Travelog

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo

Perlu jarak tempuh 35 km dengan sepeda motor dari Kota Yogyakarta untuk mencapai Waduk Sermo di Kulon Progo. Meski cuaca panas terik, perjalanan panjang melalui Jalan Wates tidak membuatku jenuh karena aku ditemani oleh Afrinola, teman kuliahku yang selalu asyik diajak ngobrol dan bercanda.

Sekitar 11 km sebelum tiba, kami sempatkan istirahat dulu untuk makan di warung Mie Ayam Pakde Wonogiri dan ibadah di masjid terdekat. Setelah itu, perjalanan kami lanjutkan ke Waduk Sermo.

Setelah hampir sampai, kami mencoba masuk melalui jalur utama. Namun, sayang sekali ternyata jalur itu tutup dan sudah dipindah. Akhirnya kami berputar arah dan mengikuti petunjuk untuk mencapainya. Kami dikenakan Tarif Pemungutan Retribusi (TPR) Rp10.000 per orang. Jalur baru yang kami lewati lumayan berkelok disertai tebing dan pepohonan di kiri dan kanan. Jalan yang membelah bukit sangat mengesankan bagiku, mengingatkanku kala study tour SMP dulu ke Pantai Pandawa, Bali.

Begitu waduk terlihat, aku memutuskan untuk berhenti dahulu di tempat yang cocok untuk istirahat dan memandangi waduk. Kami memilih tempat bernama Gumuk Sriti, ada gardu pandangnya di sana. Akan tetapi, gardu pandang yang terbuat dari kayu itu sudah rapuh dan tidak layak digunakan, sehingga kami memilih duduk di rerumputan dan berteduh di bawah pohon. Aku melihat waduk yang begitu luas, perahu lalu-lalang, area camping, beberapa wisatawan, dan nelayan di sekitarnya.

  • Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
  • Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo

Waduk sebagai Sumber Pencaharian Warga

Kami mencoba mendekati dan mewawancarai salah satu nelayan untuk menggali lebih dalam kehidupan mereka. Nelayan itu bernama Mas Lovenda.

Mas Lovenda menjelaskan bahwa mencari ikan di Waduk Sermo sudah menjadi mata pencaharian bagi warga sekitar. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak sehabis pulang sekolah atau pada saat liburan kadang juga ikut mencari ikan di waduk. Jenis-jenis ikan yang didapat sendiri banyak, seperti betutu, nila, gurame, bawal, dan gabus.

Cara nelayan menangkap ikan menggunakan dua opsi, yaitu menebar jala atau membentangkan jaring. Tidak ada opsi untuk menggunakan pancing, karena opsi itu menyulitkan nelayan mendapatkan ikan.

“Kalau pake pancing susah kalo kayak kami nelayan. Sulit dapet ikan. Kalau yang mancing ‘kan paling cuma buat hiburan. Bukan buat mata pencaharian,” kata Mas Lovenda.

Saya juga sempat menanyakan perihal waktu yang tepat untuk mendapatkan ikan. Mas Lovenda menjelaskan bahwa waktu untuk mendapatkan ikan tidak pasti. Tidak ada patokan waktu untuk mencari ikan. Akan tetapi, jika kondisi sehabis hujan, ikan sulit didapatkan.

Mas Lovenda juga menentukan waktu untuk membentangkan jaring. “Cuma ‘kan kalo jaring dibatasi dari jam 4 sore, baru bisa pasang jaring.”

“Oh, kenapa alasannya, Mas?” tanyaku.

“Kan ada perahu, dari pariwisata itu.”

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
Potret Mas Lovenda sedang menebar jala di salah satu sisi Waduk Sermo/Danang Nugroho

Kalau malam Mas Lovenda pasang jaring, maka jaring diambil pada pagi hari sebelum wisata Waduk Sermo buka karena takut terkena perahu wisata yang berlalu-lalang. Mas Lovenda dan para nelayan lainnya menebar jaring menggunakan rakit. Nantinya jaring dibentangkan sesuai dengan posisi yang sudah mereka tentukan. Setelah itu mereka mencari ikan lagi dengan cara menebar jala.

Ikan yang mereka dapatkan terkadang dikonsumsi pribadi atau dijual. Biasanya ikan itu dijual ke pengepul. Kalau dijual ke pengepul bisa dapat Rp20.000 per kg, sedangkan jika ke luar pengepul mencapai Rp30.000 per kg.

Mas Lovenda sendiri biasanya menjual ikan ke pengepul karena lebih efektif dan hemat tenaga. Rata-rata per hari bisa mendapat 5 kilogram ikan atau jika dirupiahkan bisa Rp100.000 per harinya. Pikirku, “Jika itu konsisten selama sebulan, maka sudah melebihi UMR Jogja.”

Bagi Mas Lovenda, nelayan itu bebas. Tidak terikat waktu untuk berangkat. Siang dan malam bisa untuk mencari ikan. Karena Mas Lovanda hendak menebar jala, aku dan Afrinola mengucapkan terima kasih dan pamit untuk melanjutkan berkeliling Waduk Sermo. 

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
Sejumlah tenda pengunjung di salah satu area perkemahan Waduk Sermo/Danang Nugroho

Mengitari Waduk Sermo dalam Sekali Tarikan Gas

Kami memutuskan untuk mengitari waduk menggunakan motor sampai kembali lagi ke tempat awal. Aku menarik gas secara perlahan-lahan. Untuk menikmati perjalanan, kecepatan motor hanya berkisar 15–20 km/jam. 

Di perjalanan awal, aku melihat ada prasasti bertuliskan daftar pengikut transmigrasi terdampak pembangunan Waduk Sermo. Ada beberapa nama warga yang dipindahkan. Ini hal menarik yang perlu digali.

“Kita nanti tanyakan waduk dan prasasti itu ke warung itu ya, Nol,” ajakku.

“Iya, Nang. Nanti coba tanya-tanya seputar waduk dan prasasti itu,” jawab Afrinola.

Setelah melewati prasasti, banyak warung yang berjualan di pinggir jalan. Tidak hanya warung, ada juga bengkel dan beberapa rumah jamur untuk singgah dan istirahat para pengunjung sembari melihat keindahan waduk. Di samping itu, terdapat pula wisma atau vila apabila para pengunjung ingin menginap di sekitar waduk.

Cara lain untuk para pengunjung bisa menginap di dalam area waduk adalah camping atau berkemah. Banyak area camping yang bisa disinggahi. Selain Gumuk Sriti tadi, ada juga Taman Munggur, Mengger Kemuning, Menara Pelangi, Sermo Glamp Camp, Bukit Kelengkeng, dan Panorama Setro. Sepertinya asyik melihat pengunjung yang berkemah, karena bisa berwisata perahu dan memancing ikan untuk konsumsi mereka.

Perjalanan belum usai. Di beberapa sudut waduk airnya surut dan sepi pengunjung. Kami malah melihat beberapa orang sedang mencari rumput. Pikirku, berarti bagian wisata hanya di dekat jalur masuk utama saja, karena kalau sudah jauh dari pintu masuk, tempat ini sepi dan air pun tidak menggenangi sudut-sudut waduk.

Kemudian sampailah kami di tempat TPR kedua. Ternyata ada dua tempat untuk jalur masuk dan keluar. Kami diarahkan penjaga TPR ke pintu utama. Penjaga TPR juga menjelaskan kalau kami sudah berjalan 18 km selama mengitari waduk. Kami langsung bergegas kembali menuju jalur utama dan mampir ke warung dekat prasasti transmigrasi tadi.

Prasasti Transmigrasi dan Dongeng dari Pedagang 

Sampailah kami ke TPR awal dan berjalan sedikit untuk singgah di warung dekat prasasti transmigrasi. Kami memesan minum dan berbincang hangat dengan salah satu pedagang bernama Ibu Mursinah. Nama warungnya Warkop Yu Mur.

Aku menanyakan perihal sejarah dari prasasti transmigrasi yang berjarak sekitar 10 meter dari warkopnya. Bu Mursinah menjelaskan, dulu di daerah waduk adalah permukiman penduduk. Kemudian mereka dipindahkan atau ditransmigrasikan ke Desa Taktoi, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, dan Riau. Transmigrasi massal tersebut melibatkan 102 warga yang disebut dengan istilah bedol desa.

Waduk Sermo dibuat saat zaman Presiden Soeharto. Pembangunan mulai tahun 1994 dan diresmikan pada 1996. “Dulu itu sini masih pegunungan. Kemudian bisa seperti ini lantaran diledakkan,” ungkap Bu Mursinah.

Dengan adanya waduk ini, masyarakat di daerah Wates dan sekitarnya bisa mendapatkan manfaatnya. Waduk dikelola Kementerian PUPR untuk pengairan atau irigasi ke sawah daerah sekitar, serta sebagai sumber air bersih untuk minum yang dikelola PDAM setempat.

Lalu seiring berjalannya waktu, Waduk Sermo juga dikelola oleh dinas pariwisata yang bekerja sama dengan warga sekitar untuk dijadikan tempat wisata. Karena bekerja sama, warkop dan pedagang kaki lima yang ada di sekitar waduk tidak dikenakan tarif sewa tempat.

Bu Mursinah sendiri mengungkapkan kalau puncak keramaian sekarang hanya di hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional. Selain hari itu sepi pengunjung. “Kalau tahun 2019 ke bawah itu masih ramai, Mas. Waktu itu, kami para pedagang juga menyediakan sewa skuter dan ATV. Tapi karena makin sepi, semua itu rusak dan dijual,” ungkapnya.

Sepinya waduk sendiri, menurut Bu Mursinah, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Mulai dari jalan masuk yang dialihkan, wahana wisata yang hanya viral sesaat, dan tarif masuk naik empat ribu rupiah dari yang dulunya Rp6.000.

“Kalau untuk pedagang-pedagang kayak gini, ya, kalau ramai ya ramai, kalau enggak ya tetap sepi pol. Satu hari itu nggak tentu dapet duit,” pungkas Bu Mursinah.

Setelah mendengar pernyataan itu, aku berharap dinas pariwisata dan warga sekitar mampu membuat Waduk Sermo kembali ramai lagi seperti dulu. Menawarkan spot wisata yang lebih menarik. Dengan pemberdayaan seperti itu, warga sekitar juga akan merasakan dampak baiknya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Danang Nugroho

Aktif kuliah di Jogja. Verified Writer di IDN Times. Suka menulis dan mendengarkan musik yang mellow..

Aktif kuliah di Jogja. Verified Writer di IDN Times. Suka menulis dan mendengarkan musik yang mellow..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Pantai Jetis, Destinasi “Healing” Ekonomis di Purworejo