TRAVELOG

Menyusuri Kengerian Gunung Kuda

Empat jenazah masih tertimbun reruntuhan tebing Gunung Kuda. Tim penolong terpaksa “meninggalkan” mereka, usai sepekan pencarian nihil. Apakah jasad keempatnya akan mengabadi di sana?

Hari ke-51 dari insiden memilukan itu, saya mengunjungi Gunung Kuda di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Minggu (20/7/25). Dari kediaman saya di Kota Cirebon, perjalanan ditempuh selama 45 menit naik motor. 

Lokasi tambang Gunung Kuda, berjarak seratus meter dari gapura batas wilayah Cirebon dan Majalengka. Tak ada siapa pun di pintu masuk. Garis polisi masih terpasang. Warung di sekitar portal tutup. Keheningan dan kengerian meliputi saya.

Dari portal ke kaki tebing, tempat penambangan batu alam, sekaligus titik longsor yang mengubur para pekerja, hanya dua ratus meter. Di hadapan saya, Gunung Kuda yang mulanya rimbun pepohonan, kini merana. Tubuh hijaunya—selayaknya sebuah gunung—terkoyak, terkikis nyaris habis hingga ke puncak. Berganti rupa tebing batuan andesit berwarna putih-kekuningan.

Di sebuah sudut, dua truk ringsek membisu, beberapa unit ekskavator rusak parah. Korban amukan gunung berketinggian 626 meter di atas permukaan laut (mdpl). Bergidik membayangkan jutaan kubik pasir dan batu menerjangnya. 

Keputusan tepat menarik regu penolong. Keselamatan nomor satu. Batuan tebing tidak stabil, rentan longsor susulan. Berton-ton batuan raksasa bakal menimpa siapa saja yang menantang maut.

Kiri: Bangkai truk yang ringsek akibat longsor. Kanan: Pemprov Jabar menyetop kegiatan penambangan dan mambatasi akses ke lokasi longsor Gunung Kuda yang menewaskan 25 orang/Mochamad Rona Anggie

Bertemu Penjaga Portal

Saya melihat langsung kondisi tebing yang membentuk overhang; bagian tengah tebing menjorok keluar karena batuan di bawahnya terus dikeruk. Cara penambangan seperti ini laksana menggali kuburan sendiri. Bagian overhang itu akan runtuh, seiring tergerusnya material penopang di bawah. 

“Memang menantang maut,” kata Ipung (43), mengomentari aktivitas tambang Gunung Kuda.

Penjaga portal itu ingin menengok tempat kerjanya. Tak sengaja bertemu saya. “Tidak mengapa kalau mau lihat sebentar,” ayah dua anak itu mengajak agak ke dalam. Kami melewati sungai yang airnya serupa cairan semen. Di bawah pohon kami berhenti. Berbincang sesaat, lalu balik ke pos jaga.

Saya bertanya soal air sungai yang tercemar. “Ini akibat limbah batu,” ucapnya. Saya masih belum paham, tetapi setelah melanjutkan penelusuran ke sisi lain Gunung Kuda, baru mengerti.

Menyusuri Kengerian Gunung Kuda
Limbah batu galian Gunung Kuda mencemari air sungai/Mochamad Rona Anggie

“Sekarang pekerjaan apa?” tanya saya mengalihkan obrolan.

“Bikin batu nisan.”

Penutupan usaha tambang Gunung Kuda, menghentikan pula penghasilan pekerja di sana. Ipung beruntung lekas dapat pengganti. Entah yang lainnya: sopir truk dan kuli pengangkut batu.  

Areal galian C Gunung Kuda, terang Ipung, dikelola empat pihak, di antaranya yayasan pesantren dan organisasi masyarakat (ormas). Sebelum tragedi Jumat (30/5/25), longsor serupa pernah terjadi tahun 2011 dan 2015. Menimbulkan korban jiwa. “Ada tersangka, tapi penambangan terus berlanjut,” ujarnya geram.

Peristiwa terakhir mendapat sorotan luas, karena 21 nyawa melayang—berhasil ditemukan. Pemprov Jawa Barat pun tegas: menyetop aktivitas galian C Gunung Kuda. Tutup total.

Galian C adalah penambangan pasir, batu, dan tanah liat untuk industri lokal. Galian A (strategis) semisal minyak bumi, batu bara dan nikel. Galian B (vital) emas, tembaga dan bauksit.

Menyisir Perbukitan Gunung Kuda

Ipung mengenang zaman dia kecil, hutan Gunung Kuda belum sebotak sekarang. Pemburu babi hutan kerap terlihat. Udara di lereng gunung terasa sejuk, dan air sungai bening; biasa dipakai anak-anak jeburan

“Saya pernah berkemah di situ,” katanya menunjuk bukit yang masih rimbun, sebelah Gunung Kuda.

Penambangan pasir dan batu, beber dia, berlangsung sejak tahun 1970. Peralatan masih manual pakai tangan dan cangkul. Belum melibatkan alat berat. Namun kini, situasi kian memprihatinkan. Perkakas modern mengeruk batuan tanpa ampun, mulai sisi terbawah merembet ke puncak.

Saya pamit ke Ipung, lantas menuju arah Majalengka. Perbukitan di blok Cicebak, Desa Cipanas, membuat penasaran. Saya ingin menjajal rute ke atas. “Sejam bisa mencapai puncak Gunung Kuda,” sahut warga Dukupuntang itu. 

Menyusuri Kengerian Gunung Kuda
Perbukitan hijau di belakang Gunung Kuda/Mochamad Rona Anggie

Pukul 10.00 WIB, saya masuk pertigaan yang dijejali tempat pengolahan batu alam. Batu-batu itu dipotong, ditipiskan dan dibentuk sesuai pesanan, memakai alat khusus. Bunyi bising mendengung saat gergaji batu beroperasi. Serpihan bebatuan itulah yang mencemari sungai.         

Saya gas motor ke jalan yang mengantar ke dataran di antara dua tebing. Lagi-lagi keheningan dan kengerian menyergap. Tak ada siapa pun. Pekerja di depot batu sibuk, dan suara mesin merajalela. Bakal sulit mendengar kalau saya berteriak—misal terjadi sesuatu.

Air menggenangi bekas galian di bawah tebing. Warnanya kehijauan, bercampur lumut. Belukar mengelilingi batuan cokelat muda. Beres jepret-jepret, saya meneruskan petualangan ke kawasan hutan, ke sisi belakang Gunung Kuda.

Scrambling di Tebing

Jalur tanah padat selebar 2,5 meter membawa ke sebuah jalan tikus menuju kaki tebing. Saya parkir motor di situ, lantas melangkah hingga menyentuh batuan tebing. Selanjutnya mulai merayapi tebing dengan scrambling (merangkak). Wow, jantung berdegup kencang, tapi seru! Matahari membakar.

Saya berpegangan pada tonjolan batu, kaki bertumpu di celah tebing. Pukul 11.00 sebuah pelataran menyambut, saya berpikir sejenak sebelum terus naik. Cukuplah, gumam saya. Tak ada rekan, khawatir terjadi sesuatu jika memaksakan. 

Pemandangan lepas ke segala arah. Barisan dua bukit hijau memikat. Hutannya masih asri, belum terjamah keserakahan manusia. Saya yakin kalau pemanfaatan pasir dan batuan gunung sebatas untuk mata pencaharian warga—bukan bisnis eksploitatif—kelestarian alam tetap terjamin.

Menyusuri Kengerian Gunung Kuda
Galian C Gunung Kuda sangat dekat dengan permukiman warga/Mochamad Rona Anggie

Mencari Bendungan Tonjong   

Menuruni tebing curam memerlukan kehati-hatian. Tidak bisa buru-buru. Apalagi asal loncat. Kalau keliru mendarat, bisa-bisa kaki patah. Perlahan saya merayap ke bawah. Mencari pijakan kokoh, menghindari batuan ambrol.

Terik mentari menghunjam. Topi rimba melindungi ubun-ubun. Keringat bercucuran, segera saya cari pohon rindang untuk berteduh. Bekal minum dari rumah, saya tenggak hingga tandas.

Satu tujuan lagi: Bendungan Tonjong. Saya mau memastikan ada setapak menuju puncak Gunung Kuda. Motor meluncur ke arah Cirebon. Melintasi titik masuk Gunung Kuda, ada gang dengan plang: asrama pondok putri. Saya belok ke situ. Melaju ke dalam perkampungan.

Dari kiri, searah jarum jam: Belantara di sekitar Bedungan Tonjong. Aliran air sungai yang serupa cairan semen. Dulu, dari bendungan ada jalan setapak ke puncak, tetapi kini tak berbekas lagi/Mochamad Rona Anggie

Saya berhenti depan masjid pontren. Seorang santri menunjukkan arah ke bendungan. Saya menelusuri gang sempit di antara rumah penduduk, hingga terlihat sebuah jembatan. Ujungnya bukit berhutan lebat. Saya melintasi sungai berwarna abu tua. 

Sunyi dan hening. Sekitar terasa lembap. Entah di mana jalan setapak naik ke bukit. Yang tampak kemudian adalah seekor ular belang melilit dahan. Saya langsung kabur.  

Saat hendak pergi, seorang bapak muncul di depan rumahnya. Saya tanya, “Kalau mau ke puncak lewat mana?”

“Tadinya ada setapak ke atas, tapi sudah tertutup belukar. Harus buka jalur baru,” tuturnya.

Kembali ke jalan raya Majalengka–Cirebon, saya bergerak pulang. Pinggiran jalan berderet pengrajin batu menjual ragam keperluan rumah tangga. Batu alam Gunung Kuda bisa dikreasi menjadi cobek, meja hias, pancuran kolam serta pelengkap estetika taman. 

Menyusuri Kengerian Gunung Kuda
Seorang perajin mengolah batu alam dari Gunung Kuda. Menjual aneka kebutuhan rumah tangga/Mochamad Rona Anggie

Gunung Kuda Tempo Dulu

Rute Cirebon–Majalengka yang saya lalui merupakan jalan provinsi melewati Rajagaluh. Wilayah ini dulunya sebuah kerajaan berdaulat, yang ditaklukan Kesultanan Cirebon dengan dukungan Kesultanan Demak.  

Sejarawan Majalengka, Nana Rohmana menjelaskan, Gunung Kuda memiliki kekayaan historis sejak ratusan tahun silam. Mula nama Gunung Kuda, terkait lokasi diikatnya kuda-kuda milik pasukan Cirebon dan Demak, ketika beristirahat dalam perjalanan ke Rajagaluh.

“Akhirnya disebut Gunung Kuda,” kata lelaki akrab disapa Naro kepada detikJabar, Sabtu (31/5/25).

Menyusuri Kengerian Gunung Kuda
Lebatnya hutan Gunung Koromong/Mochamad Rona Anggie

Peperangan terjadi abad ke-16 (sekitar tahun 1528-an). Prajurit Cirebon dan Demak berhasil menundukkan Rajagaluh. Konfrontasi itu menjadi salah satu sejarah penting penetrasi kekuasaan Kesultanan Cirebon di Jawa Barat.

Gunung Kuda merupakan rangkaian Gunung Koromong. Meliputi Gunung Bendera, Kerud, dan Goong. Koromong merujuk pada bentuknya yang menyerupai alat musik gong kecil.

“Disebut gugusan Gunung Koromong, sebab mirip seperangkat gamelan,” pungkasnya.


Referensi:

Darmawan, E. D. (2025, 1 Juni). Menguak Sejarah yang Terkandung di Gunung Kuda Cirebon. detikJabar, https://www.detik.com/jabar/cirebon-raya/d-7941896/menguak-sejarah-yang-terkandung-di-gunung-kuda-cirebon, diakses pada 20 Juli 2025.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mochamad Rona Anggie

Mochamad Rona Anggie tinggal di Kota Cirebon. Mendaki gunung sejak 2001. Tak bosan memanggul carrier. Ayah anak kembar dan tiga adiknya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Semoga Juliana Marins yang Terakhir