Jamuan kuliner tradisional untuk wisatawan/Banowati Azelia Putri Yuliawan

Tantangan dan Harapan Desa Pelangas

“Yu, sudah pernah coba ini belum?”

“Teh, ini namanya keladi.”

“Gimana, Yu? Enak, gak?”

“Nih, cobain, Yu.” 

Yu merupakan kependekan dari ‘ayu’, sapaan khas Bangka untuk memanggil perempuan. Kalau di Sunda sama seperti panggilan Neng. Itu adalah beberapa kalimat yang terucap dari anggota Pokdarwis Pelangas kepada saya ketika menyuguhkan masakan khas setempat.

Pengalaman di Desa Pelangas tidak berputar pada aktivitas seni dan permainan saja. Wisatawan juga akan disajikan makanan khas Jerieng atau Bangka Belitung saat jamuan makan siang. Semua masakan ini dibuat oleh warga setempat. Wisatawan juga bisa mencicipi camilan khas Pelangas, contohnya rangai dan aruk yang terbuat dari bahan dasar singkong.

Meskipun menawarkan pengalaman wisata yang tak terlupakan, Desa Pelangas masih menghadapi berbagai tantangan. Seluruh aktivitas wisata saat ini dilakukan di balai desa, karena belum ada tempat yang lebih luas untuk menampung kegiatan dalam skala besar. Selain itu, akomodasi terdekat berada di Muntok, ibu kota Bangka Barat, sekitar 40 menit berkendara dari Pelangas. Desa ini belum memiliki homestay atau penginapan layak bagi wisatawan yang ingin menginap dan merasakan suasana sehari-hari di desa.

Meski demikian, Desa Pelangas masih memiliki banyak potensi untuk digali dan dikenalkan secara luas, khususnya budaya. Tradisi suku Jerieng yang masih terjaga menjadi sumber kekuatan utama di desa ini. Bukan hanya sebagai daya tarik wisata, melainkan juga warisan yang harus terus dijaga.

Menerapkan Pariwisata Berkelanjutan

Lima hari di Pelangas dan turut terlibat dalam pelaksanaan paket wisata, membuat saya menyadari bahwa desa ini secara alami menerapkan prinsip sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan. Artinya, pariwisata tidak hanya berfokus pada meningkatkan jumlah kunjungan, tetapi juga pelestarian budaya, lingkungan, dan memberdayakan masyarakat lokal.

Desa Pelangas terus melestarikan budaya dan identitas lokal yang dibungkus dalam berbagai aktivitas menarik. Wisatawan juga tidak sekadar menonton dan menyaksikan, tetapi juga merasakan dan berinteraksi langsung dengan budaya yang ada. Keterlibatan wisatawan dapat membantu mereka untuk mengenal lebih jauh tentang budaya tradisional, meningkatkan kesadaran akan budaya yang belum dikenal, dan mencegah hilangnya budaya tersebut.

Sebagai contoh, pengipat atau kipas tradisional khas Jerieng, terbuat dari daun pandan jelutuk yang sudah dibersihkan dan dilayurkan di api untuk melenturkan daun agar bisa dianyam menjadi pengipat. Kegiatan ini termasuk dalam pariwisata berkelanjutan, karena daun pandan adalah sumber daya alam yang bisa dipanen tanpa merusak tanaman induk. Dalam istilah lain, daun pandan juga merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui.  Selain itu, pengipat daun pandan ini tidak mencemari lingkungan atau tanah karena dapat dipakai dalam jangka waktu yang lama. Pelayuran daun pandan dilakukan dengan api kecil dari kayu bakar atau kompor sederhana, tidak menggunakan mesin besar atau bahan kimia, sehingga tidak menghasilkan limbah atau emisi yang berbahaya bagi lingkungan.

Dari sisi ekonomi, prinsip pariwisata berkelanjutan dapat dilihat dari keberadaan pokdarwis setempat. Semua aktivitas wisata difasilitasi pokdarwis, yang artinya pendapatan dan kesempatan kerja dapat langsung diterima oleh masyarakat lokal. Tidak hanya itu, orang-orang yang terlibat penampilan Tari Taboh, makanan khas Jerieng atau Bangka, dan menganyam pengipat juga merupakan masyarakat lokal Desa Pelangas. Hal ini akan memperkuat ekonomi desa, karena secara tidak langsung semua warga lokal ikut terlibat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Banowati Azelia Putri Yuliawan

Merekam langkah jadi cerita, menyulam perjalanan jadi makna, dan membaginya agar setiap jejak bisa hidup lebih lama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Tanjung Kalian: Satu Tempat, Empat Cerita