Masyarakat Indonesia begitu dekat dengan beras. Bahkan penyematan “agraris” tidak lepas dari relasinya dengan beras. Namun, fenomena tersebut justru memicu ketergantungan kita terhadap beras dan ini cukup mengkhawatirkan. Tahun 2022 lalu, pemerintah menerapkan kebijakan impor guna menutupi stok Bulog yang anjlok. Alhasil harga beras melonjak. Masyarakat pun mulai mengeluh, terlebih saat memasuki musim-musim perayaan besar.

Sebab lumpuhnya ketersediaan beras dan kebijakan impor dari pemerintah dapat ditelusuri ketika masa Orde Baru. Kala itu pemerintah begitu bangga terhadap kualitas pangan yang dinilai mapan. Bahkan, pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras hingga 1986. Selama periode tersebut, pemerintah begitu fokus terhadap kebijakan beras dan mengampanyekan beras sebagai satu-satunya kebutuhan pangan bagi masyarakat.

Namun, memasuki dekade 1990-an, Indonesia justru menemui titik lumpuhnya. Pemerintah terpaksa kembali mengimpor beras dari negara lain, bahkan tahun 1995 ketergantungan impor beras melonjak tajam. Banyak pihak menilai, kegagalan mempertahankan swasembada pangan karena pembacaan masalah yang keliru. Beras yang digadang-gadang sebagai satu-satunya kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia, justru rapuh dan tidak sedikit yang mengeluh akan tingginya harga pangan.

Tidak semua orang terdampak serangkaian krisis akibat ketergantungan terhadap beras. Nyatanya jauh di pinggiran Kebumen, tepatnya Desa Karanggayam, keadaan suram tersebut tidaklah begitu penduduk setempat. Bagi masyarakat Karanggayam, beras bukan menjadi satu-satunya andalan untuk memenuhi kebutuhan perut. Penyelamat mereka dari krisis adalah nasi oyek.

Nasi Oyek Khas Kebumen sebagai Alternatif Pangan
Pemandangan persawahan di Desa Karanggayam Kebumen via Wikipedia/S Budi Masdar

Menyusuri Nasi Oyek Khas Kebumen

Pada suatu waktu, saya memutuskan untuk tinggal di Karanggayam beberapa hari. Dari pengalaman ini, saya membaca bahwa mereka memiliki kemandirian pangan. Meskipun cukup jauh dari pusat kota Kebumen, tidak lantas membuat masyarakat harus bergantung pada kebijakan dan keadaan pangan di kawasan perkotaan.

Saat itu, ketika hendak menyusuri Pasar Karanggayam, saya melihat banyak dari para pedagang pasar menjajakan nasi oyek. Saya putuskan untuk membeli karena perut sudah terlalu lapar dan jam makan sudah terlewat.

Harga nasi oyek tersebut tergolong murah bagi saya. Saya hanya mengeluarkan uang tiga ribuan untuk membawanya pulang. Secara penampilan cukup jauh dengan nasi (beras), meskipun berbentuk seperti butir-butir beras pada umumnya. Bahan dasar nasi oyek berasal dari singkong.

Penjual mengambil langsung dari keranjang nasi menggunakan centong lalu membungkusnya dengan kertas minyak. Lantaran sisa uang saya masih cukup banyak, saya sekalian memesan dan membungkus satu porsi sayur bayam serta lauk mendoan untuk menemani makan pagi saya..

Dalam perjalanan kembali ke rumah tempat saya menginap, sembari berjalan-jalan menyusuri pasar, saya mencari kudapan lain yang sekiranya dapat saya cicipi. Ketika sampai di rumah, kepulan nasi oyek segera menerpa wajah saya. Ternyata nasi tersebut masih bertahan dalam keadaan hangat meski sudah saya bawa berkeliling.

Segera saja menu sarapan tersebut saya santap, lengkap dengan mendoan dan bayam hijau di sampingnya. Tatkala mulut ini menyantap butir-butir nasi oyek, saya mendapati rasanya yang begitu lembut. Malah cenderung tidak berserat sebagaimana beras. Pikir saya, meskipun tanpa lauk sekalipun nasi oyek masih bisa dinikmati. 

Jika membandingkan dengan beras, kandungan gizi nasi oyek tetap dapat mengisi perut saya yang masih kosong. Hanya dengan mengonsumsi satu porsi, rasanya tubuh ini sudah mendapatkan energi tambahan untuk melanjutkan aktivitas.

Nasi Oyek Khas Kebumen sebagai Alternatif Pangan
Penjual nasi oyek khas Kebumen dan sayuran pelengkap/Mohamad Ichsanudin Adnan

Alternatif Pangan dari Kebumen

Jika menelusuri menurut tutur lisan yang beredar, hadirnya nasi oyek bermula dari keadaan masyarakat yang sedang mengalami kesulitan untuk bertahan hidup. Hal ini salah satunya merujuk pada masa pendudukan Jepang. Saat itu masyarakat terkendala untuk mendapatkan beras karena kebijakan pangan yang timpang di daerah tersebut. 

Kondisi itu berlanjut hingga masa perjuangan merebut kemerdekaan. Tak sedikit dari para pejuang yang kelelahan hingga kelaparan menghadapi tentara kolonial. Penyebabnya antara lain kebutuhan logistik yang tidak mendukung mereka untuk bisa bertahan. 

Berangkat dari keadaan tersebut, singkong pun menjadi pilihan alternatif untuk menggantikan nasi. Terlebih singkong di Karanggayam mudah dijumpai. Hampir setiap kepala keluarga menanam singkong di pekarangan rumahnya. Bahkan sampai dewasa ini, ketika saya menyusuri desa tersebut, gampang sekali saya menemui tanaman singkong yang tumbuh subur hingga ke tebing-tebingnya.

Tingginya harga beras yang beredar di banyak daerah saat ini, tampaknya tidak begitu berpengaruh bagi penduduk Karanggayam. Sejarah dan masa krisis telah memberi pelajaran yang begitu berarti bagi mereka untuk membangun alternatif pangan yang berkelanjutan. Juga harapan untuk menjaga diversifikasi pangan selain beras.

Upaya mandiri pangan tersebut tampaknya bisa menjadi pelajaran penting bagi masyarakat lainnya di luar Karanggayam. Terutama kawasan perkotaan. Tidak semuanya memiliki bekal atau kemampuan untuk bersiap diri menghadapi krisis, dalam hal ini di sektor pangan. Di balik anggapan mapan dan modern, sejatinya ada kerapuhan. 

Maka terlintas pertanyaan-pertanyaan besar di benak saya. Perlukah orang-orang kota kembali belajar ke desa? Atau, haruskah kita tak lagi menempatkan desa sebagai tempat yang “tertinggal”?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar