Perjalanan selalu menyimpan efek kejut yang tidak pernah terduga. Pada titik tertentu, kita bisa saja tiba pada sebuah perjalanan yang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Itulah yang akhirnya saya alami ketika terlibat dalam sebuah perjalanan hingga ke ujung Pulau Timor, Motaain, yang menjadi perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. 

Rombongan kami berangkat dari Kupang sekitar pukul 06.00 WITA. Dengan titik kumpul di Rusunawa Undana, keberangkatan kami molor satu jam dari rencana awal. Sebagian besar dari kami menumpang bus kampus, sedangkan sebagiannya lagi pada dua unit mobil lain yang kami sewa untuk perjalanan ke sana. 

Sejak awal, rekan-rekan yang berasal dari Atambua maupun yang pernah berkunjung ke Atambua memberitahu saya bahwa perjalanan ke sana akan sangat memakan waktu yang lama dengan jarak tempuh yang sangat jauh. “Besong pi Atambua balik memang ko? Itu besong tacu,” ucap salah satu dari antara rekan kampus saya yang berasal dari Atambua. 

Atambua
Tiba di Atambua/Oswald Kosfraedi

Menyoal jarak, perjalanan kami memang sangat jauh. Untuk tiba di Atambua, kami masih harus melewati Kabupaten Kupang, Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan), Kabupaten TTU (Timor Tengah Utara), hingga tiba di Atambua, Ibukota Kabupaten Belu. Namun, berangkat ramai-ramai dan terutama dengan teman-teman Modul Nusantara membuat saya sama sekali tidak memikirkan hal tersebut. 

Rencana kami memang berkunjung ke Atambua dan perbatasan memang merupakan bagian dari kegiatan Modul Nusantara. Hanya saja, ide bahwa kami akan menginap semalam di Soe tentu menjadi salah satu ide yang paling berani. Dengan rencana yang demikian, kami tentunya harus berbalik dari Atambua, melewati Kabupaten TTU lagi, sebelum tiba di Soe untuk bermalam. Namun, lagi-lagi saya tidak terlalu ambil pusing dengan hal demikian. 

Mobil melesat. Kami sempat berhenti di Oesao sekitar pukul 06.30 WITA, tepatnya di Pondok Cucur Oesao, yang menurut banyak cerita menjadi salah satu tempat cucur terenak di Pulau Timor. Tak lama berhenti, kami kembali melesat. Melintasi  kawasan hutan Camplong, saya malah tertidur. Ya, ini bisa dimengerti karena saya benar-benar hanya tidur selama dua jam sebelum perjalanan hari ini. 

Sebelum tiba di Soe, sebagian dari rombongan kami sudah terlelap meski sesekali terbangun ketika bus direm mendadak. Ah, tidur di bus memang ada-ada saja ceritanya. Laju kendaraan yang begitu cepat mengantar kami tiba di Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Untuk daratan Pulau Timor, Soe dikenal sebagai daerah dingin dan sejuk. Tiba pagi hari di sana, membuat kami dapat dengan sempurna merasakan sambutan dingin kota ini. 

Hawanya yang dingin tentu sangat berbeda dengan Kota Kupang yang panasnya luar biasa. Paling tidak, Soe membawa saya kembali merasakan satu hal yang paling identik dengan daerah asal saya di Manggarai: dingin dan sejuk. Perjalanan kami berlanjut, dan saya menyadari bahwa perjalanan ini belum seberapa. Lokasi kegiatan yang kami tuju masih sangat jauh. 

Melewati Soe, kami melintasi jalur yang berkelok-kelok. Turunan dan tanjakan bergantian kami lewati. Om sopir yang memegang kemudi pun tampak cekatan menghadapi jalur ini. Kondisi jalan yang demikian tentu berbeda jauh dengan jalur Kota Kupang yang setiap hari kami lewati. Jika Kupang didominasi oleh jalur yang rata dan mulus, Soe dan jalur sepanjang Kabupaten TTS memiliki jalur yang sangat berbeda. 

Saya yang duduk dan sesekali berdiri di pintu bus mengamati kondisi jalanan yang demikian. Beberapa titik jalur ini pun hampir sama dengan kondisi jalan di Manggarai, terutama di beberapa titik yang hampir sama dengan jalur Wae Lengga–Wae Rana, beberapa titik yang lain yang mirip dengan jalur Borong–Sita, juga beberapa titik yang serupa dengan jalur Lembor–Labuan Bajo. 

Di Kabupaten TTS, kami sempat berhenti di pinggir jalan. Semula, saya mengira hanya untuk sejenak beristirahat, tetapi kemudian baru saya paham ketika Pak Thom meminta saya memotret beliau. “Os, lu foto beta di sana,” kata Pak Thom sambil berjalan ke samping sebuah kios kecil di pinggir jalan itu. Tepat di tempat yang dimaksud Pak Thom, saya menyaksikan lahan luas yang ternyata sedang dikerjakan untuk pembangunan Bendungan Temef. 

Segera setelah memotret Pak Thom dan beberapa rekan mahasiswa yang turut ingin mengabadikan tempat itu, kendaraan kami kembali melaju. Keluar dari Kabupaten TTS, kami memasuki wilayah Kabupaten TTU. Kendati letaknya berdekatan, kondisi jalan kedua kabupaten ini sangat berbeda. Begitu tiba di TTU, kondisi jalan umumnya begitu rata dan berbeda jauh dengan lintasan jalur TTS yang sebelumnya kami lewati. 

Memasuki Kota Kefamenanu, kami berhenti di sebuah tugu dengan tulisan BIINMAFO. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami lantas bergegas turun dan berfoto bersama di tugu tersebut. 

Karena minimnya informasi yang saya ketahui tentang Kota Kefamenanu dan segala hal di dalamnya, termasuk tugu BIINMAFO, saya lantas menghubungi Sandro, rekan kelas di Jikom yang merupakan putra Kefamenanu.

“Unu, ini tugu yang ada tulisan Biinmafo artinya apa e?”, tulis saya via WhatsApp. “Itu tugu tiga raja kae. Biinmafo itu singkatan dari tiga suku/kerajaan besar di TTU, artinya Biboki, Insana, dan Miomaffo,” balas Sandro siang hari itu.

Menurut beberapa literatur, tugu dengan tinggi sekitar 10 meter ini merupakan tugu selamat datang di Kota Kefamenanu. Saya pun merasa bersyukur bisa berdiri di tempat yang menjadi ikon selamat datang di Kota Kefamenanu. 

Masih di Kefamenanu, atas inisiatif Pak Thom kami menyinggahi Gereja Katolik St. Antonius Padua di KM 7 Sasi, Kota Kefamenanu. Tampak luar gereja ini sudah cukup sering saya lihat di internet. Desainnya unik dengan corak bangunan yang khas juga menjadi salah satu ikon dari Kota Kefamenanu. Dinding gereja yang anggun disusun dari batu alam berwarna cokelat kemerahan, batu ini berasal dari tanah Timor Tengah Utara. Ketika kami tiba di sana, umat paroki setempat rupanya sedang melaksanakan kerja bakti untuk pembangunan taman doa di sekitar gereja paroki tersebut. 

Gereja katolik
Gereja Katolik di Kefamenanu/Oswald Kofraedi

Menariknya, gereja ini juga dulunya dibangun dengan dana bantuan dari legenda sepak bola Italia, Alessandro Del Piero. Bantuan ini diberikan oleh Del Piero melalui Pastor Antonio Razzoli, OFM Conv, yang merupakan paman Del Piero. Pastor Antonio Razzoli, OFM Conv inilah yang merupakan pastor paroki pertama di daerah ini dan yang merintis sekaligus mengawasi pembangunan gereja.

Kembali dari sana, kami kembali melesat. Atas instruksi Pak Thom dan Ibu Mery, kami akhirnya berhenti untuk sejenak mengisi perut di Kefamenanu. Rombongan kami yang berjumlah cukup banyak lantas secara beramai-ramai memasuki Rumah Makan Padang Baru Jl. Eltari KM 3 Kefamenanu, yang terletak tepat di samping lampu merah. 

Sekitar pukul 11.15 WITA, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Atambua. Dari Kefa menuju Atambua kami menghabiskan hampir dua jam setengah perjalanan. Jalur jalan yang mulus dan rata membuat kendaraan kami melaju dengan cepat dan tiba di gerbang Kota Atambua pada pukul 13.30 WITA. Kami kembali berhenti tepat di sebuah tugu bertuliskan “Selamat Datang di Kota Atambua Kota Perbatasan”. 

Berhenti sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kami jelas, perbatasan Indonesia–Timor Leste di Motaain. Tidak dapat disangkal memang perjalanan ini sangat lama, dan boleh jadi itulah yang membuat rekan saya, Dhava, sibuk menyalakan peta sepanjang jalan hanya untuk memastikan berapa lama lagi waktu tempuh kami ke perbatasan. 

Hampir sejam perjalanan, kami akhirnya tiba di Motaain. Setelah menginformasikan pada petugas perihal tujuan kedatangan kami, ia pun mempersilakan kami masuk. Segera setelah bus terparkir, saya bergegas mengganti pakaian dengan mengenakan kaos TelusuRI, paling tidak ini akan jadi tanda bahwa TelusuRI telah sampai di tapal batas Indonesia–Timor Leste. 

Motaain
Foto bersama di Motaain/Oswald Kosfraedi

Sebelum memasuki tugu perbatasan, kami harus melapor diri pada petugas kurang lebih sebanyak tiga kali sampai bertemu dengan aparat TNI dan petugas yang bertugas di gerbang perbatasan. Seorang petugas yang menerima kedatangan kami pun menjelaskan batas yang boleh kami masuki. Meski panas Motaain begitu menyengat, kami begitu bersemangat menginjakkan kaki di perbatasan ini, dan tentu saja kami bergantian mengambil foto sebagai kenangan yang nantinya bisa kami lihat kembali atas kedatangan kami di tempat ini. 

Tiba di Motaain, di perbatasan Indonesia bersama teman-teman mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia sungguh adalah sebuah pengalaman yang sangat berkesan. Paling tidak ini menjadi tanda bagi kami semua bahwa kami pernah berdiri di sini sebagai satu saudara, satu darah Indonesia. 

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

1 komentar

Annie Nugraha 13 Mei 2024 - 13:23

MashaAllah. Seru ceritanya. Semoga suatu saat saya bisa sampai di Montaain dan merasakan serunya berada di perbatasan.

Reply

Tinggalkan Komentar