“Di dasar telaga, hidup sepasang naga,” tutur seorang bapak pada anaknya seraya menunjuk kecipak ombak di tengah telaga. Alih-alih tertarik, anak empat tahun tersebut malah berlari ke seberang, arah utara. “Kuda, kuda, kuda!” teriak sang anak. Bapaknya pun mengejar. Sang anak lebih memilih naik kuda daripada mendengar cerita bapaknya.
Namun, meski tak dihiraukan anaknya, ucapan sang bapak tak menguap sia-sia. Telinga saya tidak sengaja menangkap ucapannya ketika bersantai menyesap kopi di tepi Telaga Sarangan, Magetan, Jawa Timur.
Apa benar sepasang naga hidup di dasar telaga ini? Rasa penasaran membekap. Tutur seseorang tak kukenal mengendap di kepala. Tidak elok rasanya jika saya mengganggu bapak-anak yang sedang berpelesir itu. Jari-jemari pun langsung berselancar di dunia maya. Saya mencari “Naga Telaga Sarangan”. Boom! Muncullah kisah asal-usul telaga ini dengan berbagai versi.

Narasi Naga Telaga
Konon, telaga ini bermula dari seorang petani bernama Kiai Pasir yang menemukan telur di tepi ladangnya. Ia pun membawanya ke rumah. Istrinya, Nyai Pasir, memasak telur tersebut, mengirisnya jadi dua bagian dan bersama-sama memakannya dengan Kiai Pasir. Namun, saat kembali ke ladang, Kiai Pasir dan Nyai Pasir merasakan panas di tubuhnya dan perlahan-lahan berubah wujud menjadi naga. Naga-naga itu bergeliat dan berguling-guling di atas pasir hingga terbentuk cekungan yang cukup dalam. Cekungan pun memancarkan air bumi. Akhirnya, sepasang naga terkubur air di dasar telaga.
Di tepi Telaga Sarangan, mata saya memang memandang cemara-cemara yang anggun bergoyang, kuda-kuda berpenumpang yang berseliweran, lalu-lalang pengunjung yang berjalan, speed boat yang berputar-putar, dan riak-riak air telaga yang berombak. Namun, pikiran saya telanjur terngiang kisah sepasang naga. Hebat! Sepasang naga telah mencipta kenikmatan dan hiburan bagi umat manusia.
Saya kembali tersadar ketika gelap bergelayut dan petang menyelimut. Saya pun memutuskan berjalan mengitari telaga. Di samping telaga, hotel-hotel dan penginapan menjamur. Kelap-kelip lampu mengelilingi telaga. Malam makin larut, tapi pengunjung makin menyemut. Iklim yang sejuk dan pemandangan yang aduhai membuat Telaga Sarangan jadi jujugan wisata, bahkan sejak zaman kolonial.
Puas berjalan-jalan, saya memutuskan duduk di antara rombong sate kelinci dan gerobak ronde-angsle. Kata orang-orang, tanpa menyantap sate kelinci dan menyesap ronde-angsle, kita dianggap belum sah mengunjungi Telaga Sarangan. Setelah memesan, saya bertanya pada penjual sate kelinci, “Apa benar sepasang naga hidup di dasar telaga di kaki Gunung Lawu ini?” Ia mengangguk. Pertanyaan serupa saya lontarkan pada penjaga rombong angsle-ronde. Dia mengiyakan.

Seteguk ronde hangat membuat dada hangat. Tiba-tiba saya teringat konsep storynomics tourism, pendekatan pariwisata yang menitikberatkan pada kekuatan narasi. Dalam buku Storynomics: Story-Driven Marketing in the Post-Advertising (2018), Robert McKee mengemukakan bahwa cerita menjadi faktor kuat suksesnya pemasaran produk ekonomi.
Pada aspek promosi pariwisata, legenda naga Telaga Sarangan adalah contoh absah penerapan storynomics tourism. Pasalnya, narasi tentang Telaga Sarangan yang terbentuk dari geliat naga disebarkan, dituturkan, dan diturunkan. Dari mulut ke mulut, dari kepala ke kepala, dari generasi ke generasi. Legenda naga ini turut mendukung, melengkapi dan memperkuat keindahan alam Telaga Sarangan.
Pemandangan telaga di kaki gunung memang menjadi daya tarik utama wisatawan, tetapi narasi naga telaga tak dapat disepelekan. Legenda naga bergema dalam tempurung-tempurung kepala warga hingga saya mendengarnya pada suatu senja. Ah, bagaimana nasib bapak-anak itu? Apakah sang anak telah mendengar kisah naga telaga?
Malam telah berganti dini hari. Telaga tak kunjung sepi. Tubuh saya butuh menepi dan merebahkan diri. Sebelum benar-benar terlelap, sebuah pertanyaan muncul di kepala. Mengapa asal-usul Telaga Sarangan yang bersumber dari cerita rakyat lebih mengemuka daripada fakta saintifik geologisnya sebagai danau vulkanik?


Foto-foto lawas Telaga Sarangan tahun 1930 (kiri) dan 1935 via Leiden University Libraries/KITLV
Dendang Sarangan
Matahari muncul begitu memesona di kaki Gunung Lawu. Cahayanya mengkilat-kilat hangat. Kabut terangkat mengangkasa. Kemarin, saya sudah tamat mengitari telaga. Saatnya mencari alternatif tempat. Saya meniti setapak di tepi pemukiman, ladang-ladang, dan kebun-kebun. Stroberi, bawang, sawi, dan selada menyapa. Hati saya hangat terasa. Puji Tuhan, Sarangan dianugerahi tanah subur dan pemandangan serupa mazmur.
Ya, mazmur. Puji-pujian pada Tuhan. Alam seindah ini, pasti memunculkan kidung terlantun dan madah tercipta. Saya membatin. Benar belaka. Saat jemari menelusuri Youtube, terpampang tiga lagu merekam keasrian telaga. Nada-nada menggemakan keindahan Sarangan. Dendang lagu turut mengamplifikasi keasrian telaga. Penuh puja-puji, Ismanto mencipta lagu Telaga Sarangan berlanggam keroncong. Ismanto menulis:
Teduh sunyi damai tenang
Telaga Sarangan
Indah, bukan buatan
Pemandangannya untuk bertamasya
Tempat margasatwa mandi
Berkecimpung ria
Bebas menghias diri
Berkicau murai di tepian telaga
Kolam air ciptaan Tuhan
Berpagar bukit-bukit rimba
Tempat insan datang
Untuk menghibur lara
Di kakinya gunung Lawu
Di situ letaknya
Kagum aku memandang
Keindahannya, oh, rahasia alam
Kolam air ciptaan Tuhan
Berpagar bukit-bukit rimba
Tempat insan datang
Untuk menghibur lara
Di kakinya gunung Lawu
Di situ letaknya
Kagum aku memandang
Keindahannya, oh, rahasia alam


Lagu tentang Sarangan yang lain, yaitu Tangise Sarangan (2016) menjadikan Sarangan perlambang dan telaga sebagai penanda bagi kesedihan hati Saraswati, pencipta lagunya. Ia mengibaratkan telaga adalah tetes tangisnya dan dingin udara Sarangan sebagai kondisi hatinya. Ia menggambarkan Sarangan begitu asri, sangat berbeda dengan perasaannya. Sarangan adalah saksinya melepaskan kekasih hati.
Dengan nada muram serupa, Arya Galih menceritakan kesedihannya pada lagu Sarangan Nglarung Rasa (2021). Arya Galih meramu diksi-diksi penampakan alam dengan diksi keluh kesah hatinya. Lereng Lawu berpadu dengan cinta semu. Pohon cemara berdiri bersama janji yang dikhianati. Ombak telaga bersanding dengan hati dengan luka menganga. Arya Galih mengakhiri lagunya dengan melarungkan rasa sakit hatinya di telaga. Ia bercerita:
Tak larung rasaku ana Telaga Sarangan
(Kularung cintaku di Telaga Sarangan)
Pengen ngilangke rasa ati sing kelaran
(Aku ingin menghilangkan rasa sakit hati)
Ombak tlaga dadi crita, netes eluh saka mata
(Debur ombak telaga jadi cerita, air mata berlinang)
Wus tak larung rasa lara, kari nerima aku lila
(Telah ku larung rasa sakitku, hanya bisa menerima aku rela)

Melalui lagu-lagu tersebut, kita dapat mengerti bahwa telaga sarangan adalah cawan rasa raksasa. Tempat manusia melarung perasaannya. Manusia menumpahkan keluh kesah, melempar duka lara, menambatkan segala penat, dan melunturkan sesak dalam dada. Harapannya, sepulang dari Sarangan, hati gembira riang lapang kembali. Seperti hati saya saat pulang ke Surabaya selepas dua hari semalam bervakansi di Sarangan.
Seraya menginjak pedal gas mobil menuju Surabaya, saya bergumam dalam hati. Telaga Sarangan tak hanya perihal keindahan alam dan kesejukan udara semata. Legenda naga telaga dan dendang nada-nada juga turut mengabadikan keanggunannya.
Referensi:
McKee, R. &Gerace, T. 2018. Storynomics: Story-driven marketing in the post-advertising world. London: Hachette UK.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.