TRAVELOG

Mengunjungi Tebing Kawah Burung, Lokasi Jatuhnya Dua Pesawat Cessna (2)

Jalur pendakian Sadarehe mirip rute Linggarjati. Tanpa basa-basi, begitu melewati gerbang, pendaki “dihadiahi” setapak yang membuat carrier doyong ke depan. Jantung saya berdegup kencang. Keringat membanjiri tubuh. Trek menanjak konstan. Tanpa kompromi langsung menghajar otot betis.

Kami sampai di Pos 1 Lawang Gede dalam 45 menit. Napas ngos-ngosan, “mesin” baru saja dipanaskan. Selanjutnya medan tanah gembur jadi pijakan kami. Kelebatan hutan menguji nyali. Tanjakan bertali susah payah kami lewati.

Setelah 40 menit berlalu, Pos 2 Tegal Jamuju tampak. Kami rehat agak lama. Membiarkan tubuh beradaptasi. Punggung saya mengeluarkan asap, merespons kelembapan sekitar. Ade dan Arif datang. Mereka membawa portofon serta golok tebas. Saat turun gunung nanti, saya baru paham kenapa pendaki via Sadarehe wajib dikawal ranger.

Jalur curam bertali di awal pendakian (kiri atas) serta Pos 1 dan Pos 2 jalur Sadarehe yang berada di tengah hutan lebat/Mochamad Rona Anggie

“Jalurnya, lumayan ya,” ucap saya memecah keheningan.

“Iya, full nanjak,” sahut Ade.

“Terakhir naik kapan?”

“Pekan lalu, bawa rombongan Arei (merek outdoor lokal).” 

Kami meneruskan langkah. Target makan siang di perhentian berikutnya. Kami meniti punggungan dengan naungan pepohonan rindang. Lembahan di sisi kiri jalur membentuk jurang dalam. Mesti fokus dan waspada. Saya ingatkan Muhammad yang masih berusia tujuh tahun, “Jangan terlalu ke kiri! Awas, jurang!” 

Lewat tengah hari, kami tiba di Pos 3 Kayu Manis. Angin bertiup kencang. Bunyinya menyeramkan. Hempasan angin tidak langsung menerpa kami, sebab sekeliling dipenuhi pepohonan. Hanya saja, saya khawatir pohon tumbang. Angin menyelinap dari sela-sela batang pohon, dan seketika menggigilkan badan yang basah oleh keringat.

Tenaga terkuras. Perbekalan dibuka, kami santap nasi plus tempe, nuget, dan sayur sup. Ibunya anak-anak yang menyiapkan. Asyiknya sudah berkeluarga, urusan logistik pendakian turut ditangani nyonya di rumah. Menu lebih variatif dan keseimbangan gizi diperhatikan. Tak lagi mengandalkan mi instan. 

  • Mengunjungi Tebing Kawah Burung, Lokasi Jatuhnya Dua Pesawat Cessna (2)
  • Mengunjungi Tebing Kawah Burung, Lokasi Jatuhnya Dua Pesawat Cessna (2)

Bermalam di Pos 6 Sumber Hirup

Jalur menuju Pos 4 Pengorbanan Cinta masih didominasi tanjakan. Mendekati pos, baru ada bonus turunan dan tanah datar. Sementara jarak ke Pos 5 Buyut Ketug hanya sekitar 200 meter atau 30 menit perjalanan. Lokasi ini disakralkan penduduk setempat. Ada satu area dilingkari pembatas, kita dilarang ke situ. 

Rasanya ingin segera sampai Pos 6 Sumber Hirup. Penasaran hadiah air 10 liter. Biasanya pendaki yang ke sumber air, eh ini sudah disiapkan. Sekitar 40 menit kami sampai di Pos 6. Salah satu transit camp selain sabana Kawah Burung, yang diizinkan TNGC. 

Di Sumber Hirup hanya ada tim kami. Saya putuskan buka tenda di sini. Cuaca bersahabat. Angin tak lagi menderu. Capaian waktu kami cukup baik, baru pukul 15.30. 

Ade sempat menawarkan bermalam di Kawah Burung. Masih dua jam lagi ke sana. Saya tak ingin memforsir tenaga. Biar anak-anak rileks menikmati perjalanan. Apalagi si kembar Rean Carstensz Langie (Zaid) dan Evan Hrazeel Langie (Ali), serta adiknya Muhammad, masih bocil. Belum gede banget. Saya tidak mau membuat mereka kelelahan, hanya demi memenuhi hasrat camping di padang rumput Kawah Burung.

Di Pos 6 berserakan jeriken berisi air 10 liter. Jatah kami sudah diberikan. Airnya tidak bening. Entah dari mata air mengucur atau tergenang. Warnanya mirip teh (kekuningan). Saya menduga airnya bercampur dedaunan kering. 

Posisi sumber air tidak kami ketahui. Sengaja dirahasiakan dan diatur pemanfaatannya. Arif sigap mengumpulkan kayu, membuat perapian. Ade mengambil sesuatu di lubang bawah pohon besar. Tenda, logistik dan peralatan masak untuk ranger, disembunyikan di situ.

Kami pun segera mendirikan tenda. Tak lupa melapisinya dengan flysheet, biar tidak tembus ketika hujan. Istirahat nyaman, perbekalan aman, di antara kunci kesuksesan pendakian gunung. 

Menuju Kawah Burung

Pukul 05.30 kami bergerak ke Pos 7 Tanjakan Cita-cita. Kemah Ade dan Arif senyap saja. Mereka masih pulas. Meskipun begitu, saya tetap pamit. “Ya, nanti kami nyusul,” terdengar respons dari balik kantung tidur.

Kami berangkat penuh semangat. Membawa daypack berisi dua botol air, roti dan susu kotak. Trek semakin menanjak, belantara mengurung. Kami terus melangkah dan tiba di pelataran kecil, tertancap plang Pos 7. Titik ini batas hutan pegunungan dengan padang edelweis. Jalur berikutnya membelah kebun edelweis yang memesona. Energi jiwa membuncah, tak sabar memeluk rimbunnya bunga abadi (Anaphalis javanica).

Edelweis terhampar di lereng yang curam. Sejauh mata memandang, bunga cantik ini seolah tersenyum manja. Mengundang pendaki untuk mendekat. Inilah daya pikat rute Sadarehe. Kalau ke sini bulan Juli–Agustus, dipastikan wangi khasnya menempel di jaket. 

Mengunjungi Tebing Kawah Burung, Lokasi Jatuhnya Dua Pesawat Cessna (2)
Membelah kebun edelweis menuju Pos 8. Di jalur ini terdapat tali bantuan agar pendaki tidak terpeleset/Mochamad Rona Anggie

Sabar menapaki jalur yang miskin bonus, tali panjang menjuntai di sebuah kelokan curam. “Ayo, pegangan! Jangan sampai tergelincir,” perintah saya ke bocil-bocil. Ujung Tanjakan Cita-cita adalah batas vegetasi. Selanjutnya kami melintasi rerumputan, ilalang, dan tanaman perdu, lantas turun ke sebuah padang rumput nan luas; inikah Kawah Burung? Benar. Ada plangnya: Pos 8 Kawah Burung (2.670 mdpl).

Bukan main senangnya. Tak ada siapa pun. Kami menikmati kegembiraan hanya berempat; seorang ayah dan tiga anak lelakinya. Kami lari-lari kecil mengitari savana, lalu duduk beralas rerumputan kering sambil menyesap susu cokelat ditemani biskuit. Hari yang indah.

Cerukan genangan air di Kawah Burung (kiri) dan puncak Ciremai tampak di kejauhan. TNGC memperbolehkan pendaki bermalam di sabana dengan syarat tanpa menyalakan api/Mochamad Rona Anggie

Terdengar langkah orang datang, ternyata Ade dan Arif. Kami tertawa renyah menyambut mereka. Keduanya balas tersenyum. “Ini baru sampai, kok,” kata saya. Mereka pun istirahat sejenak. Pagi itu langit berawan. Sinar mentari malu-malu menyentuh bumi. Semoga perjalanan muncak lancar, batin saya.

Puas memandangi Kawah Burung, kami kembali berjalan. Estimasi tiga jam sampai ke atap Jawa Barat (3.078 mdpl). Kami sempatkan melihat cerukan berisi air jernih. Kijang gunung tertangkap mata mampir ke situ, dan segera kabur tahu ada manusia. Kami kegirangan menyaksikan hewan liar di alamnya. “Cerukan ini menampung air hujan. Bisa diminum,” jelas Ade.

Setapak menuju puncak ada di tengah savana mengarah ke kiri, lalu mendaki perbukitan di depannya. Selanjutnya medan terbuka nan terjal, memudahkan angin menerjang tubuh pendaki. Gemuruh suaranya kami hadapi dengan doa dan selawat kepada nabi.

Dari kiri, searah jarum jam: Pemandangan kawah Ciremai, area puncak Sadarehe yang sempit, dan Kawah Burung yang tampak mungil di kejauhan/Mochamad Rona Anggie

Puncak yang Sempit

Kami tiba di puncak pukul 09.19, Ahad (6/11/2022). Dasar kawah berwarna hijau toska. Tidak berubah seperti saat kami mencapai puncak lewat jalur Palutungan, 16 Agustus 2022.

Area puncak Sadarehe sempit. Tidak seperti puncak Palutungan yang bisa dipakai upacara 17-an. Di balik keceriaan dan semarak foto pendaki ketika berhasil menjejaki puncak, tebing cadas di bawahnya menyimpan cerita memilukan. Enam mayat bersemayam dipeluk kabut selama berhari-hari, sebelum ditemukan tim evakuasi. Mereka korban kecelakaan pesawat latih Cessna yang menabrak tebing tahun 2003 dan 2011 silam.

Seyogianya kita sebagai tamu yang berziarah ke titik tertinggi Jawa Barat, senantiasa menjaga sikap selama di sana. Pesan penduduk setempat yang tahu seluk-beluk Kawah Burung serta area tebing hutan mati: jangan bicara sembarangan dan teriak-teriak

Kami turun gunung lantas bermalam lagi di Pos 6. Mendung menggelayut, bunyi petir menciutkan nyali. Ade mengabari basecamp via portofon, kami pulang esok pagi. Menghindari cuaca buruk serta angin yang terus bergemuruh.

Besoknya, di tengah jalur mendekati Pos 3, sebuah pohon besar tumbang menutupi jalan. Ade dan Arif mengeluarkan golok tebas, memotongi batang yang menghalangi. Pendampingan oleh ranger, di antara tujuannya mengantisipasi risiko semacam ini. Hatur nuhun, Kang Ade dan Arif yang sudah menemani perjalanan kami.  


Foto sampul: Bersantai di Kawah Burung setelah turun dari puncak (Mochamad Rona Anggie)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mochamad Rona Anggie

Mochamad Rona Anggie tinggal di Kota Cirebon. Mendaki gunung sejak 2001. Tak bosan memanggul carrier. Ayah anak kembar dan tiga adiknya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Mengunjungi Tebing Kawah Burung, Lokasi Jatuhnya Dua Pesawat Cessna (1)