ARAH SINGGAHEVENTS

Pameran “Makan Key Almig”, Wadah Ekspresi dan Suara Masyarakat Adat Papua

Perjalanan panjang TelusuRI merekam suara-suara masyarakat adat, keragaman hayati, serta budaya Papua melalui Ekspedisi Arah Singgah tahun 2025 tidak hanya berhenti pada publikasi-publikasi tertulis. Sebagai upaya mendekatkan atau membumikan isu-isu Papua—yang selalu identik dengan jauh dan asing—kepada publik, TelusuRI menyelenggarakan Pameran Ekspedisi Arah Singgah Makan Key Almig di Omah Budoyo, Yogyakarta, pada 6 November–5 Desember 2025.

Makan Key Almig diambil dari bahasa Malind-Sanggase yang berarti Tanah Kehidupan. Tajuk pameran tersebut lebih dari sekadar penghormatan terhadap bahasa ibu di Papua. Makan Key Almig bisa dikatakan merupakan ‘surat cinta’ dari komunitas Malind Imo di Merauke, mama-mama Tobati di Jayapura, serta masyarakat adat lintas generasi suku Moi di Tambrauw dan Sorong; orang-orang yang menjadikan tanah dan hutan sebagai tempat menggantungkan hidup, orang-orang yang melestarikan budaya dan keterikatan dengan alam di sekitarnya.

Pameran “Makan Key Almig”, Wadah Ekspresi dan Suara Masyarakat Adat Papua
Salah satu sudut galeri foto hasil ekspedisi Arah Singgah di Pameran Makan Key Almig/Dokumentasi TelusuRI

Diseminasi ekspedisi jurnalistik Arah Singgah

Perjumpaan-perjumpaan dengan masyarakat adat tersebut kemudian terabadikan melalui mata lensa kamera, karya audio-visual, goresan pena, buku, hingga artefak-artefak tradisional seperti alat berburu dan bahan pangan lokal. Dari medium yang ada, tersaji cerita-cerita masyarakat adat yang kerap terpinggirkan dari media arus utama. Pameran ini mengajak pengunjung melihat pola kehidupan masyarakat adat Papua dalam mencari makan sekaligus merawat tanah leluhur mereka, serta mempertahankan wilayah adatnya dari ancaman investasi industri ekstraktif—yang biasanya digawangi negara dan korporasi.

Masyarakat Malind Imo di Kampung Sanggase mengisi hidupnya dengan mengolah sagu dan kelapa, berburu rusa hingga biawak, serta menjaring ikan di laut dan rawa. Bayang-bayang rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke untuk cetak sawah dan lahan tebu seluas 2 juta hektare masih menghantui. Di Teluk Youtefa, Jayapura, mama-mama Tobati yang bermukim di Kampung Enggros masih melestarikan ekosistem mangrove Hutan Perempuan, tempat sumber makanan dan juga ruang ekspresi khusus bagi perempuan. Persoalan sampah perkotaan dan pembangunan jalan tanpa memperhatikan aspek lingkungan menjadi tantangan yang harus dihadapi mama-mama tersebut.

Sementara di wilayah Kepala Burung Papua, masyarakat suku Moi mengembangkan ekowisata pengamatan burung di Distrik Selemkai, Tambrauw. Mereka juga masih mempertahankan makanan lokal seperti sagu, petatas, dan sayuran hutan. Suku terbesar di Sorong Raya ini hidup di Lembah Klasow, hutan tropis terakhir suku Moi. Kegiatan ekonomi berkelanjutan serta pelestarian budaya adalah upaya mereka melawan rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit yang mengancam hutan adat suku Moi.

Pameran “Makan Key Almig”, Wadah Ekspresi dan Suara Masyarakat Adat Papua
Sesi Artist Talk bersama Michael Yan Devis (tengah), pendiri Udeido Collective dan seniman Albertho Wanma, didampingi oleh kurator pameran Ayos Purwoaji (paling kanan)/Dokumentasi TelusuRI

Kolaborasi dengan Udeido Collective

Dalam pameran ini, TelusuRI berkolaborasi dengan kolektif seni Udeido. Mereka menampilkan karya-karya kritis untuk menggaungkan situasi krisis sosial-ekologis yang dihadapi masyarakat adat di Tanah Papua, khususnya Papua Selatan. Udeido memajang gambar-gambar dari anak-anak Merauke, instalasi patung “The Missing Marker” karya Albertho Wanma, dan lukisan “Tanah yang Hilang” karya Yanto Gombo. 

“Kami mengundang kolektif seni Udeido untuk terlibat dalam pameran ini, selain untuk memperluas sudut pandang pengunjung pameran, juga agar suara-suara dari masyarakat Papua mengenai tanah leluhur mereka bisa terdorong ke permukaan,” ujar Ayos Purwoaji, kurator Pameran Ekspedisi Arah Singgah: Makan Key Almig.

Kolaborasi antara TelusuRI sebagai media dan Udeido sebagai kolektif seni diharapkan menjadikan suara-suara masyarakat adat makin lantang untuk didengar siapa pun. Baik itu oleh pemerintah, perusahaan, maupun orang-orang yang masih menganggap Papua sebagai tanah tak bertuan. Pameran Makan Key Almig merupakan satu dari sekian banyak momentum masyarakat adat bersuara, menuntut pihak-pihak mana pun yang memiliki relasi kuasa agar berpihak secara adil dan melindungi masyarakat adat.

Kampanye mitigasi iklim

Produk-produk pameran yang dipajang serta rangkaian acara temu wicara dan lokakarya juga menjadi bagian dari kampanye menyongsong COP30, konferensi iklim dunia yang berlangsung pada 6–21 November di Belém, Brazil, salah satu pintu masuk Hutan Amazon. Suara masyarakat adat Papua sejalan dengan masyarakat adat maupun komunitas tradisional di negara-negara yang memiliki hutan tropis—yang dianggap sebagai paru-paru dunia.

Ketidakadilan iklim dialami masyarakat adat, sebuah komunitas kecil yang rentan terhadap perubahan iklim. Padahal masyarakat adat hanya menyumbangkan dampak terkecil terhadap iklim bumi, kontras dengan industri-industri ekstraktif dengan dampak paling merusak. Masyarakat adat adalah solusi terbaik dalam meminimalisasi dampak perubahan iklim, dan dari mereka pula dunia diajak untuk kembali hidup harmonis dengan alam.

“Isu dan suara masyarakat adat sering terdengar paling lirih, padahal mereka menjadi kunci keberlanjutan alam. Melalui Arah Singgah, TelusuRI berupaya menghadirkan suara-suara tersebut, dari tanah yang mungkin namanya tampak sangat asing bagi pengunjung. Kami ingin semua orang mendengar kisah mereka, melihat bahwa mereka ada, karena kami percaya bahwa menjaga kehidupan tidak cukup hanya dengan pembangunan dan kemajuan teknologi saja melainkan bagaimana kita sebagai manusia dapat menghormati tanah yang menumbuhkan kehidupan,” ujar Mauren Fitri ID, Editor in Chief, TelusuRI.

Pameran “Makan Key Almig”, Wadah Ekspresi dan Suara Masyarakat Adat Papua
Salsabila Andriana menjelaskan bahan sagu suku Moi kepada pengunjung pameran/Dokumentasi TelusuRI

Gelaran temu wicara dan lokakarya

Untuk memeriahkan pameran, selain arsip foto, catatan ekspedisi, dan instalasi seni, pada 6–10 November 2025 lalu Makan Key Almig menggelar pementasan seni dan ruang diskusi publik yang membicarakan beragam isu-isu menarik. Pameran ini menghadirkan sejumlah pembicara dengan bidang dan kepakaran masing-masing.

Moses Ramsis Boi (EcoNusa Merauke) dan Yulince Zonggonau (EcoNusa Kaimana) menceritakan proses pendampingan ekonomi restoratif masyarakat di wilayah kerja mereka. Maria Casandra dan Katarina Sari selaku Creative Producer Sporadies mengajak peserta lebih mengenal berbagai jenis bunga lokal di sekitar dan belajar merangkai bunga dengan kesadaran penuh, sebagai bentuk refleksi hubungan manusia dengan alam. 

Temu wicara Voice of Mama-Mama oleh Alinea dan Photovoices International merefleksikan perjalanan mereka merekam kehidupan perempuan adat di Lembah Grime Nawa, Jayapura, di tengah tantangan dan ancaman ekologis yang mengambil alih hutan adat suku Namblong. Kemudian Salsabila Andriana lewat Lumbung Sagu Collective menekankan pentingnya sagu sebagai sumber pangan masyarakat Moi di Sorong, serta mengajar praktik membuat zine menggunakan kertas dari olahan kulit petatas atau ubi jalar. Kekayaan alam Papua juga menjadi inspirasi bagi Sanata Mizana dan Saffanah Zakia dari Sekar Kawung, yang menggelar lokakarya praktik membuat boneka cenderawasih dari kain tenun dan kapas cokelat bronesia, serta merenungi nilai-nilai keberlanjutan selama prosesnya.

Tak hanya kegiatan dalam ruang. Pameran Makan Key Almig juga dihidupi dengan tur fotografi bersama Anggertimur di kawasan wisata Tamansari dan Pasar Ngasem, Yogyakarta, untuk melihat konektivitas alam, budaya, dan manusia. Hasil jepretan peserta tur kemudian diolah menjadi karya saat praktik membuat cerita foto yang dimentori langsung oleh Anggertimur. Melalui fotografi pula, Aisyah Hilal dan Ulet Ifansasti dari iklimku.org mengampanyekan isu-isu lingkungan dan keadilan iklim. Bagi keduanya, foto merupakan salah satu medium paling kuat dan relevan untuk mendekatkan masyarakat kepada persoalan iklim. Nina Hidayat, pustakawan Melek Huruf, mengisahkan proses kreatif dan misi literasi berbasis lingkungan yang dibangun melalui Taman Baca Melek Huruf, yang tumbuh secara berkelanjutan bersama suasana khas perdesaan di kawasan wisata Borobudur, Magelang. 

Kompleksnya hubungan manusia dengan alam maupun lingkungan sekitar juga menjadi perspektif kritis dalam sesi diskusi bersama Daru Aji Saputro, Ketua Yayasan Aksi Konservasi Yogyakarta. Daru menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem di bumi sebagai tempat tinggal bersama semua makhluk hidup. Sementara komunitas Climate Rangers Jogja mengajak publik untuk lebih peduli dalam membaca iklim, mengkritisi kebijakan-kebijakan iklim di berbagai negara, serta membahas upaya mitigasi sebagai solusi merawat bumi. 

Pameran “Makan Key Almig”, Wadah Ekspresi dan Suara Masyarakat Adat Papua
Galeri Pameran Ekspedisi Arah Singgah Makan Key Almig/Dokumentasi TelusuRI

Inisiatif-inisiatif berkelanjutan tanpa melupakan lokalitas juga disuarakan oleh Vivian Lucia Utama, pendiri Plantella.co. Vivian mengajak peserta belajar merawat tanaman secara tepat, mengolah sampah dapur rumah tangga menjadi kompos, serta menggunakan air dan tanah dengan lebih bijaksana. Anindwitya Rizki Monica, melalui platform JogJamu, seperti mengingatkan masa kecil dengan meracik rempah lokal menjadi jamu tradisional. Di balik jamu yang dibuat, tersimpan khasiat dan filosofi bahan-bahan yang digunakan.

Sebagai temu wicara pamungkas, Hannif Andy (Desa Wisata Institute) bersama Tri Vonia Nafurbenan (Green Wana Papua dan Peneliti Muda PPKK UGM) membicarakan ekowisata sebagai salah satu upaya menyeimbangkan ekosistem Papua dengan kegiatan ekonomi secara berkelanjutan. Berangkat dari studi kasus di Sorong, Raja Ampat, Tambrauw, dan Teluk Bintuni, ekowisata dianggap sebagai jalan tengah untuk pengembangan daya tarik wisata berbasis masyarakat, tanpa harus merusak lingkungan.

Bagi yang belum berkesempatan datang, Pameran Makan Key Almig di Omah Budoyo, Karangkajen, Yogyakarta, masih terbuka untuk umum dan gratis sampai 5 Desember 2025. Kecuali Senin, galeri pamer akan buka setiap hari pukul 10.00–17.00 WIB.


Foto sampul: Penampilan Bara Sunyi di Tanah Harmoni oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa Timur ISI Yogyakarta saat pembukaan Pameran Makan Key Almig, 6 Desember 2025 (Dokumentasi TelusuRI)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Avatar photo

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
28 Hari Arah Singgah: Cermin Besar dari Bumi Cenderawasih