Siapa sangka, jalan kaki mengikuti rute-rute yang rutin dilalui tiap harinya dengan kendaraan bisa menjadi pengalaman yang sangat berbeda. Seperti hari Minggu beberapa waktu lalu, saat saya mengikuti aktivitas jalan pagi bersama Teman Jalan Makassar (@temanjalan.mks). Kami melintasi jalanan sekitar Karebosi Link sampai ke Jalan Sulawesi, lalu kembali melewati pasar-pasar tradisional yang berusia belasan tahun lebih. Semua dimulai dari gerakan Teman Jalan Makassar, gerakan yang mempertemukan sejumlah orang untuk menghabiskan pagi berjalan-jalan bersama, mengikuti rute dengan sejarah Kota Makassar yang ditawarkannya. Saya cukup beruntung lulus sebagai salah satu peserta Teman Jalan, sebab konon katanya cukup sulit untuk lulus pada percobaan pertama. 

Berdasarkan jadwal yang dibagikan via Instagram, kami harus berkumpul sebelum pukul enam pagi di dekat Indomaret Jl. Ahmad Yani, Makassar. Waktu itu langit masih cukup gelap. Sekitar setengah jam sebelum waktu yang ditentukan, saya berangkat dari rumah dengan jarak tempuh sekitar 20 menitan. Saat tiba dan memarkirkan kendaraan di lokasi titik kumpul, saya melihat beberapa orang telah hadir. Salah seorang lalu memberi tiap orang yang baru datang—termasuk saya—sebuah zine dari Teman Jalan Makassar edisi kali ini. 

Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar
Zine dari Teman Jalan Makassar yang memuat foto, rute, dan informasi sejarah/Nawa Jamil

Zine-nya cukup sederhana, dengan desain yang unik dan tentunya informatif. Zine ini menyajikan beragam informasi, seperti rute jalan kali ini, informasi titik-titik yang akan kami singgahi, serta satu halaman berisi permainan bingo, dengan hadiah bagi lima orang tercepat yang berhasil menyelesaikannya. 

Saat mulai berjalan, saya langsung mendekati seorang perempuan yang tampak sendiri, seperti diriku. Kami berkenalan. Namanya Yuni, seorang pekerja swasta yang tinggal tidak jauh dari Jalan Sulawesi.

Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar
Tampak gerbang makam Pangeran Diponegoro/Nawa Jamil

Dari Pasar Sentral ke Makam Pangeran Diponegoro

Pemberhentian pertama kami berada di sekitar Pasar Sentral. Tidak banyak sejarah yang diceritakan di sini, kecuali bagaimana jalan-jalan sekitar pasar begitu ruwet dan membingungkan. Belum lagi begitu banyak polisi yang siap menilang jika ada pengendara yang salah jalan. 

Selanjutnya kami meneruskan jalan ke arah utara, menuju makam Pangeran Diponegoro. Awalnya saya sama bingungnya dengan orang awam lain, bagaimana makam seorang pahlawan nasional yang lahir, besar, dan berperang di Jawa dimakamkan di tanah Sulawesi. Sejarah memang menyenangkan. Selagi melihat langsung bangunan-bangunannya, kami juga mendengarkan cerita-cerita menarik. 

“Ada perjalanan panjang yang dilalui oleh Pangeran Diponegoro hingga dimakamkan di kota ini. Dulu saat zaman penjajahan Belanda, ia diasingkan setelah pertarungan sengit yang berlangsung sampai 1830. Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, lalu ke Makassar setelahnya di tahun 1833. Ia menetap di Makassar, tepatnya di Benteng Fort Rotterdam sampai akhir hayatnya di tahun 1855,” jelas pemandu.

Kaki kami kembali melangkah, kemudian berhenti beberapa kali pada titik-titik jalan dengan bangunan bersejarah sepanjang rute makam Pangeran Diponegoro—Pasar Butung. Kami mengunjungi sejumlah lorong tersembunyi, melihat arsitektur pecinan yang begitu kental, serta bagaimana bangunan-bangunan itu tampak tua, tetapi kokoh. Cat dinding yang mengelupas, besi rumah yang teroksidasi, berkarat, dan menguning. Satu hal yang kuperhatikan dari ruko-ruko lama di pecinan, yakni mereka memasang teralis besi rapat dan memenuhi balkon lantai dua, sehingga siapa pun yang melihatnya akan langsung teringat kembali ke masa kerusuhan 1997.

Sejarah di Masjid Tua

Saat rute dari Pasar Sentral Ke Butung, kami sempat berbelok ke arah sebuah masjid tua dua tingkat berwarna putih. Masjid ini cukup besar dengan kubah setengah lingkaran sempurna. Kami masuk lewat pintu belakang. Ada pagar tembok tebal dengan lubang pendek hanya sekitar satu meter sehingga kami melewatinya dengan menunduk. Setelah itu, kami lalu berjalan keluar area masjid.

Saya menemukan satu keunikan di sini. Terdapat sebuah rumah yang cukup mewah dibangun di dekat menara masjid, sehingga lingkungan masjid menjadi sangat samar. Halaman rumah ibadah ini juga ditempati beragam aktivitas umum, terlihat dari benda-benda yang tertinggal di sana. Saya membayangkan halaman masjid ini kerap digunakan berkumpul saat sore, misal anak-anak bermain dan para ibu rumah tangga bersosialisasi. 

Dari masjid, kami memasuki satu lorong yang seolah meneriakkan “sejarah”. Lorong ini cukup kecil, tidak akan muat mobil. Diapit bangunan-bangunan tinggi membuat lorong ini sejuk dan dingin. Di ujung lorong, tampak tiga orang pria tua duduk bercengkerama akrab. Dari senyum dan keramahannya, tampaknya mereka telah terbiasa dengan kehadiran Teman Jalan Makassar.

Pemandu memberi penjelasan, “Bangunan-bangunan ini cukup unik di masa lalu. Dulu saat orang-orang datang dan menetap, mereka menyekat satu bangunan rumah persegi panjang ini ke dalam beberapa sekat yang diisi oleh tiap-tiap keluarga. Jadi, sebenarnya mereka tidak membangun masing-masing, melainkan satu bangunan besar yang disekat.”

Salah seorang peserta lalu bertanya, “Jadi, mereka yang tinggal dalam satu bangunan itu keluarga, kak?”

“Belum tentu juga, tetapi yang pasti mereka ini merupakan komunitas yang hidup dan resilient bersama. Sebagian mungkin masih dalam satu garis keturunan, tetapi beberapa juga tidak.”

Kembali ke Karebosi

Setelah dari Pasar Butung, kami lalu meneruskan perjalanan ke arah Selatan. Jalan pulang ke titik awal kami di Lapangan Karebosi. Kami berhenti di sejumlah bangunan tua terbengkalai. Bangunan-bangunan ini begitu jaya pada masanya, seperti satu bangunan yang dulu difungsikan sebagai kampus, tetapi kini setengah rata dengan tanah. Satu lagi bangunan dengan arsitektur atap yang unik, konon dulunya merupakan gedung kesenian atau teater. Bangunan lain yang kami singgahi adalah sebuah bangunan panjang dengan rerumputan tinggi. Sebuah plang musik masih cukup terbaca dan terpasang di depan pintu masuknya. Kak Yuni, salah seorang peserta kemudian berceletuk. 

“Dulu saya pernah les piano di sini,” ungkapnya.  

Sepanjang Jalan Sulawesi merupakan jalanan yang paling kusuka, selain pengalaman memasuki Pasar Bacan dan melihat-lihat penganan olahan babi dan babi-babi mentah. Di Jalan Sulawesi, kami saling bertukar informasi makanan enak yang harus dicicipi turis yang berkunjung ke Makassar, seperti Ayam Goreng Sulawesi, Sop Saudara, ataupun nasi goreng nonhalal yang konon paling enak di sekitar situ. 

Saya tidak pernah membayangkan jalan pagi sejauh tujuh kilometer, menyusuri jalan-jalan yang biasanya sibuk, bisa menjadi sebuah pengalaman menyenangkan. Apalagi bersama orang-orang yang asyik. Dan juga Kak Yuli, telah memberikan banyak informasi tentang bangunan-bangunan, yang kerap luput dari orang-orang kota yang serba cepat.  

Ternyata, jalan kaki membuat kita melihat semuanya lebih detail. Mempertanyakan satu-dua hal yang biasanya luput. Sebuah pengalaman jalan yang tidak biasa, tetapi tentu saja menyenangkan!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar