Senin malam yang sunyi (26/8/2024) mengantarkan saya ke gelaran Nandur Srawung (NS) ke-11 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Gelaran ini dimulai 15 Agustus dan berakhir 28 Agustus 2024. NS kali ini mengusung tema “Wasiat: Legacy”. Gelaran dibuka pukul 11.00–21.00 WIB. Untungnya saya datang pukul 19.00 WIB.
Sesampainya di TBY, saya langsung disuguhkan Wayang Carangan karya Nasirun (2023), dirakit oleh Zulfian Amrullah yang sudah melalui diskusi bersama tim kurator dan Nasirun. Wayang ditampilkan dengan bungkus-bungkus kotak kain putih transparan yang memberikan wajah baru bagi gedung TBY. Hal itu sejalan dengan tema NS #11 yang menampilkan karya maestro seni rupa Indonesia, berdampingan dengan seniman masa kini yang terinspirasi dari ‘wasiat’ pendahulu mereka.
Cukup sudah saya memandangi wayang karena kaki saya sudah risih. Akhirnya saya bergegas masuk untuk menilik warisan-warisan kebudayaan yang ditampilkan melalui produk seni rupa masa kini di dalam.
Tapi, tunggu dulu. Ada bendera Palestina!
Produk Seni sebagai Respons terhadap Penindasan Kolonial
Bendera Palestina membuat saya tertarik untuk mendekatinya. Tepat di belakang bendera, ada karya bertuliskan “From the river to the sea, Palestine will be free“. Itulah kalimat puitis yang langsung saya baca. Kalimat itu terpampang di area pintu masuk dan disertai aneka kardus dengan berbagai tulisan, lukisan, dan ungkapan di bawahnya.
Ternyata kardus-kardus itu adalah buah karya dari pengunjung yang menyatakan keberpihakannya. Saya kagum, produk itu menghasilkan ungkapan-ungkapan pengunjung, seperti kisah Burung Pipit yang membantu Ibrahim ketika dibakar. Walaupun hanya setetes air dari paruh pipit untuk memadamkan api, tetapi itu menunjukkan standing position-nya. Ada usaha untuk menyatakan sikap. Untungnya, tidak ada yang seperti cicak pada kisah tersebut. Semua ungkapan pada kardus mendukung kemerdekaan bagi Palestina.
Setelah menilik karya-karya itu, saya dan teman saya, Afrinola, hendak ikut memberi ungkapan. Sayang, kardus sudah habis. Namun, tidak apa, saya gali saja karya ini melalui wawancara dengan Mas Rain Rosidi, salah satu kurator pameran NS #11. Ternyata, pembuat karya mengenai Palestina itu adalah Komunitas Taring Padi.
”Ketika Taring Padi kami undang, [mereka] langsung mengajukan project mengenai Palestina. Karena Palestina ini nyambungnya dengan kita adalah: sikap bangsa kita menyatakan kemerdekaan dan sikap setiap kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Sehingga ketika membicarakan Palestina itu sama saja membicarakan sikap kita terhadap penindasan kolonial,” ungkap Rain Rosidi.
Memang benar. Setiap negara itu harus merdeka. Agar penindasan usai dan keadilan itu terlaksana, bukan hanya utopis. Karya awal sebelum pintu masuk ini telah mempresentasikan sikap produk seni yang baik bagi para pengunjung.
Karya sebagai Gambaran Warisan Zaman Tiap Dekade
Pameran ini menggali bagaimana warisan membentuk dan memengaruhi karya, serta pemikiran seniman generasi terkini dalam berbagai aspek sosial, budaya, dan artistik. Pada setiap ruang ada subtema besarnya. Subtema dilihat dari dekade dalam praktik seni rupa di Indonesia sejak pascakemerdekaan. Karya-karya diklasifikasikan sesuai dengan tema-tema yang telah ditentukan pada beberapa ruang.
Pertama, “Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa” (1945–1955). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang semangat lepas dari kolonialisme dan penjajahan terhadap keindahan alam Nusantara. Karya terkait Palestina masuk dalam tema besar bagian pertama ini. Kedua, ”Suara Rakyat dan Gelanggang Warga Dunia” (1955–1965). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang gerakan sanggar-sanggar seni yang turun ke bawah (turba) dan munculnya kesadaran praktik seni sebagai bagian dari kebudayaan dunia.
Ketiga, “Lantunan Lirisisme dan Perayaan Bentuk” (1965–1975). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang periode humanisme universal dan lirisisme pasca 1965. Keempat, “Menggali Akar dan Mendobrak Batas” (1975–1985). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang kembalinya gaya tradisional dan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru.
Kelima, “Pengembaraan di Dunia Mental dan Mimbar Bebas” (1985–1995). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang munculnya kecenderungan menjelajah dunia mimpi dan imajinasi dengan gaya surealis, serta seni sebagai media protes sosial. Keenam, “Seni Publik dan Media Baru” (1995–2003). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang seni rupa publik dan penjelajahan medium baru termasuk seni video dan seni instalasi. Ketujuh, “Seni Pop dan Kampung Global” (2005–2015). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang perayaan budaya populer dan kedigdayaan teknologi digital yang memungkinkan interaksi global.
Pameran NS #11 menampilkan karya yang terinspirasi dari warisan yang dimiliki Indonesia melalui sejarah-sejarah per dekade tersebut. Pameran ini menciptakan dialog masa lalu dengan masa kini, serta menafsirkan ulang warisan seni.
”Seni rupa itu kan produk kebudayaan. Jadi, hasil sekarang itu merupakan buah dari masa lalu,” tutur Rain Rosidi.
Pada NS #11 kali ini, terdapat total 81 karya dari 75 seniman. Terdapat juga partisipan dari Program Nandur Gawe (program tahunan NS), yaitu Syeaan Isradina Paricha yang berkolaborasi dengan Arahmaiani, Olga Souvermezoglou dengan Taring Padi, dan Sora Gia dengan Radio Buku.
Kurator pada pameran ini bukan hanya Rain Rosidi. Ada empat lainnya, yakni Arsita Pinandita, Bayu Widodo, Irene Agrivina, dan Sujud Dartanto.
Lebih dari Sekadar Hiasan dan Produk Transaksional
Saya tertarik dengan “Oleh-oleh khas Jiwa Ketok” karya Rocky Academy, karena ada tengkorak yang memegang kertas bertuliskan: “Wahai Angkatan Muda, Tanyakan lagi Kepada Jiwamu: Untuk Apa Ke Sekolah Seni? Jika Hari Ini Galeri & Pasar Tidak lagi Peduli Atas Upayamu. Apalagi Kamu Tidak Berupaya Apa-Apa, Haha.”
Ternyata itu adalah kritik dari seni rupa sekarang yang mulai dianggap sebagai barang komoditas. “Ketika membaca sejarah, di Jogja itu dominasi keyakinan mengenai seni itu lebih dari sekadar itu. Seni bukan hanya produk lukis yang masuk galeri kemudian masuk pasar. Tapi seni itu juga produk kebudayaan yang mengandung pernyataan, memiliki makna, dan nilai; di luar nilai fisik yang diperjualbelikan seperti hiasan,” ungkap Rain Rosidi.
Karya itu merepresentasikan sejarah masa lalu. Karena karya ini berada dalam sub tema “Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa” (1945–1955), maka perlu dikaitkan dengan periode 1940–1950-an. Kala itu Indonesia mengalami fase penting dalam kesadaran nasionalisme dan identitas sebagai bangsa merdeka. Kesadaran nasionalisme tumbuh subur di kalangan seniman seperti S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Emiria Soenassa, dan Affandi. Mereka menggambarkan perjuangan kondisi sosial rakyat Indonesia dan menyuarakan aspirasi kemerdekaan melalui karya.
Karya Rocky Academy merupakan wujud kritik dari identitas seni. Seni itu memiliki pernyataan, makna, dan nilai yang bisa ditafsirkan identitasnya. Bukan hanya sekadar hiasan yang masuk galeri kemudian masuk pasar dan menjadi produk transaksional.
Protes Kemarahan: Hati yang Terlalu Jauh
Ketika perjalanan saya sampai di ruang dengan subtema kelima, yakni “Pengembaraan di Dunia Mental dan Mimbar Bebas” (1985–1995), saya langsung teringat kejadian-kejadian akhir ini di Indonesia. Lima hari sebelum ke sini, tepatnya Rabu (21/8/2024), merupakan hari di mana masyarakat Indonesia geram dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR yang tiba-tiba membahas RUU Pilkada tentang ambang batas dan juga calon usia. Pada hari itu juga terdapat protes dengan unggahan “Peringatan Darurat” di media sosial, disusul demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia.
Ingatan saya itu terpicu oleh karya Olga Souvermezoglou yang berkolaborasi dengan Taring Padi. Karya itu sebelumnya sudah memperlihatkan runtutan kronologi protes di Indonesia. Kemudian, pengunjung diajak interaktif untuk mengungkapkan protesnya melalui kertas, spidol, dan lem yang sudah disiapkan. Setelah itu, pengunjung bebas untuk menempelkannya di tembok. Saya menemukan banyak sekali protes yang berkaitan dengan tragedi demokrasi di hari Rabu itu dan keresahan-keresahan lainnya.
Karya Olga merupakan representasi seni rupa tahun 1980–1990-an. Kala itu lahir aliran-aliran baru yang muncul sebagai respons terhadap keadaan sosial politik yang ada. Karya ini terekam dalam seni lukis surealis di Yogyakarta.
“Seniman memberikan ruang bahwa seni itu adalah media untuk protes. Taring Padi meyakini bahwa seni itu adalah alat politik untuk menyatakan pendapat dia itu menggunakan seni. Di era itu (1980–1990-an) memang menggunakan seni untuk statement politik. Termasuk kritik sosial,” ungkap Rain Rosidi.
Bagi saya, protes itu adalah wujud kemarahan yang menandakan hati yang terpaut jauh dengan yang dituju. Mengapa demikian? Karena jika suara tidak pernah didengar, tentu menimbulkan suara yang lebih lantang disertai kemarahan agar didengarkan. Berbeda dengan hati yang dekat. Tanpa perlu bersuara lantang dan kemarahan. Cukup dengan saling memandang saja sudah saling memahami dan mengerti.
Memang benar, malam yang sunyi—bagi saya—terobati dengan suara-suara yang ramai ketika saya menyelami pameran NS #11. Dengan adanya pameran ini, berbagai karya masa kini yang berdialog dengan masa lalu itu menjadi bunyi. Semua karya merepresentasikan subtema per zamannya. Dapat saya tafsirkan bahwa keseluruhan pameran ini sesuai dengan tema yang diusung, yakni “Wasiat: Legacy”.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.