Travelog

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran

Semenjak aku bergabung di unit kegiatan mahasiswa (UKM) pencinta alam kampusku, kegiatan pendakian yang aku lakukan tidak lagi sekadar trekking di jalur pendakian biasa, mendirikan tenda, lalu pulang. Lebih dari itu, pendakian yang dilakukan biasanya sekaligus membuka jalur baru yang belum ada ataupun menjelajah jalur yang paling sepi dan sudah lama tidak dilalui oleh para pendaki. Bukan tanpa maksud apa-apa, melainkan bertujuan untuk melatih keterampilan ilmu navigasi serta skill survival kami di alam bebas.

Gunung yang sering kami jadikan tempat latihan adalah Gunung Ungaran. Jika biasanya para pendaki melalui jalur pendakian Mawar, Gedong Songo, Promasan, atau Perantunan, kami justru memilih Indrakila. Mungkin tidak terkenal di kalangan para pendaki, tetapi jalur tersebut cukup sering dilalui warga untuk berburu dan dijadikan tempat latihan bagi para kelompok pencinta alam. 

Dimulai dari Dukuh Indrakila

Jalur pendakian Indrakila berada di Dukuh Indrakila, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Kami menuju Indrakila menggunakan mobil bak untuk menampung sepuluh orang personel tim beserta peralatan. Dari kampus kami, perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit. Jalan menuju dukuh lumayan sempit dan hanya cukup dilalui satu kendaraan roda empat, sehingga kami harus berhati-hati terutama saat melewati jalan yang berkelok-kelok dan menanjak. 

Titik awal pendakian jalur ini adalah rumah kepala dukuh yang berada paling ujung dan tidak bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat. Kami harus berjalan kaki sejauh 400 meter dari lokasi pemberhentian terakhir di mana kendaraan bisa parkir. Memang tidak jauh, tetapi medan yang langsung menanjak tajam membuat kami sedikit terengah-engah. Sesampainya di sana, kami meminta izin kepada kepala dukuh untuk melakukan pendakian. 

“Hati-hati, ya. Kalau hujan jalannya licin. Selalu utamakan keselamatan,” pesannya setelah memberi kami izin. Kami pun mengangguk patuh dan berterima kasih.

Untuk meregangkan otot-otot kami, terlebih dahulu kami melakukan pemanasan. Kemudian dilanjutkan dengan orientasi medan untuk menentukan titik koordinat awal perjalanan yang akan kami lalui. Meski dengan GPS bisa saja kami mengetahui koordinat dengan mudah, tetapi kali ini kami harus menggunakan peta manual dengan dibantu kompas. Beres menentukan koordinat, tak lupa kami berdoa bersama sebelum melangkahkan kaki memasuki hutan Indrakila.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Menjelajah rimbunnya hutan Indrakila/Lya Munawaroh

Perubahan Rencana

Di awal pendakian, medan yang kami lalui berupa jalan setapak yang sering dilewati warga dengan vegetasi berupa kebun kopi. Setengah jam kami berjalan, kami istirahat sejenak selama lima menit. Manajemen perjalanan seperti ini kami lakukan secara berkala untuk menjaga kondisi fisik supaya tidak mudah lelah. 

Di sela-sela istirahat, kami kembali melaksanakan orientasi medan. Lantas kami melakukan resection untuk mengetahui sampai mana perjalanan kami dan medan seperti apa yang akan kami lewati selanjutnya. Saat resection kami membidik dua objek berupa punggungan dan tower yang terlihat menggunakan kompas. Dengan begitu kami bisa mengetahui titik koordinat lokasi kami pada peta. Agar lebih akurat, kami mencocokkan koordinat hasil resection dengan GPS yang kami bawa.

Setelah satu jam perjalanan, kami memasuki kawasan vegetasi berupa pohon pinus dengan medan jalan setapak yang semakin menanjak. Kami terus menyusuri jalan setapak yang telah kami plotting sebelumnya. Namun, ternyata itu adalah jalan buntu dan yang kami temui malah semak belukar. Kami segera berkumpul dan mengeluarkan peta, lalu merapatkan rencana perubahan jalur pendakian.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Briefing singkat perubahan jalur pendakian/Lya Munawaroh

“Punggungan ini sepertinya daerah Curug Lawe,” tunjuk Mas Hardi (pendamping tim pendakian) pada punggungan sebelah kanan jalur yang kami plotting. Ia pun bertanya dan meminta kami mengambil keputusan, “Kalau kita teruskan jalan ke atas punggungan ini harus babat jalur. Jadi, kalian mau babat jalur ke atas atau pindah punggungan?”

Akhirnya setelah briefing singkat, kami memutuskan untuk pindah punggungan karena mempertimbangkan waktu dan kondisi fisik tim. Itu berarti kami harus menuruni bukit dulu sebelum naik ke punggungan di sebelah kanan. 

Kami sedikit kesulitan berjalan kala menuruni bukit yang lumayan curam. Ditambah dengan tekstur tanah yang gembur membuat kami beberapa kali terperosok saat menginjakkan kaki. Kami semakin dalam menuruni bukit hingga akhirnya kami sampai di lembahan dan menemukan sungai. 

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Foto bersama sebelum menyantap makan siang di tepi sungai/Lya Munawaroh

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami beristirahat sebentar untuk mengisi perut dan melaksanakan salat Duhur. Kami membuka satu per satu bekal yang kami bawa lalu menggelarnya di tanah untuk dijadikan satu.

Makan siang kali ini begitu syahdu, ditemani kicauan burung dan suara gemericik air sungai. Embusan angin menggerakkan dedaunan pohon-pohon yang menjulang tinggi, terasa begitu sejuk kala menerpa tubuh. Seusai makan dan salat, kami mengisi botol-botol kami dengan air sungai sebagai bekal melanjutkan perjalanan. Tujuan kami adalah Promasan, desa terakhir di kaki Gunung Ungaran.

Menuju Kebun Teh Promasan

Kondisi medan setelah menyeberangi sungai lebih sulit daripada sebelumnya. Selain jalur yang semakin terjal, terdapat banyak pohon tumbang yang menyulitkan pendakian. Pun semak belukar di kanan-kiri jalur bisa saja melukai tangan atau kulit sehingga kami harus berhati-hati. Ada kalanya kami melewati medan di samping jurang yang mengharuskan kami tetap fokus supaya tidak celaka.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Perjalanan menuju Kebun Teh Promasan/Lya Munawaroh

Tak berselang lama kami sampai di tempat yang sedikit terbuka dengan terdapat satu pohon besar menjulang. Ternyata tempat ini adalah Pos 4 jalur Indrakila. Pos ini lumayan luas, setidaknya bisa muat untuk 5–7 tenda dome. Terdapat sisa-sisa kayu bakar bekas api unggun dan tercecer beberapa sampah plastik. Di jalur pendakian yang sepi masih ada saja pendaki bandel yang meninggalkan sampah.

Kami beristirahat sejenak meluruskan kaki sambil menyantap camilan untuk menambah energi. Karena kami yakin setelah ini medan akan semakin berat dan menguras fisik. Benar saja, kala beberapa meter kami berjalan, medan berubah menjadi bukit yang curam dengan tanah gembur yang tertutup dedaunan kering. Kami harus berpegangan pada rumput atau tanaman di setiap sisi jalur agar bisa menapakkan kaki dengan tegak.

Usai tiga jam berjalan, kami akhirnya tiba di kebun teh Promasan. Pemandangan luar biasa menyambut kami. Pesona Gunung Ungaran yang dikelilingi hamparan hijau kebun teh dan langit biru di atasnya merupakan perpaduan yang sempurna. Seakan kelelahan kami membelah hutan Indrakila sebelumnya menguap begitu saja saat melihatnya.

Puas berfoto dengan latar lanskap Gunung Ungaran, kami bergegas menuju salah satu rumah warga yang sudah akrab dengan kami. Beliau adalah Pak Min, rumahnya berada tepat di samping rumah Pak RT. Di rumah Pak Min kami mengistirahatkan tubuh sejenak, kemudian beranjak ke Sendang Promasan untuk membersihkan diri. Sendang ini memiliki mata air yang jernih dan sering digunakan para pendaki untuk mengisi air sebagai bekal mendaki serta membilas badan.

Sebenarnya berdasarkan informasi di situs Candi Promasan, sendang tersebut bernama Sendang Pengilon. Namun, karena terletak di dekat Candi Promasan sehingga lebih dikenal dengan Sendang Promasan. Malam itu kami menginap di rumah Pak Min dan menghabiskan waktu dengan mengevaluasi perjalanan kami hari itu dan mempersiapkan kegiatan untuk esoknya.

Walaupun melelahkan, perjalanan menjelajahi hutan Indrakila tetap asyik dan seru. Dari perjalanan ini kami bisa menjelajah medan yang belum pernah kami lalui dengan mengandalkan ilmu navigasi yang telah kami pelajari. Medan yang tidak mudah justru semakin membuat kami terlatih dan meningkatkan kemampuan kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Lya Munawaroh

Lya tinggal di Tuban Jawa Timur. Fresh graduate jurusan fisika, tetapi suka sastra. Pengen jadi perempuan petualang, keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru.

Lya tinggal di Tuban Jawa Timur. Fresh graduate jurusan fisika, tetapi suka sastra. Pengen jadi perempuan petualang, keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Serunya “Rock Climbing” di Tebing Pantai Siung