Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di Lombok tidak hanya menarik minat banyak pendaki nusantara, tetapi juga Asia hingga Eropa. Maka jangan heran kalau akan menemui banyak warga negara asing. Mereka didampingi pemandu dan porter lokal yang mengawal sampai puncak.
Ada tiga pintu masuk utama untuk bisa menggapai puncak Rinjani: Sembalun, Senaru, dan Torean. Jalur Sembalun paling menjadi rebutan. Kuota tiket daringnya mudah habis. Apalagi dibarengi turun via Torean yang sedang populer. Istilah “perang tiket” berlaku untuk pilihan lintas jalur Sembalun–Torean. Sebab, yang pesan mendadak dijamin gigit jari. Kecuali, kalau reservasi tiket sebulan sampai tiga pekan sebelum hari pendakian. Atau naik dari Senaru, turun Sembalun. Ini punya peluang besar, walau baru mengakses layanan tiket digital sepekan sebelum perjalanan ke Lombok.
Jalur Sembalun laris karena waktu tempuh ke puncak lebih cepat. Bahkan bisa dua hari satu malam saja, dengan titik camp di Plawangan Sembalun. Tanpa perlu mampir ke danau Segara Anak, sehingga langsung turun Sembalun lagi.
Berbeda dengan Senaru atau Torean, yang butuh waktu empat hari tiga malam. Kita mesti susah payah mencapai Plawangan Senaru untuk bermalam. Besok lanjut ke Segara Anak, nginap lagi. Esoknya, masih “bersakit-sakit” menuju Plawangan Sembalun dan buka tenda kembali. Baru dini hari menjajal trek berpasir, mengarungi “sirkuit” Letter E yang kesohor. Jika lulus ujian fisik dan mental di tanjakan pamungkas itu, puncak Rinjani bakal tersenyum menyambut.
Tak Ingin Menyesal di Tujuh Bukit Penyesalan
Ketika mendaki hari pertama via Sembalun, ada satu trek terkenal: Tujuh Bukit Penyesalan. Jalur menanjak itu terbentang selepas Pos 3 menuju Plawangan Sembalun. Benarkah pendaki bakal menyesal ketika menapakinya? Saya sendiri, yang mendaki 1–4 Juni 2024 lalu, enggan latah menyebutnya “Penyesalan”. Sungguh, saya mengunjungi Rinjani untuk bersenang-senang!
Perjalanan darat 27 jam dari pesisir utara Jawa Barat via Bali–Lombok saya tempuh dengan riang kepala, gembira mata. Tak ada mabuk laut dan rasa takut. Saya tidak mau datang jauh-jauh untuk kemudian menyesal di Rinjani. Saya ingin menyongsong “Tujuh Bukit Kegembiraan” dengan sukacita.
Hari Minggu (2/6/2024), selesai cek kesehatan di Puskesmas Sembalun dan mengurus registrasi di kantor Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), para pendaki naik mobil bak terbuka menuju gerbang Kandang Sapi. Dinamai demikian karena di area padang rumput itu banyak sapi berkeliaran. Kotorannya berserakan, sehingga mesti pandai-pandai melangkah. Jangan sampai terkena “ranjau” hijau-kehitaman.
Petualangan dari Kandang Sapi ke Pos 1 dan Pos 2 melintasi sabana mahaluas. Hijau membentang seakan tak berujung. Pemandangan 360 derajat, ya, hanya padang rumput saja. Sinar matahari panas menyengat kulit. Pakaian banjir keringat. Air mineral, topi rimba, dan kacamata hitam adalah sahabat perjalanan terbaik di sini.
Tak sedikit pendaki naik ojek menuju Pos 2, walau yang berjalan kaki juga banyak. Naik ojek hanya 20 menit dengan ongkos Rp200 ribu per orang. Sementara jalan perlu waktu tiga jam sampai Pos 2. Tak mudah memang, tetapi pesona sabana Sembalun membuat rasa lelah segera sirna. Berganti harapan, meniti pos demi pos. Ah, Rinjani, setiap jengkalmu adalah keindahan.
Di Pos 2, kita bisa isi ulang perbekalan air. Petugas juga siaga menagih bukti check in pendaki dan meminta surat kesehatan resmi dari puskesmas. Pengunjung yang tidak punya tiket online disuruh balik kanan, dilarang melanjutkan pendakian. Ketat banget.
Pukul 10.30 WITA, kami bergerak menuju Pos 3. Jalan setapak masih membelah area padang rumput. Di depannya terbentang bukit-bukit. Jalur belum begitu terjal. Cerah langit mulai digelayuti mendung. Mudah-mudahan jangan hujan, batin saya. Jurang-jurang besar menganga di sebelah kanan jalur. Mulas melihatnya. Pendaki mesti fokus melangkah.
“Itu jalur sebelum gempa. Sudah tak bisa dilewati,” kata seorang porter menunjuk patahan jalan setapak yang amblas ke jurang. “Sekarang kita melipir turun ke lembah. Naik dari punggungan lain.”
Pada 2018, Lombok diguncang gempa bumi. Jalur pendakian Gunung Rinjani terdampak. Beberapa papan penunjuk arah yang baru terpasang di rute menuju Pos 3. Ini penting, agar pendaki tidak salah jalan dan tersasar ke jalur lama, atau menemui punggungan yang mudah longsor.
Kami sampai di Pos 3 pukul 11.45 WITA. Saya dan rekan lainnya istirahat sejenak, meluruskan kaki dan menikmati udara sejuk pegunungan. Kami santap siang di sini dengan menu nasi ayam goreng, bekal dari Sembalun.
Jurang-jurang di sekitar jalur antara Pos 2 ke Pos 3 Sembalun (kiri). Istirahat sekaligus makan siang di Pos 3 Sembalun/Mochamad Rona Anggie
Perjalanan dari Kandang Sapi ke Pos 1 dan 2 bisa disebut etape awal pendakian. Setelahnya, pendaki masuk etape ketiga dan keempat. Dari Pos 3, kita dapat melihat garis tanjakan yang terapit pinus-pinus dan diselingi batu besar. Bikin ciut bulu kaki. Namun, otot paha menolak tunduk. Otot betis enggan takluk. Tak ada kalimat: aku gak bisa, Yura.
Itu dia “Tujuh Bukit Kegembiraan”. Saya yang berada dalam rombongan 21 pendaki harap-harap cemas. Kami saling menguatkan tekad, merapal doa-doa. Saya ingat pesan istri di rumah, agar pulang dengan selamat. Sebab, tagihan listrik dan air menanti.
Medan pendakian dari Pos 3 ke Pos 4, sampai Plawangan Sembalun, merupakan arena “Tujuh Bukit Kegembiraan”. Tidak ada tanda spesifik puncak setiap ujung bukit. Juga tidak ada turun bukit, lantas naik lagi, seperti di Gunung Sindoro, Sumbing, atau Semeru.
Kami malah melipir sungai-sungai kering, melewati lembah berbatu dikelilingi cemara. Terus berjalan menanjak dan menanjak. Sampai kira-kira, setelah rehat kesekian kali, sambil meneguk air dalam veples, sanubari berucap, “Kok, gak kelar-kelar tanjakannya?” Nah, jangan sampai kita terkenang kasur di rumah, lantas menyesal dan menyebutnya sebagai Tujuh Bukit Penyesalan.
Hiburan dari Porter
Sungguh, saya merasa senang kaki dan suka hati ketika menapaki perbukitan yang bertumpuk-tumpuk itu. Berbagi ceria bersama pendaki lainnya, bertukar tawa bareng turis mancanegara. Sambil menghindarkan pandangan sebisa mungkin, dari udel-udel Eropa yang tak kenal masuk angin.
Kehadiran porter menjadi pemandangan unik tersendiri. Mereka adalah warga lokal Sembalun yang dibayar untuk membawa perbekalan pendaki. Terutama pelancong luar negeri. Tak usah kaget kalau naik Rinjani, jumlah pendaki dan porter sama banyak. Bedanya, pendaki pakai sepatu gunung, porter bersandal jepit saja. Tapi jangan salah. kaki mereka amat lincah melibas tiap belokan menanjak.
Sepatu gunung kami, keren punya. Sandal jepit mereka, sakti gila. Seolah diberi ajian peringan tubuh. Mereka santai memikul beban dua keranjang. Pundak laksana tugu triangulasi. Napas bak banteng dalam arena, menerjang jalur berdebu. Ah, Rinjani. Kami serupa motor bebek dibanding porter-porter itu. Mereka motor trail.
Satu momen di bukit terakhir yang curam, sebelum naik tangga memasuki hutan Plawangan, seorang porter menyetel lagu di ponsel yang tersambung dengan pelantang portabel. Suaranya keras terdengar.
Mengudaralah Bohemian Rhapsody (Queen). Pas lirik “Mama…”, spontan pendaki bule dan domestik menyanyi bersama. Kemudian semua tergelak-gelak, sambil berusaha mengatur napas. Menguatkan pijakan agar tak jatuh. Kami berusaha menghibur diri di tanjakan terakhir “Tujuh Bukit Kegembiraan”.
“Sebentar lagi,” ucap seorang porter menyemangati. “Habis tangga, baru Plawangan.”
Nyatanya selepas tangga, napas kami yang tekor. Saya rebahkan tas carrier lalu selonjoran. Muka bule-bule memerah. Sedikit lagi ujung tanjakan dicapai, eh, masih melipir ke kiri 20-an meter. Baru ada papan penanda: Plawangan Sembalun.
Segara Anak yang Menakjubkan
Akhirnya sampai di Plawangan. Rintik hujan datang, lantas deras. Saya pun terkenang sajak Sapardi:
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu.
Gairah membuncah, semangat menyala. Tuntas sudah menapaki “Tujuh Bukit Kegembiraan”. Kini bersiap dengan tantangan dan tempaan berikutnya.
“Kita lanjut ke Plawangan dua,” kata pemandu.
Sudah pukul empat sore. Baru ada tujuh dari 21 pendaki. Kami bergegas demi sampai tenda. Berabe kalau basah kuyup.
Dekat barisan pinus, tenda berjejer. Baru rebahan sesaat, hujan reda. Langit berangsur terang. Kabut menghilang, mendung pulang. Perlahan, bak mandi raksasa terlihat. Itulah Segara Anak. Biru memukau. Ini bukan lukisan, nyata depan mata. Semesta pujian hanya untuk Sang Pencipta, Allah rabbul ’alamin.
Jelang setengah enam sore, gelap masih terkena macet. Mentari baru ancang-ancang lepas dinas. Plawangan Sembalun jadi kado terindah bagi para lulusan terbaik “sekolah alam” Tujuh Bukit Kegembiraan.
Semua tenda terpancang menghadap Segara Anak. Para pendaki berlomba merekam suasana. Tebing-tebing kaldera di sisi danau begitu gagah ditimpa temaram cahaya senja.
Di sisi utara, punggungan besar mengadang. Jalur setapak Plawangan berujung di sana. Dini hari nanti, para pendaki akan mencumbunya demi mencapai batas vegetasi. Setelah itu, trek sepenuhnya berpasir. Panjang dan menguras tenaga. Tak ada kata menyesal, apalagi menyerah. Mesti dijalani, hingga bertemu “ujian akhir” yang bakal membuat dengkul pendaki Rinjani bergetar: Letter E.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.