Kota Cerbon, kota kang ning pinggir laut
Tapel wates Jawa Tengah Jawa Barat
Turun gunung menuju laut. Ini yang saya lakoni saat pindah domisili dari Bandung ke Cirebon, tahun 1993. Saya mengalami gegar budaya, guncangan bahasa sekaligus perubahan cuaca.
Jika sebelumnya tumbuh dalam kultur penduduk pegunungan, kini bertemu masyarakat pesisiran. Belum lagi udara panas mendera. Sedih rasanya berpisah dengan cuaca sejuk khas dataran tinggi Priangan.
Tembang Kota Cerbon yang dipopulerkan biduan pantura Diana Sastra, menjadi penegas wilayah ini dekat laut. Mataharinya antusias bertugas setiap hari. Jarang absen. Tukang es senantiasa berseri. Menemani hidangan lokal nasi jamblang, nasi lengko atau bubur sup ayam.
Titik perkampungan depan pantai adalah RW 01, 07, dan 10 di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk. Permukiman padat di ketiga RW itu bersebelahan dengan Pelabuhan Cirebon yang dikelola perusahaan negara.

Kawasan pesisir ada di timur Balai Kota Cirebon. Dari perempatan Alun-alun Kejaksan, belok ke Jalan Veteran melewati markas polisi, terus menyeberangi Jalan Sisingamangaraja. Sampai deh. Lima menit bermotor dari pusat kota.
Gapura khas keraton jadi penanda pintu masuk kampung pesisir. Sabtu (7/6/25), saya berkunjung ke sana. Mau tahu hasil revitalisasi kawasan yang dikemas dalam program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) tahun 2022.
Sebelum mendapat perhatian pemerintah, wilayah pesisir kadung mendapat stigma tak layak huni. Sanitasi buruk. Drainase mampet. Muara sungainya penuh sampah. Tak menarik sama sekali untuk tujuan wisata bahari. Yang ada pengunjung prihatin dan bakal ngedumel: gimana sih pemerintah daerahnya?
Tapi sekarang beda, kampung pesisir bersolek. Kehadiran pedestrian yang bersisian dengan Kali Sukalila jadi pembeda. Bata hias memagari hingga ke muara. Tumpukan sampah yang biasanya mengambang, raib. Pengerukan dasar sungai dilakukan pula. Membuat permukaan air tak mudah meluber.

Para Pemancing Datang dan Pergi
Matahari segera pulang ke barat. Sinar kemerahannya berangsur meredup. Tapi keceriaan di sebuah lapangan terus hidup. Anak-anak berlarian mengejar layangan putus. Lainnya berlomba menerbangkan kertas menyerupai ikan pari itu.
“Kok enggak ada yang main bola?” tanya saya ke Gofin (29), pemuda setempat.
“Lagi musim layangan. Bola nanti pas Agustusan,” jawabnya.


Saya berjalan menuju ujung muara. Ombak tampak tenang. Sebuah perahu merapat ke tepian. Penumpangnya membawa perlengkapan memancing. Perlahan mereka turun, meniti jembatan kayu menuju daratan. Seorang di antaranya menenteng hasil tangkapan. Saya jepret, kena.
“Ikan apa?”
“Kuro,” kata sang penakluk.
Mesin perahu digeber kembali. Rombongan pemancing berikutnya naik. Info dari seorang bapak yang membawa bocil, ongkos pergi ke laut Rp25.000 per orang. Hanya saja dia tak bawa uang lebih, tetapi saat menyerahkan tiga lembar lima ribuan, pemilik perahu berkenan menerima.
“Sengaja ngajak anak berperahu?” cecar saya.
“Iya, belum pernah sih. Kalau main ke pesisir sering,” ucap lelaki bernama Coki Lokal (32) yang sehari-hari kerja di Jakarta, sementara keluarganya di Cirebon. “Mumpung libur bisa ketemu anak,” tambahnya.
Menjelma angkutan menuju samudera. Ini alternatif perahu nelayan jika sedang tidak digunakan mencari ikan. Perahu lainnya parkir di pinggiran sungai. Berhadapan dengan permukiman.
Tampilan Lebih Baik, Butuh Perhatian Lanjutan
Cahaya petang masih tersisa, saya lekas menyusuri pedestrian ke arah RW 01. Menapaki area yang dulunya dijejali rumah semipermanen. Seorang ibu menawarkan ikan bandeng segar tangkapan suami. Warga lainnya turut mempromosikan. Saya abadikan momen tersebut.
Ketua RW 07 Pesisir Tengah, Mochammad Nurdedy mengungkapkan, tadinya ada 40 kepala keluarga (KK) mendiami sempadan sungai. Begitu program Kotaku bergulir, mereka direlokasi dengan kompensasi. “Termasuk kandang ayam milik warga dihargai,” katanya.
Lelaki yang akrab disapa Dedy itu mengakui bila program Kotaku berhasil mempercantik kawasan pesisir. “Jadi tidak terlihat kumuh,” ujarnya. Pemerintah membeton jalan, memperbaiki saluran air hingga menyiapkan sanitasi berbasis masyarakat (sanimas).



Hanya saja, kata dia, saat ini belum ada aksi lanjutan. Menurutnya, peremajaan suatu wilayah jika tidak dibarengi pengawasan berkesinambungan, rentan penyimpangan. Termasuk janji pemberdayaan ekonomi warga pesisir belum terealisasi. Kabarnya kawasan ini akan menjadi tujuan wisata kuliner bahari. “Tapi belum ada langkah konkret lagi, baru sebatas pendataan,” bebernya.
Dedy mengapresiasi kinerja Lurah Panjunan, Komalawati, yang getol mengecek pemanfaatan pedestrian. Menghindari penyalahgunaaan, misal jadi tempat jualan atau jemur kasur. “Kalau ada wisatawan, kan, malu,” sahutnya.
Lelaki yang pernah menjabat ketua RW 10 dua periode dan kini sedang menjalani periode kedua sebagai ketua RW 07 itu, berharap pemerintah daerah serius mengembangkan wilayah pesisir. Jangan sampai apa yang sudah dibangun, perawatannya terlupakan. Seperti instalasi tulisan Muara Sukalila yang mulai protol dan sarana mainan anak yang mendesak diperbaiki.
“Program Kotaku juga menebar tong-tong sampah di setiap gang. Herannya kalau sampah sudah penuh, petugas dan mobil sampah Dinas Lingkungan Hidup enggan keliling mengambil. Warga kelimpungan, karena itu sampah kolektif. Bukan sampah rumahnya. Lantas siapa yang harus bertanggung jawab?” tutur Dedy menyampaikan keluhan warga.
Pemekaran RW Mengurangi Potensi Tawuran
Pada masanya, penduduk pesisir cukup disegani kelompok masyarakat lainnya. Pemuda di sana kompak turun gelanggang jika ada perkelahian massal alias tawuran. Pemkot Cirebon kemudian memecah RW 01 menjadi RW 07 dan RW 10. Kini disebut pesisir selatan, tengah, dan utara.
“Pemekaran RW berimbas grup pemuda pesisir tak lagi menyatu. Ada tiga ketua RW yang mengendalikan kelompok pemuda di tempatnya. Demi mengurangi risiko tawuran dengan jumlah massa besar,” jelas anggota komunitas Rukun Nelayan, Ady Pranata (46).
Ady menyambut baik atensi banyak pihak pada kampungnya. Tak terkecuali dari pengelola pelabuhan dan pihak swasta. Kalau memang pemerintah daerah ingin membangkitkan sentra wisata bahari di pesisir, kata dia, hendaknya sarana dimaksimalkan dan bekali warga dengan kesiapan menyambut turis.
Ayah dua anak itu mengungkapkan, dulu ada bangunan permanen Tempat Pelelangan Ikan (TPI), tapi entah mengapa saat program Kotaku berlangsung, TPI diratakan. Ady menegaskan warga kecewa, sebab di situ titik kumpul perhelatan pesta laut. Singkat cerita, kemudian ada acara peletakan batu pertama pembangunan kios-kios penyedia kuliner hasil laut. “Tapi sampai hari ini, ya, zonk. Tak ada kabar lagi,” gerutunya.


Ady menuturkan kehidupan sosial masyarakat pesisir, sekarang boleh dibilang lebih baik dibanding ketika dirinya remaja. Sudah jarang terlihat orang menenggak minuman keras (miras). Sementara dulu, di tiap gang mudah ditemui orang sedang teler.
Kini, terang dia, generasi muda pesisir banyak bekerja di kapal-kapal asing. Ada yang berlayar ke luar negeri, lainnya keliling Nusantara. Mayoritas sebagai anak buah kapal (ABK), hanya segelintir yang menjadi kapten.
“Akibatnya nelayan asli pesisir kesulitan mencari ‘bidak’, pemuda yang bisa menemani ke laut,” ujar lelaki yang pernah merantau ke perairan Taiwan itu, seraya menyebut jumlah perahu nelayan di kampungnya saat ini ada 86 unit.
Muazin bersiap mengumandangkan azan. Saya mampir ke kali pembatas Kelurahan Panjunan dan Kebonbaru. Ada pagar tinggi di situ. “Mencegah agar anak muda tidak keluar tawuran di malam hari,” ucap Dedy yang pensiunan sekuriti bank.
Langit berangsur gelap, saya bergegas menuju masjid.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.