TRAVELOG

Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (1)

Tak semua orang tahu taman tersembunyi di kompleks Pemadam Kebakaran Kota Malang. Tidak ada nama resmi. Mesin peramban Google hanya menulis “Taman Bermain dan Rest Area”. Saking terpencilnya, suasana taman ini relatif sepi bahkan di hari Minggu atau hari libur.

Setidaknya itulah yang saya dapati sewaktu mengikuti tur heritage bertema Sejarahadja, Jelajah di Sekitar Kompleks Pemadam yang diadakan History Fun Walk Malang. Untuk memudahkan, saya akan tulis dengan sebutan Taman Bingkil, sesuai dengan jalan tempat taman ini berada.

Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (1)
Para peserta berfoto di depan salah satu bangunan di kompleks damkar/Ocin via History Fun Walk Malang

Brandweer jadi Blangwir

Berbicara tentang kata yang diplesetkan, mungkin Malang termasuk jagonya. Sejumlah kata dari bahasa Belanda, begitu sampai ke telinga masyarakat lokal (pribumi di era kolonial), maka pengucapannya pun berubah. Menurut pemimpin tur yang pernah saya ikuti, disesuaikan dengan lidah masyarakat sekitar. Misalnya, Slembat, kolam renang dekat Stadion Gajayana, berasal dari kata zwembad (kolam renang). Begitu pula dengan brandweer yang berubah menjadi blangwir.

Blangwir yang berarti pemadam kebakaran (damkar) ini telah ada di Kota Malang sejak 7 Juni 1920. Sejak awal menempati kompleks yang terletak di Jalan Bingkil, Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Sukun.

Awalnya, saya sempat pikir panitia tur akan mengajak para peserta untuk mengelilingi kompleks damkar. Sayangnya, perkiraan saya salah. Taman Bingkil hanya menjadi titik kumpul tur. Saya dan seorang teman menyempatkan berkeliling usai tur.

Beberapa bangunan lawas masih bisa ditemui di sini. Begitu memasuki area Jalan Bingkil, rumah-rumah dengan arsitektur kolonial berdiri di kanan-kiri jalan. Tak ada keterangan yang saya dapat, apakah rumah-rumah ini juga sudah ada sejak tahun 1920. Saya menduga, sejumlah rumah ini sebagai tempat tinggal petugas damkar dengan posisi yang lebih tinggi, mengingat di kompleks juga berdiri deretan rumah dengan arsitektur kolonial, tetapi dengan bentuk lebih sederhana.

Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (1)
Plakat cagar budaya dari Disbudpar Kota Malang di kompleks damkar/Dewi Sartika

Pada salah satu sisi gerbang, terdapat bangunan lawas yang sepertinya berfungsi sebagai kantor damkar. Meskipun hari Minggu, masih ada sekitar tiga orang yang bertugas di dalam. Di bagian samping bangunan ini terpasang plakat cagar budaya, yang artinya Bangunan Brandweer dilindungi undang-undang. Menurut keterangan Hannu Ayodya Mamola (Han), terdapat juga bangunan lawas lain yang telah ada sejak 1920. Salah satunya dimanfaatkan sebagai tempat perbaikan mobil damkar (bengkel) sekaligus gedung arsip. Sementara yang lainnya dipakai sebagai tempat parkir mobil damkar.

Ketika kami berada di kompleks damkar, kebetulan ada acara perayaan HUT RI oleh masyarakat sekitar di bangunan yang menjadi tempat parkir mobil damkar. Selain mobil-mobil damkar era modern, sejumlah mobil damkar lawas juga masih terparkir di tempat ini. Hebatnya, mobil ini masih berfungsi walau sudah tidak digunakan untuk aktivitas damkar. Kendaraan tua ini biasanya dipakai untuk city tour (sebagaimana yang tertulis di badan mobil), terutama anak-anak TK dan SD.

Dahulu, mobil damkar dilengkapi dengan lonceng yang dipukul bertalu-talu, sebagai tanda keberadaan mobil damkar yang sedang bertugas saat ada kebakaran. Namun, sekarang lonceng tersebut berganti dengan sirine yang terpasang di setiap mobil damkar.

Perumahan Kaum Indo

Tak jauh dari kompleks damkar, tepatnya di seberang jalan, terdapat perumahan yang dulunya masuk dalam Bouwplan VI (rencana tata kota) Kotapraja Malang. Berbeda dengan perumahan elite di Idjen Boulevard, yang tiap rumah memiliki luas sekitar 1,000 meter persegi, ukuran rumah-rumah di kompleks ini lebih kecil, yaitu 250 meter persegi.  

“Sama Belanda, bouwplan ini sudah direncanakan sejak Malang ditetapkan sebagai kotapraja. Jadi, bouwplan ini ada satu sampai delapan. Kebetulan yang kita lewati ini adalah Bouwplan VI (6), Jadi, kawasan ini memiliki nama dengan nama pulau-pulau atau archipelagobuurt atau eilandenbuurt,” terang Han kepada para peserta.

Masih menurut lelaki asli Malang tersebut, Bouwplan VI mulai dibangun tahun 1930-an yang. Peruntukannya khusus sebagai kawasan permukiman rakyat dengan harga yang lebih terjangkau (saat itu), dibandingkan dengan rumah-rumah di Jalan Ijen atau di Jalan Sulawesi. Di kawasan ini ada sebuah permukiman yang dikhususkan bagi anggota IEV (Indo-Europeesch Verbond) atau perkumpulan orang-orang Indo Eropa. Semula, mereka tinggal terpusat di Jalan Taman Riau yang masih masuk dalam kawasan eilanden buurt (daerah pulau-pulau). Namun, karena populasi makin banyak, maka permukiman  orang-orang Indo pun mulai melebar di sekitar kompleks

 “Salah satu orang Indo yang pernah tinggal di kawasan ini adalah Pak Warlich. Rumahnya di situ,” ujarnya menunjuk sebuah rumah tepat di seberang jalan, tempat para peserta berdiri. “Keluarga Pak Warlich yang Indo Eropa ini, cucunya, barusan tahun kemarin datang ke sini membawa beberapa foto. Pada waktu itu kakeknya menikah dan tinggal di sini. Ada foto-foto yang ditunjukkan ke saya dan ada beberapa foto yang sudah bisa teridentifikasi. Ternyata, dulu Pak Warlich menikahnya di aula SMU Tugu dan Pak Warlich kecil sempat tinggal di sebuah panti asuhan Protestan yang berada di belakang Rumah Sakit Lavalette tepatnya di Jalan Kampar,” sambungnya.

Han juga memberitahu, orang Indo Eropa lainnya yang pernah tinggal di sini adalah Bapak Tonko Oosterhuis. Beberapa tahun lalu keturunannya pernah datang ke Malang lalu membangun tiga bangku batu memorial di kawasan balai kota .

Sementara itu, Yehezkiel Jefferson Halim yang turut mendampingi Han sebagai pemimpin tur menceritakan kisah tragis salah satu anggota Keluarga Tonko Oosterhuis. Karena berdarah campuran, pada masa pendudukan Jepang, anggota keluarga ini harus hidup terpisah di kamp interniran. Pada suatu saat, Johan, anak Pak Tonko, keluar malam-malam dengan membawa senter. Oleh tentara Jepang, Johan dicurigai memberi kode kepada tentara sekutu. Karena Johan keesokannya sudah berusia 17 tahun, tentara Jepang lalu membawa Johan ke penjara Lowokwaru. Hanya seminggu Johan berada di penjara sebelum ia meninggal. Peristiwa inilah yang mendasari dibangunnya batu memorial di Alun-alun Tugu dekat balai kota.

Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (1)
Kediaman keluarga Pak Warlich di Jalan Halmahera/Ocin via History Fun Walk Malang

Kompleks Pertamina, Bangunan Lawas Era Kolonial

Sebenarnya tepat di samping kompleks damkar, berdiri kompleks Pertamina. Berdasarkan penuturan Han, meski bangunan-bangunan yang ada saat ini merupakan bangunan baru, tetapi kompleks Pertamina ini adalah kompleks lama yang sudah ada sejak zaman Belanda.

“Jadi, sekarang kita kumpul di sini. Yang ini garasi damkar, terus yang ini gedung arsip, dulunya bengkel. Terus ini ada rel kereta yang digunakan untuk mendistribusikan bahan bakar dari Pertamina dan ini ada tangki-tangki  untuk menyimpan bahan bakar sebelum didistribusikan ke beberapa SPBU,” jelas Yez, sapaan dekat Yehezkiel Jefferson Halim. Tangannya memegang gambar kawasan damkar dan Pertamina pada masa kolonial.

Kompleks Pertamina ini dulunya milik Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Han menambahkan, tak ada data pasti kapan kompleks ini dibangun. Namun, Han menjelaskan bahwa di tahun 1941 pernah terjadi kebakaran di kompleks ini. Sebagai tambahan, baik kompleks damkar maupun Pertamina sudah berdiri sebelum bouwplan VI ada. Hingga saat ini, rel di depan dua kompleks ini masih aktif karena digunakan untuk mengangkut bahan bakar.

Selanjutnya Han dan Yez memandu para peserta menyusuri Jalan Menari. Kami sempat berhenti sejenak mendengar keterangan lain yang disampaikan Yez. Sambil membawa foto dengan kondisi Jalan Menari tempo dulu (dahulu bernama Jalan Malaka) yang disertai siluet Gunung Kawi, Yez menjelaskan mengenai gambaran rumah-rumah di jalan ini, yang desainnya lebih sederhana dengan atap-atap yang menyambung antar rumah dengan tujuan menghemat biaya. Biasanya, rumah-rumah seperti ini diperuntukkan bagi pegawai-pegawai dinas atau agar harga sewanya lebih murah.

Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (1)
Foto lawas kompleks Pertamina di masa kolonial/Ocin via History Fun Walk Malang

Malang, Kota Garnisun

Kami meneruskan perjalanan lalu berhenti di dekat kompleks Angkatan Laut (AL). Semula, seluruh kegiatan militer Belanda di Malang dipusatkan di kompleks Rampal yang berada di Kecamatan Blimbing. Angkatan Laut terpusat di Lapangan Alap-alap. Namun, sejak tahun 1939 AL pindah ke kompleks yang sekarang. Lalu, sewaktu pendudukan Jepang, kompleks ini menjadi kamp interniran. Selain diisi orang-orang Belanda, ada juga orang-orang Indonesia yang menjadi penghuni kamp ini.

“Kita punya catatan, ada seribu tawanan yang menempati kamp interniran ini. Kemudian, pada Februari 1944, kebanyakan dari mereka ini dikirim ke Cimahi. Lalu, setelah banyak yang pindah, kamp ini diisi anak-anak dan perempuan karena di kamp De Wijk di Jalan Ijen sudah penuh karena diisi 8 ribu orang,” jelas Han. Ia juga menerangkan bahwa selama masa Jepang, kamp di kompleks AL ini diisi kaum laki-laki.

Yez juga menambahkan alasan keberadaan AL di Kota Malang. Menurutnya, ada tiga kota yang dibangun Belanda yang mempunyai tipikal sama yaitu Malang, Bandung, dan Magelang. Tiga kota ini merupakan daerah dataran tinggi yang digunakan sebagai pertahanan yang dianggap lebih aman sehingga Belanda menarik semua personil militer untuk ditempatkan di kota-kota ini.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dewi Sartika

Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (1)