Dua buah bus pariwisata berpelat B merayap lambat di depan Pasar Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat, pagi itu. Puluhan sepeda motor yang diparkir berjejer di pinggir jalan, lalu-lalang orang, angkot yang berhenti menurun-naikkan penumpang serta kendaraan pengunjung pasar yang keluar-masuk pasar membuat lalu-lintas di depan Pasar Cikalongwetan kerap tersendat. Lebih-lebih di pagi hari, saat aktivitas jual-beli di pasar itu sedang pada titik puncaknya.
Salah seorang tukang parkir tampak sibuk mengatur arus lalu-lintas yang mulai tidak lancar. “Motor maju, motor maju,” teriaknya dari sisi kiri jalan, sembari menggerak-gerakkan tangan kanannya memberi isyarat.
Dua bus wisata yang di bagian samping badannya bertuliskan “Bintang Kejora Travel Like A Star” itu sama sekali tak bergerak. Baru setelah dua angkot yang berada di depannya melaju, bus itu pun mulai terlihat kembali bergerak.
Cikalongwetan adalah salah satu kecamatan di Bandung Barat. Kecamatan ini berada di jalur Padalarang-Purwakarta. Dulu, sebelum ada jalan tol Purbaleunyi, setiap kendaraan dari Bandung, Cimahi maupun Padalarang yang akan menuju Purwakarta, selalu melewati Jalan Raya Cikalongwetan dan melintas di depan Pasar Cikalongwetan.
Hari itu, aku iseng menyengaja dolan-dolan ke Cikalongwetan. Aku mulai perjalananku dari Pasar Tagog, Padalarang. Jarak dari Pasar Tagog ke Cikalongwetan sekitar 20 kilometer. Ada angkutan kota berwarna kuning terang yang melayani rute Padalarang-Cikalongwetan.
Sekarang ini, jika kita menyusuri jalur Padalarang-Cikalongwetan, di beberapa titik, kita dapat menyaksikan tiang-tiang beton menjulang yang menjadi penyangga jalan kereta api cepat Bandung-Jakarta. Cikalongwetan adalah salah satu kawasan yang bakal dilalui kereta cepat. Tiang-tiang penyangga jalan kereta api cepat itu terpasang di lahan-lahan yang sebelumnya merupakan sawah atau ladang maupun kebun bambu. Beberapa bukit terlihat gerowong karena bakal dijadikan terowongan bagi sang kereta cepat—yang kabarnya mampu melaju sekitar 300 kilometer per jam.
Setelah sempat mengalami ketersendatan lalu lintas di depan Pasar Cikalongwetan, aku meneruskan perjalananku pagi itu. Lepas dari Pasar Cikalongwetan, arus lalu lintas terbilang sangat lancar. Mobil serta motor terlihat berlari kencang.
Sekitar 900-an meter dari Pasar Cikalongwetan ke arah utara, mendekati sebuah tikungan, aku melihat plang penunjuk arah jalan. Plang itu berada di seberang sebuah toko pakaian yang masih lowong tanpa pembeli. Dari plang itu, orang akan tahu jika ke kanan, menuju ke Kantor Kecamatan Cikalong Wetan, ke Plered, ke Purwakarta, ke Cikampek, dan ke Jakarta. Adapun ke kiri, menuju ke Stasiun Rendeh, ke Terminal Cipeundeuy, ke Waduk Cirata, dan ke Kantor Kecamatan Cipeundeuy.
Mengambil arah ke kanan yang menuju Plered, Purwakarta, Cikampek hingga Jakarta, aku sudah berulang kali pernah menempuhnya. Tapi, yang arah ke kiri sama sekali aku belum pernah mencobanya. Kupikir ada baiknya aku menyesatkan diri saja dan mengambil jalan yang ke kiri.
Tak jauh dari mulut jalan yang mengarah ke kiri, tampak seorang pemuda berkaus biru gelap berjaga mengatur lalu-lintas. Jalan yang ke arah kiri itu menurun. Baru beberapa meter menyusuri jalan ini, aku langsung disambut dengan permukaan jalan yang tidak mulus. Bopeng-bopeng, penuh lubang, ibarat wajah anak ABG yang dipenuhi noda bekas jerawat batu.
Kurang lebih setelah 600-an meter, sampailah aku di depan Alun-Alun Desa Cikalong. Jalan bercabang. Pilihannya ke kiri atau lurus. Yang ke kiri adalah yang menuju Cipeundeuy, sedangkan yang lurus adalah jalan alternatif ke Cirata.
Aku memilih mengambil jalan yang lurus. Jalannya tak terlalu besar. Paling hanya dapat dilalui oleh satu mobil ukuran kecil. Jalannya relatif sepi. Jalan kampung, dan masih banyak kebun dan lahan kosong di kanan-kirinya.
Tatkala lewat di depan sebuah rumah berdinding putih, seorang perempuan tampak sedang menggantung-gantungkan pakaian yang baru saja dicucinya di tali jemuran. Kudekati ia dan kutanyakan jalan lurus yang sedang kulewati itu apakah memang benar menuju Cirata.
“Iya. Kalau terus, memang bisa sampai Cirata. Tapi, masih jauh,” katanya, tanpa merinci seberapa kilometer jauhnya.
Ia meneruskan, “Di depan, nanti ada portal. Ke kanan, ikutin terus. Ada jalan besar, menuju Cirata.”
Rupanya yang dimaksud portal oleh perempuan itu adalah jalan kereta api tunggal, berada persis di atas jalan kampung yang aku lewati. Aku ikuti saja petunjuk perempuan itu. Rumah demi rumah, kebun demi kebun, aku lalui. Hingga di sebuah persimpangan, aku berhenti karena ragu untuk mengambil arah. Aku lantas balik lagi beberapa meter ke belakang. Aku temui seorang penjual makanan ringan yang membuka warung tenda di tepi jalan, yang rimbun dengan sejumlah pohon.
“Mau ke Cirata mah, mending lurus aja. Ini tembus ke jalan raya. Nanti, ikuti jalur yang ke arah Plered,” jelas penjual tersebut.
Aku meneruskan perjalanan. Benar saja, akhirnya aku sampai di Jalan Raya Cipeundeuy-Cirata. Jalannya beraspal halus mulus. Kebun dan juga sebagian sawah menghiasi sisi kiri dan kanan jalan. Adapun bangunan, tidak terlalu banyak dan mencolok.
Kondisi jalan pagi itu betul-betul lengang. Jalan yang kulewati sekarang didominasi turunan tipis. Semakin dekat ke kawasan bendungan, di kanan kiriku berjejer pohon kawung (aren), yang semula kukira kelapa sawit. Sebagian pohon aren itu terlihat telah berbuah. Pakis-pakis liar tampak menyembul di sela-sela batang pohon-pohon aren itu.
Di sisi kiri jalan, kulihat beberapa orang, yang kemungkinan warga setempat, sedang menyiapkan dagangan. Yang mereka jual umumnya berupa makanan dan minuman. Beberapa remaja, entah dari mana asalnya, berlari-lari kecil ke arah bawah, ke arah bendungan. Di sisi kanan, sebelum turunan terakhir, tampak ada pos penjagaan. Sebelum pos penjagaan, terdapat lapangan tempat parkir kendaraan bermotor.
Begitu habis turunan terakhir, konstruksi bendungan terlihat demikian jelas. Jalan raya mulus membentang membelah bendungan. Air bendungan terlihat sangat tenang. Beberapa pejalan kaki, yang berjalan di trotoar, iseng melongok ke arah bendungan. Ada juga yang menyempatkan diri untuk berfoto.
Sekawanan pegowes meluncur santuy dari arah Plered. Mereka kompak berseragam dan menggunakan tipe sepeda yang sama, yakni MTB. Mereka sempat berhenti di sisi timur bendungan, sebelum meneruskan perjalanan ke arah Cipeundeuy.
Dari sisi kiri bendungan, aku berjalan ke arah kanan. Aku lihat sebuah monumen atau prasasti, berada persis di salah satu pojokan di sisi jalan yang mengarah ke Plered. Aku penasaran ihwal apa yang tertera di monumen tersebut.
Aku dekati prasasti itu. Terbaca jelas di dindingnya: “Prasasti penghormatan kepada para pelaksana proyek yang meninggal dunia pada masa pelaksanaan proyek ini, tahun 1983-1988. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa.”
Prasasti tersebut tertanggal 31 Mei 2008. Diteken oleh Ir. Soetomo Dipl HE sebagai Kepala Proyek, Ir.Priono W sebagai Deputi Manajer Proyek, dan Mr.Hisao Shishido sebagai Manajer Proyek.
Di bawah prasasti tergeletak sebuah shuttlecock bulutangkis dan gelas plastik yang terisi sedikit kopi instan.
Aku kemudian duduk di pinggir prasasti itu, menghadap ke selatan. Aku ingat membawa sepotong roti cokelat, sebagai bekal. Kukeluarkan roti itu dari tas punggungku. Kubuka pembungkusnya dan mulai kunikmati, sebelum aku memutuskan apakah akan melanjutkan perjalananku hingga Plered atau kembali lagi ke Cikalongwetan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.