TRAVELOG

Oleh-oleh dari Museum Taman Tino Sidin

Nama besar Pak Tino Sidin sekelebat terlintas tiap kali saya melewati Museum Taman Tino Sidin, Bantul, Yogyakarta. Pasalnya museum ini terletak cukup dekat dengan rumah salah satu kawan saya, Wening. Tiap kali datang maupun pulang dari rumah Wening, saya memang melintas di jalan yang searah dengan lokasi museum yang dibuka pada 4 Oktober 2014 itu. 

Sebagai anak yang tumbuh di era 90-an, saya tidak begitu familiar dengan nama Pak Tino Sidin. Begitu pula dengan acara Gemar Menggambar yang ia ampu di TVRI pada era 80-an silam. Terlebih semenjak akhir SMA, saya memang masuk di jurusan IPA. Semakin berjaraklah pengetahuan saya dengan Pak Tino Sidin. Apalagi hobi saya memang jauh dari dunia kreatif, utamanya menggambar.

Lama berselang, nama Pak Tino Sidin kembali mencuat dalam sebuah obrolan dengan Nana, kawan yang berprofesi sebagai penulis sekaligus ilustrator komik. Waktu itu Nana datang ke Jogja untuk keperluan pekerjaan. Sebagai alumni DKV, Nana bercerita bahwa ia dan temannya berencana untuk mengunjungi Museum Taman Tino Sidin. 

Saya lupa-lupa ingat mengapa saya tidak ikut menemani salah satu agenda kawan saya tersebut. Yang saya ingat betul, sejak mendengarkan betapa excited-nya Nana saat bercerita tentang museum ini, tebersit keinginan yang sama untuk mendatangi museum yang berdiri di atas rumah pribadi Pak Tino Sidin tersebut.

Sayangnya, beberapa kali melewati Museum Taman Tino Sidin, suasana bangunan bernuansa cokelat tersebut terbilang sepi. Entah mengapa suasana semacam ini menimbulkan sedikit rasa enggan jikalau datang tidak bersama dengan rombongan. Alhasil hingga awal tahun ini, rencana saya untuk datang ke sana belum terealisasi juga. 

Oleh-oleh dari Museum Taman Tino Sidin
Tampak depan Museum Taman Tino Sidin/Retno Septyorini

Kesempatan Baik itu Akhirnya Datang

Pucuk dicinta ulam pun tiba, akhir Mei lalu saya ditawari Mbak Novi soal adanya kuota untuk mengikuti kegiatan Wajib Kunjung Museum (WKM) yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul. WKM merupakan program yang dicetuskan oleh Pemprov DIY untuk menjadikan museum sebagai salah satu pusat pembelajaran, penelitian, dan rekreasi bagi pelajar di DIY. Seiring berjalannya waktu, kegiatan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2013 dibuka untuk umum maupun perwakilan dari berbagai komunitas yang ada di sekitar DIY.

Mei kemarin saya berkesempatan mengisi satu kuota kosong dari salah satu komunitas jalan-jalan di Jogja. Karena domisili saya memang di area Bantul, saya langsung mengiyakan tawaran Mbak Novi. Terlebih dua museum yang akan dikunjungi belum pernah saya datangi, yang salah satunya adalah Museum Taman Tino Sidin. Museum yang acap kali ingin saya datangi, tetapi enggan jika harus seorang diri. 

Sempat mengikuti dua acara WKM di tahun yang berbeda, saya mencatat beberapa hal menarik dari program belajar sekaligus rekreasi yang satu ini. Pertama, kegiatan WKM tidak dipungut biaya. Jadi, lumayan sekali jika dapat kuota yang tujuan kunjungannya adalah museum yang masuk wishlist masing-masing peserta. Selain itu disediakan akomodasi yang memadai, mulai alat transportasi berupa bus hingga konsumsi. Terakhir, kegiatan ini juga memfasilitasi peserta dengan narasumber yang mumpuni di setiap kunjungan museum.

  • Oleh-oleh dari Museum Taman Tino Sidin
  • Oleh-oleh dari Museum Taman Tino Sidin

Jejak Sejarah di Lantai Pertama

Perjalanan kami pagi itu dimulai dari arah Kompleks II Pemkab Bantul, Jalan Lingkar Timur. Dari sana ke Museum Taman Tino Sidin memerlukan waktu sekitar 30–40 menit. Tergantung kepadatan lalu lintas. Saat bus mulai berbelok ke Jalan Tino Sidin, di sinilah awal mula keseruan perjalanan saya dan rombongan di Rabu pagi, 28 Mei lalu.

Memasuki Museum Taman Tino Sidin, rombongan kami disambut oleh Ibu Titik Tino Sidin, kolega serta beberapa karyawan museum. Ibu Titik merupakan putri bungsu Pak Tino Sidin. Beliaulah yang memiliki ide untuk membuat Museum Taman Tino Sidin ini. Setelah sesi perkenalan, Bu Titik memulai tur dengan menceritakan profil Pak Tino Sidin. 

“Putra Tebing Tinggi kelahiran 25 November 1925 ini mulai hijrah ke Pulau Jawa pada tahun 1946. Dalam rangka turut serta menjaga kedaulatan Indonesia, di fase awal kemerdekaan ini Pak Tino Sidin bergabung dalam Tentara Pelajar yang ditugasi dalam kegiatan spionase. Karena bakat menggambar Pak Tino Sidin memang sudah terlihat sedari kecil, selain menjalankan tugas kemiliteran, Pak Tino Sidin juga bercita-cita untuk memperdalam ilmu menggambarnya. Karena itulah saat hijrah ke Pulau Jawa, Pak Tino menuju Jogja. Kota tempat di mana Taman Siswa berada.”

Semua peserta WKM terlihat mendengarkan dengan seksama. Ada yang mencatat, ada juga yang mengabadikan dalam bentuk foto maupun video.

Karier Pak Tino Sidin melesat setelah acara Gemar Menggambar di TVRI Stasiun Yogyakarta sejak tahun 1969, lalu mulai diunggah di TVRI Stasiun Jakarta Pusat pada tahun 1979. Dari sinilah komentar “Ya, Bagus!” tersebut mulai dikenal seantero Indonesia. Popularitas Pak Tino Sidin semakin menanjak tatkala beliau ditunjuk sebagai penatar guru gambar dalam lingkup nasional. Pagi itu Bu Titik juga sempat memperlihatkan tanda terima honor acara menggambar yang begitu fenomenal tersebut.

Nama Museum Taman Tino Sidin sendiri diambil dari keinginan Pak Tino Sidin yang semasa hidupnya terinspirasi dengan keberadaan Taman Ismail Marzuki. Pada beberapa rumah pribadi tokoh terkemuka yang kini diabadikan menjadi museum, saya merasa aura museum menjadi begitu homey. Seolah tidak berjarak dengan siapa saja yang memasukinya. Begitu pula yang saya rasakan sejak awal menapakkan kaki di museum ini. Semacam merasa sedang berkunjung di rumah guru menggambar di sekolah saja. Bukan memasuki area museum yang terasa kaku.

Selain bertujuan untuk melestarikan karya, jasa, dan warisan seni dari Pak Tino Sidin, pembuatan Museum Taman Tino Sidin diharapkan dapat meneruskan semangat dan cita-cita Pak Tino Sidin untuk mengembangkan kreativitas serta pembentukan karakter anak bangsa. Di lantai pertama Museum Taman Tino Sidin, pengunjung dapat melihat beragam karya Pak Tino Sidin, mulai dari sketsa hitam putih, sketsa berwarna, aneka lukisan, buku hingga komik. Tersedia pula cendera mata yang dapat dibeli oleh para pengunjung. 

Di sini teman-teman juga dapat melihat berbagai koleksi barang pribadi milik Pak Tino Sidin. Di salah satu sudut ruangan dipajang beberapa potret Pak Tino Sidin bersama keluarga dan kawan sejawatnya. Setelah puas berkeliling di lantai pertama, saya dan rombongan melanjutkan untuk menjelajah di lantai kedua Museum Taman Tino Sidin. Di sinilah sebagian potret kreativitas anak dan pengunjung museum dipajang sekaligus dimulai. 

Oleh-oleh dari Museum Taman Tino Sidin
Koleksi lukisan tema gurita yang terdapat di lantai dua museum/Retno Septyorini

Oleh-oleh yang Dibawa Pulang

Selain dapat menikmati berbagai karya Pak Tino Sidin, di lantai dua Museum Taman Tino Sidin juga dipajang berbagai karya mewarnai yang mencerminkan ragam kreativitas anak bangsa. Karya gurita, contohnya. Dari satu instruksi gambar yang serupa ternyata dapat menghasilkan karya yang berbeda satu sama lain. Hal ini pun dibuktikan secara langsung oleh peserta WKM pagi itu.

Jadi, di akhir sesi tur, seluruh peserta WKM diberi kesempatan untuk mendulang kreativitas yang dipandu langsung oleh Pak Tino Sidin. Dipandunya dalam bentuk intruksi lewat video. Selain menyediakan tempat untuk menggambar, pihak Museum Taman Tino Sidin juga menyediakan kertas gambar sekaligus alat pewarnanya. 

Pagi itu rombongan kami diberi kesempatan untuk menggambar burung. Uniknya, instruksi menggambarnya terbilang mind blowing untuk ukuran anak eksak macam saya ini. Dari mulai menggambar bentuk serupa manga, lalu diberi tangkai lancip di bagian atasnya. Lanjut tangkai samping, lalu kaki, dan mata: gambar burung pun jadi. Sisanya hanya perlu menggambar pelengkapnya saja, seperti rumput, bunga dan tangkai tanaman.

Keseruan praktik menggambar di Museum Taman Tino Sidin/Retno Septyorini

Proses selanjutnya adalah mewarnai. Di sesi ini peserta bebas mewarnai sesuai dengan imajinasi masing-masing. Selesai mewarnai, rombongan kami ditawari lagi untuk praktik menggambar sesi kedua. Karena mengejar waktu, rombongan kami hanya mempraktikkan sesi pertama dari dua atau tiga sesi menggambar yang disediakan oleh pihak museum. Meski demikian, sesi menggambar pagi itu cukup berkesan di hati saya.

Bagi saya pribadi, momen menggambar semacam ini seolah mengembalikan indahnya masa kanak-kanak di tengah gemuruh kehidupan orang dewasa yang begitu dinamis. Meski sekelebat, kegiatan sederhana ini ternyata dapat menghangatkan hati. Selain bisa dibawa pulang, keseruan kegiatan menggambar pagi itu ternyata dilombakan. Ada hadiahnya pula! 

Informasi selengkapnya tersemat pada laman Instagram resmi Museum Taman Tino Sidin. Di sana terdapat informasi lengkap sekaligus narahubung yang dapat dihubungi terkait rencana kuota kunjungan maupun les menggambar yang tersedia. Museum Taman Tino Sidin buka hari Senin–Sabtu, pukul 09.00–15.00 WIB.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Retno Septyorini

Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso