Tampaknya, kini Bandung tak lagi terlalu teduh seperti masa lalu. Arus lalu lintas yang dahulu lengang, cukup mudah untuk kita seberangi, kini ia menjelma kepadatan, ruwet, dan penuh sesak. Kendaraan melaju tanpa jeda, seolah tak mengenal sekat. Di banyak sudut jantung kota, saya menyaksikan raut wajah ibu kota: ruas jalan yang padat, motor dan mobil yang saling menyalip, berebut ruas trotoar yang tersisa. Pejalan kaki hanya bisa menatap getir menyaksikan hak mereka yang diokupasi oleh lahan parkir liar, gerobak dagangan, dan laju kuda besi yang tak pernah mengalah.
Di tengah kesibukan Bandung saban hari, masih ada yang tetap kita cari: potongan alam yang konon masih menghadirkan ketenangan, udara yang sejuk, dan ruang jeda untuk berhenti sejenak dari rutinitas yang melelahkan. Curug Tilu Leuwi Opat adalah sepenggal nama yang kerap disebut ketika orang hendak menepi dari hiruk kota yang tak pernah selesai.
Meski orang lain menganggap tempat ini masih menjadi solusi, tapi jangan berekspektasi bahwa kesunyian yang kita harapkan tiba saat kalian berkunjung di akhir pekan. Sebab, Sabtu dan Minggu tak akrab dengan itu. Antrean tiket yang mengular, parkiran motor yang menjalar, hingga suara pengeras musik dari saung dan tenda pengunjung mendistraksi deru air yang jatuh menimpa bebatuan. Curug Tilu Leuwi Opat adalah destinasi yang tepat untuk memahami Bandung hari ini. Tempat manusia bertamu pada alam, dan ruang terbatas untuk saling berbagi ketenangan yang dihadirkan meski sebentar.
Perjalanan yang mesti ditempuh sekitar 20 kilometer dari pusat kota menuju Curug Tilu Leuwi Opat memang tak bisa juga kita katakan mudah. Meski hampir seluruh ruas jalan yang dilalui beraspal, tetapi karena letaknya di dataran tinggi, medan yang dilewati penuh dengan tanjakan dan turunan yang cukup curam. Sekitar 200 meter dari tujuan, kontur jalan berubah menjadi batuan dan tanah merah.


Peta petunjuk titik-titik destinasi wisata (kiri) dan sejumlah wisatawan berendam di salah satu lokasi Curug Tilu Leuwi Opat, Bandung/Yayang Nanda Budiman
Hari itu saya menempuh perjalanan dari arah Ledeng, melewati Sersan Bajuri dan kawasan Kampung Gajah. Seiring menjauh dari pusat kota kepadatan mulai terurai. Hilir mudik kendaraan berganti pedagang tanaman hias di sepanjang jalan. Semakin menanjak, udara sejuk mulai menembus pori-pori jaket. Harum pinus dan aroma lembap hutan membawa ketenangan yang diharapkan.
Sesampainya di gerbang Ciwangun Indah Camp (CIC), saya langsung menuju loket untuk membayar tiket masuk seharga Rp 42.000 untuk dua orang, dan sudah termasuk biaya parkir sepeda motor. Tak jauh dari pintu masuk, terpampang peta petunjuk yang memuat informasi semua fasilitas dan arah menuju sejumlah curug yang ada di kawasan tersebut.
Dari sana, jarak yang mesti ditempuh menuju Curug Gawir, Curug Kacapi hingga Curug Aseupan masih sekitar 2–4 kilometer. Medan yang dilewati masih tergolong ramah, bahkan sempat mengalami kepadatan karena sebagian pengunjung berhenti. Mereka berswafoto hingga membuat konten untuk keperluan sosial media di tengah orang-orang yang hendak melintas. Menyaksikan fenomena itu saya hanya tersenyum, “Bahkan untuk menikmati ketenangan pun kita mesti tetap mendahulukan kesabaran.”

Sepenggal Hutan, Air, dan Kebisingan Serupa Kota
Curug Tilu Leuwi Opat dapat diterjemahkan sebagai tiga air terjun dan empat aliran sungai. Dengan luas kawasan sekitar lima hektare, kita dapat mengeksplorasi kawasan ini seharian. Tapi pagi itu, langkah saya tak mampu bergerak terlalu cepat. Sebagian jalur sudah dipadati oleh rombongan keluarga, kelompok anak muda yang hendak camping, hingga pasangan yang saling bergandengan dengan mata kamera yang terus hidup di sepanjang perjalanan.
Curug Gawir dan Curug Kacapi hanyut dalam tenang. Meski debit airnya tak begitu besar, arusnya masih mampu mendorong kaki dalam kejernihan dan dinginnya air pegunungan. Menjelang siang, suara deburan air yang jatuh tampak kian memudar. Suara musik dari sepiker bluetooth yang dibawa pengunjung mengubah suasana serupa festival dadakan. Meski itu bagian dari hak, di sinilah kita dapat menyaksikan letak paradoksnya: kita seolah merayakan “back to nature” serupa caption kiriman di Instagram, tapi tak tahu cara diam untuk mendengarkan alam bercerita.
Tak selesai di situ, saya kemudian melanjutkan perjalanan menuju Curug Aseupan. Untuk sampai ke sana, para pengunjung harus terlebih dahulu menaiki tangga besi yang disediakan oleh pengelola. Untuk menikmati spot foto di Curug Aseupan, pengunjung harus kembali merogoh kocek sebesar Rp10.000/orang.
Namun, yang membuat saya sedikit gelisah bukan soal besar-kecilnya biaya tambahan, melainkan pengelola yang tidak terlalu memperhatikan keamanan bagi wisatawan. Tak ada tali pengaman, pemandu hanya berperan serupa petugas loket. Padahal lokasi curug berada di ketinggian, pengunjung tidak semuanya datang dengan pakaian dan alas yang sesuai untuk melewati medan bebatuan licin dan debit air yang kapan saja bisa berubah. Alam, kadang memberi teguran melalui cara yang tak sempat kita duga. Tapi seringkali kita abai, memilih sibuk memperhatikan lensa kamera.
Setelah memutar balik arah langkah, saya melanjutkan perjalanan menuju Leuwi Baeud dan Leuwi Bagong. Aliran sungai di sini jauh lebih tenang dan tak terlalu luas. Airnya begitu jernih, bebatuan di dasar dapat kita saksikan dengan mata telanjang, dan suara gemericik air yang menerobos celah bebatuan serupa nyanyian pengantar tidur. Setelah mata terpejam dan pikiran hanyut dalam keheningan, tatapan langsung dihadapkan pada lembaran bungkus makanan dan botol plastik di tepian.
Entah karena keterbatas dalam mencari, tapi ketersediaan tempat sampah memang tak cukup terjangkau, terlebih di daerah yang potensial banyak pengunjung. Kadang kita seolah meromantisasi ekowisata hanya berakhir pada sepenggal kata, tapi lupa menyematkan cinta dalam bentuk yang paling nyata: kesadaran.


Kepulangan dan Rasa yang Tertinggal dalam Keramaian
Belum genap pukul 15.00, kabut tipis perlahan mulai turun ke kaki gunung. Di tengah suara kicauan burung dan riak sungai yang bersorak setelah sebagian besar pengunjung pulang ke kota, saya mulai menyadari satu hal: tempat ini bukan soal panorama, melainkan tentang bagaimana kita memaknai alam tidak sebatas objek pelampiasan dari rutinitas kota yang menjemukan.
Barangkali kita terlalu sibuk ingin bertemu dengan alam tanpa sempat lebih dulu bertegur sapa dengannya. Kita menerobos kerumunan dan berharap ketenangan ada di peluknya. Tapi saya pun lupa, bahwa ketenangan memang diciptakan, bukan ditemukan.
Curug Tilu Leuwi Opat adalah potret Indonesia dalam bingkai sederhana: indah, kaya, tapi sering kali dipertemukan dengan kesibukan yang serupa. Alam mempunyai harmoni yang indah, tapi kita sering mendistorsi itu semua dengan kebisingan yang kita bawa dari kota. Suara aliran sungai, bisikan angin yang menggoyahkan ranting pohon, dan kicauan burung jantan yang menggoda betina adalah orkestra merdu yang kita inginkan. Bukan guncangan volume dan bas dari sound system yang memutar lagu-lagu yang tak relevan.
Menghabiskan waktu akhir pekan di Curug Tilu Leuwi Opat bukan sebatas perjalanan fisik, melainkan juga soal petualangan batin. Perihal sabar menerobos kerumunan, tentang kecewa dan kagum yang bercampur aduk dalam satu waktu secara bersamaan. Tentang bagaimana alam bisa menyapa lewat percikan air, yang sekaligus mengingatkan kita melalui tumpukan sampah yang berserakan dan jalur bebatuan yang tak selalu ramah untuk ditapaki.
Mengakhiri perjalanan, jika destinasi ini menjadi tujuanmu nanti, maka datanglah di hari biasa. Bawa serta botol minuman sendiri, jangan tinggalkan apa pun selain kenangan. Dan terpenting, bawa pulang rasa syukur dari jeda yang telah kamu habiskan. Dan mungkin saja, di tengah riuh sungai dan ingar-bingar manusia, kita dapat memahami suatu pelajaran yang berharga: tetap tenang di tengah keramaian, diam dan dengarkan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.