Di Dusun Rangko, sekitar 5 kilometer dari Labuan Bajo, Afa dan kawan-kawan yang tergabung dalam Nomad Plastic—sebuah yayasan sosial yang rutin melakukan kegiatan terkait sampah: penyuluhan, pembelajaran, hingga aksi bersih-bersih di Labuan Bajo dan sekitarnya. Saya mengikuti Afa, Iqbal, dan Pretty untuk berangkat ke Pulau Longos. Beberapa daerah di sana dicanangkan sebagai daerah baru yang sampahnya akan mereka kelola.
Perahu milik Pak Raju membawa kami membelah sela-sela Laut Flores, melintasi air dari yang berwarna biru toska hingga biru gelap. Angin menghanyutkan mata kami untuk menyegerakan kantuk yang terkatung-katung di tengah ombak. Saya masih sanggup menahan mata yang berat untuk menyaksikan pemandangan di sekitar.
“Itu pulau apa?” tangan saya menunjuk ke sebuah pulau yang tampaknya tidak ada kehidupan.
“Pulau Sebabi, tidak berpenghuni itu,” terang Afa.
Beberapa pemukiman pinggir laut ala masyarakat Bajo kami lewati. Bukit-bukit hijau dan laut biru yang kontras menjadi pemandangan sepanjang pelayaran.
Butuh waktu hingga satu setengah jam untuk sampai di persinggahan pertama: Desa Nanga Kantor Barat. Perahu ditambatkan, kami berjalan ke arah kantor kepala desa untuk menyerahkan 15 jaring baru sebagai tempat pengumpulan sampah.
“Di sini air bersihnya melimpah,” Iqbal menerangkan aliran air yang baru saja kami lewati, yang saya kira saluran air pembuangan karena banyaknya sampah.
“Sayang aja itu banyak sampah jadi kayak selokan,” tambahnya. Semakin kami berjalan agak mendaki, di dekat sebuah masjid, terpancar aliran air tanpa keran yang terus menerus memancarkan air dengan deras, sebagai tempat untuk berwudu. Di sebelahnya, dua ibu-ibu sedang mencuci di dua buah bilik yang terbuat dari beton. Desa Nanga Kantor Barat tidak pernah kekurangan air meski musim kemarau, jika dibandingkan dengan dusun atau desa lain di Pulau Longos.
Desa ini teduh. Pohon-pohon besar mudah ditemukan di kiri kanan jalan. Rumah-rumah panggung berjajar saling melengkapi dengan rumah biasa. Setelah menyerahkan jaring dan bertegur sapa dengan para warga yang berada di kantor desa, kami singgah sebentar di rumah Bibi Fia—kenalan mereka—sambil minum kopi dan menikmati suguhan pisang goreng. Sampah yang telah kami pungut dari warga kemudian dimuat ke dalam perahu; ada plastik, botol kaca, juga kardus bekas.
Perjalanan menyusuri laut ini kemudian dilanjutkan ke Dusun Mangge, sebuah dusun yang letaknya di sebelah barat Pulau Longos. Para warga antusias melihat kami mengumpulkan semua sampah dalam sebuah jaring besar. Anak-anak berebut melihat dan ikut membantu memindah sampah. Saking bersemangatnya warga untuk mengumpulkan sampah, sampah organik pun turut dimasukkan ke dalam jaring. Afa kemudian bantu menjelaskan kepada salah satu warga bahwa sampah organik tidak perlu ikut masuk karena akan membusuk dengan sendirinya.
Dusun terakhir kami singgahi adalah Kampung Bajo yang masih satu lingkup dengan Dusun Mangge, dusun ini masuk ke dalam Desa Pontianak. Pak Raju memberitahu kami supaya bergegas untuk memungut sampah yang ada, sebab tidak lama lagi air laut akan surut, dan akan menyulitkan kepulangan. Meski ingin segera mengumpulkan sampah yang ada, ruang kampung yang cukup luas agak menyulitkan kami untuk bergerilya memungut sampah yang terkumpul satu per satu dari rumah. Gerobak dan bantuan kepala RT dan beberapa warga kemudian memudahkan kami menyisir rumah demi rumah. Dibandingkan dua tempat sebelumnya, sampah di Kampung Bajo jauh lebih banyak.
Jaring demi jaring terisi penuh. Kami kemudian memasukkan paksa beberapa sampah lain untuk menekan volumenya agar lebih padat. Hampir setengah badan perahu sudah dipenuhi oleh sampah. Ruang perahu yang tadi cukup lega untuk kami bergerak, sekarang sudah dijejali dengan kumpulan plastik, botol, dan kardus. Sang perahu mendengkur keberatan dengan timbunan sampah yang ia bawa.
Saya sedikit ngeri, membayangkan kumpulan sampah tersebut dibuang begitu saja di laut lepas dan terombang-ambing ombak yang membawa ke berbagai belahan tempat di dunia. Tentunya sampah itu bakal menjadi warisan terburuk kita untuk generasi mendatang.
Sebagian perairan yang kami lewati sudah menjadi dangkal. Pak Raju dengan hati-hati mengarahkan arah kapal, yang sewaktu-waktu bisa saja tersangkut lamun atau pasir. Apesnya, kapal kami yang sudah berhasil melewati padang lamun yang dangkal, tiba-tiba tersangkut pasir di tengah-tengah laut.
“Semuanya dorong ya!”
Semua serentak mengikuti perintah Pak Raju, dalam hitungan ketiga, kami semua mendorong kapal dengan sekuat tenaga. Meskipun nafas sudah terengah, kapal hanya bergerak sedikit mundur. Tenaga lima orang belum cukup kuat untuk mendorong kapal.
“Ayo dorong lagi,” Afa memberikan arahan.
Setelah berkali-kali mendorong, akhirnya kapal berhasil keluar dari perairan dangkal. Kami bersorak.
Sebelum kembali menuju ke Rangko, kami menyempatkan untuk singgah di Pulau Sebabi, membakar ikan pembelian dari Kampung Bajo. Dari kejauhan, Kota Labuan Bajo tampak dikerubungi awan hitam yang menurunkan butiran-butiran air. Sore itu matahari enggan memancara jingga sempurna tapi kami menikmati membakar ikan tanpa bumbu yang dibeli dari salah seorang warga di Kampung Bajo. Ikan-ikan yang sudah matang tandas dengan cepat. Saatnya pulang, sebelum malam terlalu pekat menyelimuti laut.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.