Walaupun sekuat tenaga tangan ini menarik, kernmantle statis berdiameter 8 mm itu nyaris tak bergeming. Saya kembali mencoba menarik tali itu agar bisa lepas dan terurai dari simpulnya. Sepertinya ada yang menyangkut. Saya pun memanjat dinding air terjun kali pancur setinggi 25 meter untuk melepaskan tali yang sengkarut. Benar saja. Sesampai di puncak air terjun, saya menemukan bahwa simpul tali tersangkut di celah batu. Baru saja hendak melepas simpul tersebut, tiba-tiba dua teman saya menyusul di belakang.
“Kalian mengapa menyusul?” tanya saya. “Kami pengen turun sekali lagi,“ jawab mereka serempak. Canyoning ternyata membuat kedua teman yang baru pertama kali saya ajak itu tuman alias ketagihan.
Semalam hujan mengguyur badan Gunung Telomoyo dengan lebatnya. Prediksi saya debit sungai-sungai di kaki Telomoyo akan membesar, dan pasti alirannya juga akan deras. Debit dan aliran sungai penting sekali artinya ketika kamu melakukan canyoning, yakni aktivitas alam-bebas menyusuri aliran sungai.
Jika dihitung-hitung barangkali sudah lima kali saya menyusur Kali Pancur. Namun tiap kali menyusurinya saya selalu mendapatkan nuansa yang berbeda—itulah yang menjadi alasan mengapa saya terus kembali menikmati tiap lekuk alirannya. Bertiga kami menuruni ratusan anak tangga dari gerbang Kali Pancur menuju air terjun. Karcis masuk Kali Pancur terbilang sangat murah, hanya Rp2.000.
Dinding sebelah kiri jalur longsor di beberapa titik. Sepertinya efek hujan deras beberapa waktu yang lalu. Apalagi lereng di sana hanya ditumbuhi oleh rumput gajah tanpa perakaran tanaman keras yang mempu menahan laju erosi.
Wetsuit, pakaian ketat yang mampu menjaga suhu tubuh, segera saya kenakan. Penggiat canyoning yang sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam air, bahkan sampai berjam-jam, sangat rentan terkena serangan hipotermia atau kehilangan panas tubuh. Pemakaian wetsuit sangat disarankan agar suhu tubuh tetap hangat. Perlengkapan wajib selanjutnya adalah seat harness yang berguna untuk mengamankan tubuh ketika menuruni air terjun. Perlengakan terakhir adalah helm dan perlatan panjat tebing berupa descender, ascender, beberapa cincin kait, dan tali kernmantle.
Hingga saat ini canyoning belum begitu populer di kalangan masyarakat. Medan yang menantang terkadang menjadi hambatan, begitu pula dengan peralatan yang bisa dibilang cukup mahal. Selain itu, seorang penggiat canyoning harus memiliki kondisi fisik yang baik, menguasai seluk-beluk tali temali dan bisa panjat tebing. Dalam satu rombongan, tidak semua orang harus memiliki kemampuan-kemampuan tersebut. Setidaknya leader yang memimpin di depan dan salah satu di antara mereka yang berada di tengah dan belakang mesti menguasai materi canyoning agar dapat membantu teman-teman yang belum menguasai teknik penelusuran sungai.
Perlahan kaki ini masuk dalam aliran air sungai berwarna coklat tanah. Sepertinya di hulu hujan lebat sedang turun dan mengikis tanah, melarutkan material-material berwarna coklat dalam air. Agak risih rasanya masuk dalam aliran sungai berwarna coklat. Namun di beberapa aliran air coklat tersebut sudah berubah bening ditapis material-material alami.
Untuk melintasi Kali Pancur sekurang-kurangnya kamu akan melewati lima air terjun dengan ketinggian bervariasi. Ada dua yang tingginya 5 meter, satu yang tingginya 15 meter, dan sepasang lagi dengan ketinggian lebih ekstrem—25 meter. Menuruni air terjuan sangat menantang sebab selain hambatan berupa ketinggian ada hambatan lain yakni batu yang licin dan aliran sungai yang kencang. Setelah memasuki aliran air, bisa saja napasmu terasa sesak dan susah ditarik, seperti tenggelam dalam air. Antisipasinya adalah dengan berdiri membentuk sudut 45 derajat dengan tebing agar kepala keluar dari aliran air dan kaki masih berpijak pada dinding air terjun.
Awalnya cukup sulit mengajari dua teman yang baru pertama kali menikmati kegiatan ini. Namun, setelah dua kali menuruni air terjun mereka sudah lancar rappelling dengan berbagai hambatan. Mereka begitu menikmatinya sampai-sampai, demi memanjat sebuah air terjun kedua kalinya, mereka ingin memanjat dinding air terjun. Sebuah tindakan yang berbahaya jika dilakukan hanya untuk menuntaskan rasa penasaran.
Semakin deras aliran sungai, semakin deras pula kerja pompa adrenalin. Namun penelusuran masih akan berlangsung selama beberapa jam lagi, sementara tubuh-tubuh kami mulai menggigil. Seperangkat alat masak kami keluarkan. Sebentar kemudian air mulai mendidih. Di bawah air terjun, kami bertiga yang menikmati teh tarik panas ditemani debur suara air terjun yang menghempas karena gravitasi. Kami sangat beruntung karena sungai mengizinkan kami bertiga untuk menjadi tamu istimewanya.
Setelah makan, badan kembali hangat dan rasa lelah hilang sudah. Saatnya kembali mengeluarkan adrenalin menyusuri dua air terjun ekstrem pamungkas. Air terjun yang pertama tampak biasa karena hanya berupa aliran saja. Namun yang kedua beraliran deras dan di dalamnya terdapat rongga. Sebuah pohon aren atau enau kami jadikan tambatan untuk tali kami sebagai anchor emas sebab di sana tidak ada lagi yang bisa dijadikan tambatan.
Paling depan, saya perlahan-lahan turun sambil memeriksa keamanan jalur. Inilah adalah jeram yang paling saya takuti. Alirannya cukup deras sehingga kadang susah untuk bernapas. Kepala terasa sedang dihajar manakala helm ini dihujani oleh aliran air terjun. Sebuah tebing berbentuk teras langsung membentuk posisi yang overhanging atau menggangung. Kali ini tidak ada pegangan kecuali seutas tali. Setelah mengambil napas dalam-dalam, saya turun pelan. Tak berapa lama saya kembali bernapas dengan leluasa.
Usai menikmati lorong air terjun kamu harus segera menepi jika tidak ingin terjebak dalam jeram air dalam yang pusarannya mirip mesin cuci. Saya sempat hampir terjebak di dalam pusaran itu. Untung saja wetsuit membuat saya kembali mengapung ke permukaan. Sepertinya lain kali kami harus mengenakan pelampung. Perlahan-lahan teman-teman saya menyusul dan merasakan sensasi yang sama seperti saya—mungkin mereka lebih antusias karena baru pertama kali.
Penelusuran sebentar lagi berakhir. Sebuah dinding di kiri sungai menghujani kami dengan tetesan air mirip butiran hujan. Dinding berwarna hijau karena ditumbuhi rerumputan perintis seperti hutan vertikal dengan hujan yang lebat. Dari ketinggian 25 meter, air yang turun deras berubah menjadi butiran-butiran sebelum akhirnya menghempas. Kami seperti berdiri di bawah teras rumah saat hujan lebat. Tak terbayangkan bagaimana dahsyatnya peristiwa geologis yang teleh membentuk morfologi sungai ini.
Ketika aliran sungai sudah berubah pelan dan tak ada lagi jeram, kami menepi. Kembali seperangkat dapur perjalanan kami keluarkan untuk membuat mie instan demi menambah tenaga sebelum melanjutkan perjalanan menuju ujung desa yang masih membutuhkan 1,5 jam perjalanan. Usai berganti pakaian kering, kami melangkahkan kaki menyusuri hutan dan sawah milik penduduk hingga menjumpai perkampungan. Akhirnya kami tiba di jalan raya. Saatnya pulang. “Kapan kita canyoning lagi?” Di atas angkutan umum yang sesak, salah seorang teman bertanya. “Ealah, tuman,” jawab saya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
I'm a Biologist who is trapped in photography world, adventure, and journalism but I enjoy it..!