Otak saya berputar ratusan kali sebelum menerima tawaran untuk berjalan kaki menyusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Iming-iming menemukan suasana berbeda di Kepulauan Togean membuat saya akhirnya menganggukkan kepala dan berjalan menyusuri desa di bawah teriknya matahari.
Saya kemudian teringat perjalanan saya tahun lalu ke Pulau Weh, lalu perjalanan-perjalanan lain ke pulau-pulau yang juga lain. Rasa-rasanya tidak ada hal yang membedakan pulau ini dengan pulau-pulau lain yang pernah saya singgahi. Semuanya cuma gundukan tanah yang dikepung lautan. Tapi, setelah hari kedua biasanya saya menemukan sesuatu yang berbeda, yaitu keramahan penduduk sekitar pada wisatawan yang datang sehingga saya merasa seperti berada di kampung halaman. Setiap orang saling menyapa, bahkan menawarkan rumah mereka untuk disinggahi, meskipun saya yakin bahwa di sana belum tentu ada yang bisa saya cicipi. Itulah yang membedakan satu daerah dengan daerah lain—bentuk keramahannya.
Jalan kaki lintas pulau
“OK. Let’s go!” sahut saya sembari menyiapkan bekal minum dan mengambil topi karena konon perjalanan kami menyusuri kampung hingga ke Pulau Papan akan memakan waktu kurang lebih satu jam. Belum lagi saya dan kawan-kawan harus naik kapal ke Pulau Kadoda sekitar setengah jam dari penginapan di Pulau Ketupat.
Setelah mendengar deru kapal selama tiga pulu menit, kami pun tiba. Melompat dari kapal, rombongan kami disambut permukiman dengan rumput hijau yang membentang di halaman depan rumah-rumahnya. Beberapa orang warga terlihat leyeh-leyeh di terasnya. Tidak sedikit pula yang justru mendatangi kami sembari melemparkan senyum lebarnya.
Melihat nuansa pulau yang hijau, saya memperlambat laju kaki untuk mengamati setiap hal unik yang saya temui. Itu contohnya: sebuah sumur berukuran kecil yang ternyata adalah salah satu dari dua sumber air yang cuma tersedia di pulau ini. Seluruh masyarakat Pulau Kadoda dan Pulau Papan mengandalkan mata air yang menurut saya lebih mirip kubangan bekas air hujan daripada sumber kehidupan; airnya berwarna coklat. Pinggiran sumur ini pun dibiarkan sekenanya dan tak ditata supaya jadi lebih menarik. Sungguh ironis menyaksikan kampung yang asri lagi apik seperti ini punya sumber air tawar yang tampak terbengkalai.
Tak jauh dari mata air, sebuah jembatan kayu sepanjang kurang lebih 900 meter mengantarkan kami menuju Pulau Papan. Jalurnya berkelok, barangkali karena menyesuaikan dengan batimetri. Di sebelah kanannya tampak beberapa tiang kayu menjulang, yang ternyata adalah sisa-sisa jembatan yang dibangun masyarakat sebelum akhirnya pemerintah datang dan mendirikan jembatan yang lebih kokoh.
Kampung terapung
Siang itu, usai menyusuri jembatan yang membelah lautan, kami tiba di sebuah kampung terapung di tengah samudra. Rumah-rumah pertama yang kami temui terlihat tak setegap jembatan tadi. “Mungkin kalau badai datang, orang-orang lebih memilih berkumpul di jembatan daripada berlindung di pondok mereka,” pikir saya. Benar saja, rupanya fondasi rumah mereka tak sampai satu meter ke dalam. Sangat mungkin untuk tumbang dikalahkan amukan laut lepas atau ditaklukkan faktor “U” alias usia.
Pulau Papan tak seberapa besar. Bahkan saya bisa melihat ujung pulau dengan cukup jelas. Sebuah bukit tak seberapa tinggi berdiri di tengah laut. Mereka menyebutnya sebagai Puncak Batu Karang. Bisa jadi dari situlah orang-orang mulai membangun perkampungan. Semakin menjauh dari bukit, semakin anyar bangunan itu berdiri—atau sebaliknya, mengingat sejarah peradaban suku Bajo yang pernah tinggal di atas kapal.
Meskipun sebagian besar bangunan-bangunan ini terbuat dari papan tua, beberapa tampak lebih modern. Genteng plastik, pintu dan jendela penuh ukiran, serta sebagian dinding yang berbahan batu bata membuat suasana Pulau Papan menjadi berbeda dibanding Kampung Bajo kebanyakan. Jumlahnya memang tak seberapa, tapi sangat menonjol karena berbeda. Parabola berukuran raksasa juga menghiasi bagian depan rumah-rumah bergaya kekinian itu.
“Dulu sebelum ada jembatan ini, anak-anak [kalau] mau sekolah harus berenang dulu ke pulau sebelah,” jelas Pak Amin, penduduk Pulau Papan yang kami temui. “Di sini ada sekolah buat kelas 1 sampai 3. Nah kelas 4 sampai 6 adanya di Kadoda. Jadi gantian, yang masih kelas 1 sampai kelas 3, anak-anak dari Kadoda harus berenang ke sini,” tambahnya. Kalau saja tidak ada motor yang memotong obrolan kami, mungkin saya masih membayangkan anak-anak berumur 8 tahun berenang menyeberang pulau sejauh ratusan meter.
Melihat Indonesia tidak dari linimasa
Lalu saya mengamati sekitar. Sebuah sore yang ramai di kampung yang kecil. Orang-orang berkumpul di halaman depan rumah salah satu warga, bersembunyi dari pendarnya matahari yang menyengat. Pak Amin masih saja mengoceh tentang sejarah Pulau Papan, sembari sesekali melemparkan kekecewaannya kepada pemerintah yang berencana menggusur warga pulau karena dianggap mencemarkan lingkungan.
“Lalu buat apa dibangun jembatan sepanjang ini kalau akhirnya digusur juga orang-orangnya?” timpal Bobby, salah seorang kawan seperjalanan saya. “Kalau emang mau digusur, mending gak usah dibangun sekalian jembatannya. Mending anggarannya dibuat untuk bikin keramba atau sekolah di Kadoda,” ujarnya berapi-api. Kesal sekali sepertinya dia.
Bobby semakin antusias mendengar cerita lain dari Pak Amin. Ia bahkan mengabaikan saya dan kawan-kawan lain yang lebih memilih berkeliling pulau untuk mengambil gambar. Menjelang gelap, kapal kecil kami telah menunggu. Ia siap mengantarkan kami pulang dan mengakhiri perjalanan hari ini. Tiba-tiba saya teringat pada kata-kata bijak populernya Lao Tzu: “A Journey of a thousand miles begins with a single step.” Barangkali benar. Jika saya tidak mengayunkan langkah pertama dari tempat tidur pagi ini, saya tak akan bertemu dengan orang-orang ramah pulau Kadoda, sumber mata air yang lebih mirip disebut kubangan, atau “mantan” orang-orang laut di Pulau Kadoda dan Pulau Papan yang tak menyerah pada kehidupan. Saya bersyukur bahwa hari itu saya bisa melihat dan merasakan langsung suasana Pulau Kadoda dan Pulau Papan, bukan dari membaca linimasa.
6 komentar
kusuka
kusuka
kereennn!!! kapan ya bisa kesana ?
Kalau ke sana ditunggu catpernya ya, Kaka.. 🙂
kereennn!!! kapan ya bisa kesana ?
Kalau ke sana ditunggu catpernya ya, Kaka.. 🙂