Tiba-tiba nafsu menulis saya hilang. Sebabnya mungkin hiruk pikuk perkotaan yang membuat saya terjangkit stres di hari-hari weekdays; atau Indonesia yang belakangan ini sedang berduka; atau Yogyakarta yang akhir-akhir ini sedang dirundung panas yang bikin tubuh cepat terkena dehidrasi. Entahlah. Yang jelas rasa tidak nyaman itu membuat saya teringat pada satu tempat di wilayah Kaliurang, Yogyakarta, yakni Omah Petroek.
Ditemani suami tercinta, siang hari itu saya berangkat ke Omah Petroek. Bagi saya itu adalah pengalaman pertama. Namun, bagi suami saya itu kunjungan entah keberapa. Dari tempat tinggal kami, perjalanan ke Omah Petroek tak perlu waktu lama, hanya setengah jam.
Setiba di halaman depan Omah Petroek, udara segar dari tanaman bambu yang besar-besar masuk lewat hidung ke paru-paru saya. Hilang sudah panas dan stres yang menumpuk—yang terkadang menjelma sumpah serapah.
Selain udara segar, kawasan Omah Petroek juga sarat patung.
Di ujung pintu masuk, sebuah patung besar sedang duduk melamun. Lumayan lucu patung itu. Kepalanya botak tapi ada jambul di ujung dahi. Ia bersarung dan duduk berpangku tangan. Lebih jauh masuk, ada patung dua cabe merah berselimut akar yang sekilas tampak seperti monster-kaki-cabe. Di sebelahnya ada papan bertuliskan: “Kita sudah berteman sejak lama.” Saat melangkah menuju pintu utama Omah Petroek, saya disambut patung Bung Hatta dan patung kerbau yang terbuat dari besi berkarat.
Lalu, saya memapas plang salam selamat datang berupa pantun dalam bahasa Jawa: “Wedang uwuh gula jawa/Sugeng rawuh atur kawula.” Kalimat bersahabat itu akan membuat siapa pun merasa dihormati.
Di halaman tengah ada bangunan bergaya Jawa tradisional, lima patung ayam yang tidak terlalu konvensional (ayam-ayam yang sedang makan apel, bermain apel, memakai headset, dll.), “Art Sop” Meneer Petroek (galeri benda-benda budaya dan buku-buku Sindhunata), juga angkringan.
Semakin ke belakang, nuansa Jawa semakin kental. Saya tiba di sebuah joglo dengan dua patung pengawal keraton. Di samping kanan joglo itu ada banyak patung yang bercerita soal tradisi-tradisi Jawa. Salah satu yang menarik bagi saya adalah patung sekelompok laki-laki berkostum beskap yang sedang bercengkerama, lengkap dengan ambeng dan tumpeng.
Rasa ingin tahu membuat saya melangkah terus ke belakang. Ternyata ada klenteng, patung-patung naga, dan Dewi Kwan Im. Ada pula patung Buddha yang diposisikan dekat sekali kolam berwarna biru, cocok sekali dijadikan tempat meditasi. Di samping kanannya ada kapel dengan patung Kristus dan Bunda Maria. Pura bagi umat Hindu juga ada, begitu pula langgar untuk umat Islam (lengkap dengan patung Gus Dur bersayap).
Lalu saya berhenti melangkah, sebab perhatian saya tertuju pada patung seorang ibu, Mbok Turah. Patung itu, bersama patung bayi dalam keranjang, diletakkan di gazebo kecil. Meskipun sederhana, patung itu sarat makna. Patung Mbok Turah seakan-akan berusaha menyampaikan pada sesiapa betapa tanpa-pamrihnya limpahan kasih sayang seorang ibu.
Ketika sedang terpana melihat Mbok Turah, angin sejuk yang berembus dari tanaman bambu tiba-tiba menyapu saya. Tiba-tiba pula saya sadar bahwa cahaya mentari sudah lindap. Enggan rasanya untuk pergi dari tempat yang rindang dan menenangkan ini. Tapi, karena hari sudah senja, saya mesti ikhlas menyudahi petualangan di Omah Petroek.
Omah Petroek
Pakem, Wonorejo, Harjobinangun, Sleman, DIY
facebook.com/omahpetroek/
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Peneliti dan praktisi pemberdayaan masyarakat.