“Semua kegiatan adalah hal yang menarik selain skripsi.”
Begitulah sekiranya gambaran kondisi mahasiswa tingkat akhir seperti saya saat ini. Pernyataan itu disetujui oleh rekan yang membawa saya berlibur beberapa waktu lalu. Mahasiswa tingkat akhir tidak kenal lelah untuk ngalor-ngidul, ke sana kemari, tetapi dikejar skripsi rasanya ngos-ngosan. Segala ajakan saya terima untuk berusaha menyeimbangkan diri dengan skripsi itu, salah satunya tracking di Kalitalang.
Selasa (12/2/2025) seorang rekan membawa saya melakukan tracking. Hal ini tidak pernah terpikirkan akan terjadi oleh saya sebelumnya. Salah satu wishlist yang bolak-balik masuk dari tahun ke tahun dan tidak terealisasikan akhirnya tutup buku waktu lalu. Saya senang bukan main ketika diberi tawaran semacam itu.


Rekan yang membawa saya memenuhi mimpi itu adalah seseorang yang berpengalaman di bidangnya. Sudah banyak gunung dan bukit yang dia sambangi. Saya sebagai seorang pemula menjadi percaya dan memiliki rasa aman dalam melakukan perjalanan ini.
Sekitar pukul 08.00 WIB perjalanan kami dimulai. Sejak awal berangkat dari tempat saya tinggal, Condongcatur, cuaca sangat cerah dan Gunung Merapi memamerkan kegagahannya. Saya sangat bersemangat dalam perjalanan menuju Kalitalang. Rasanya ketika roda sepeda motor ini berputar, semakin mendekat pula Merapi kepada saya. Perlahan hawa dingin mulai mulai menyambut perjalanan kami.
Kurang lebih lewat satu jam, sekitar pukul 09.00 kami tiba di kawasan ekowisata Kalitalang. Pembayaran pertama, tiket perawatan ekowisata Kalitalang dikenakan biaya masuk 5.000 rupiah per orang dan 3.000 rupiah untuk biaya parkir motor. Pembayaran kedua, tiket masuk wisatawan Taman Nasional Gunung Merapi sebesar 5.000 rupiah dan tiket asuransi pengunjung 2.000 rupiah. Sekiranya perlu menyiapkan 15.000 rupiah untuk berkunjung ke Kalitalang.
Selesai dengan urusan biaya masuk, saya dan rekan memulai langkah perjalanan baru. Saya tidak menduga bahwa kegiatan ini sangat menyenangkan dan jauh dari kata menakutkan. Jujur saja, sebagai pemula saya khawatir dengan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi di alam. Namun, kekhawatiran itu tidak ada yang terjadi dan terlupa seketika ketika saya tenggelam di dalamnya.

Pelajaran dan Tracking Dimulai
“Apakah ada hal seru lainnya selain menikmati pemandangan?” Tentu saja ada. Tidak hanya bertemu dengan sesama pendaki atau wisatawan saja di sana. Seperti foto sebelum ini, yang saya pikir lebih dari sekadar potret warga yang sedang mengangkut rumput untuk ternaknya.
Saya memikirkan sesuatu yang lebih manis di sini. Manusia dan alam memang seromantis itu dalam menjalin hubungan. Sederhananya, mereka tidak saling menuntut untuk mendapatkan dan memberikan sesuatu. Keikhlasan yang ada pada mereka menyeimbangkan sesuatu yang disebut dengan “berdampingan”. Andai semua dapat melihat pemandangan semacam ini menggunakan rasa lebih dalam.
Banyak hal baru yang dijelaskan secara sabar oleh rekan saya. Salah satunya ketika meminta izin padanya untuk mengambil gambar sejenak, lalu ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan. Pertama, dilarang mengambil apap un selain gambar. Kedua, dilarang meninggalkan apapun selain jejak. Ketiga, dilarang membunuh sesuatu selain waktu. Itu adalah pelajaran pertama yang saya peroleh hari itu. Sudah semestinya manusia tidak berlaku sembarangan kepada semua ciptaan Tuhan.

Selama tracking, saya tidak pernah berhenti untuk mencurahkan perasaan saya atas alam yang Tuhan ciptakan. Merapi tidak lagi memamerkan kegagahannya, ia ‘memanggil’ saya untuk semakin mendekat kepadanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang cukup menarik perhatian saya.
Penampilan Merapi mulai berbeda, terkesan seperti ada topi putih yang menutup malu puncaknya. Lagi-lagi rekan saya tanpa diminta menjelaskan sesuatu, yang berarti itu pelajaran kedua di hari itu. Rekan saya menjelaskan bahwa itu adalah awan lentikular. Sesuatu yang baru di telinga saya.
Setelah sibuk berjalan sambil menjelaskan awan itu, cukup terasa bagi saya sampai akhirnya tiba di Pos 1. Melelahkan, tentu saja. Berulang kali saya meminta jeda untuk mengambil napas. Rekan saya menjelaskan bahwa trek ini tidak terlalu sulit dan cukup landai. Mungkin jika saya bukan seorang pemula tentu akan menyetujuinya dengan mudah.
Angin yang kencang dan dingin rasanya ingin membawa saya terbang. Jika bisa atau diperbolehkan, tentu saja saya ingin ikut terbang terbawa angin saja. Saya tidak lagi berorientasi pada ujung perjalanan ini. Saya hanya ingin menyelami setiap sudut mata memandang bentang alam di Kalitalang.

Meresapi Keindahan Alam
Pengalaman pertama tracking ini membuat saya merasa tidak hanya lebih dekat dengan alam, tetapi juga dengan manusia. Entah sudah langkah ke berapa yang kami tempuh, tidak terhitung pula berapa manusia yang menyapa kami dengan ramah. Rekan saya menegaskan bahwa tidak perlu merasa heran dengan situasi seperti itu. Itu menjadi pelajaran baru ketiga bagi saya.
Ketika meresapi keindahan alam di Kalitalang, saya terpikirkan sesuatu yang sedikit menggerus perasaan. “Pemandangan ini mungkin saja lahir dari hal yang menyakitkan bagi alam atau bahkan makhluk lain dan kita mengaguminya sebagai sebuah keindahan,” ucap saya.

Begitulah kiranya ketika saya melihat pemandangan itu. Akan tetapi, setidaknya saya tahu bahwa alam tidak perlu merasa terlalu kecewa. Pada kenyataannya rasa sakit itu melahirkan keindahan yang bisa saja membuat ia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ini menjadi pelajaran terakhir yang saya peroleh di siang itu.
Kalitalang membawa saya lebih jauh dari sekadar mengunjunginya. Banyak hal yang saya pelajari tentu tak lepas dari andil ketepatan rekan yang membawa saja hingga sejauh itu.
Saya memang tidak mencapai puncaknya dan merasa cukup sampai di Pos 3. Itu bukan pencapaian jika diukur dari ujung perjalanan di Kalitalang. Akan tetapi, itu adalah sebuah keberhasilan bagi saya dalam kemampuan meresapi dan memaknai perjalanan saya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Terima kasih ceritanya, saya sangat menikmatinya.