Perjalanan kami berlanjut di Kota Surakarta. Tepat pukul 07.55 WIB, kami menelusuri delapan titik di jantung kota, tepatnya di ruas Jalan Slamet Riyadi. Semua lokasi yang kami datangi memiliki hubungan dengan Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, sang tuan tanah asal Ampel, Boyolali.
Meski tidak secara langsung, J. A. Dezentje banyak berkontribusi dalam perkembangan Surakarta. Namun, sayang tidak semua warga dan pemerintah kota mengetahui. Hal ini dapat dimaklumi, tetapi bisa berakibat fatal jika tidak paham dan sok-sokan bercerita. Lebih lagi jika anak serta keturunannya masih hidup dan mendengar cerita yang jauh berbeda dari faktanya.
Selama perjalanan dari hotel menuju tujuan pertama, Floris bercerita sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya. Ia mengaku jika tujuannya menelusuri jejak keluarga Dezentje, D’Abo, dan Dirjkhuis adalah untuk melanjutkan silsilah keluarga yang terputus. Harapannya, setelah ia wafat nanti anak-anaknya mau melanjutkan penelusuran dan merekam semua yang ditemukan. Bersama sang paman, Floris mengawali niat baik menelusuri jejak ketiga leluhurnya di Jawa Tengah. Ia juga menambahkan, akan secara periodik menyambangi Jawa Tengah dan melacak jejak bersama kami.
Eksistensi Masa Lalu Keluarga Dezentje di Surakarta
Lalu lintas Jalan Slamet Riyadi cukup ramai di pagi itu. Pelan-pelan kami menyeberang jalan untuk menyambangi salah satu kediaman Dezentje. Kini menjadi rumah dinas wali kota Surakarta atau Loji Gandrung. Setelah mendapat izin pihak rumah tangga wali kota, kami manfaatkan waktu mengabadikan kediaman hingga bagian dalam.
Floris tak henti takjub dan tertegun melihat keindahan detail ornamen yang ada. Merujuk catatan keluarga yang ia miliki, Loji Gandrung awalnya didirikan sebagai hunian perempuan Belanda bernama Dorothea Boode, istri pertama Dezentje.
Tidak tercatat pasti sejak kapan rumah tersebut dibangun. Ada dugaan pembangunannya awal tahun 1800, lalu direnovasi seperti ini oleh Ir. Charles Prosper Wolf Schoemaker tahun 1910. Dezentje dan Dorothea memiliki sedikitnya tujuh anak. Tak ayal, mereka menempati kediaman ini untuk keluarga besar.
Sebagai anak laki-laki dari August Jan Caspar, seorang perwira militer pengawal pribadi keluarga raja, Dezentje cukup dekat hubungannya dengan putri keraton Kasunanan Surakarta. Tidak lama kemudian ia menjalin kasih dan menikahi putri Sunan Pakubuwana VIII, Raden Ayu (R.Ay.) Tjondrokusumo.
Pernikahan keduanya digelar mewah di keraton. Tamu dari Eropa dan kerajaan lain datang silih berganti. Sebagai hadiah pernikahan, sunan memberikan tanah kerajaan di Ampel untuk tempat tinggal sang putri dan Dezentje.
Dezentje dan R.Ay. Tjondrokusumo tidak menyia-nyiakan kesempatan dan memutuskan tinggal bersama di Ampel, serta menempatkan Dorothea di Loji Gandrung. Mereka tidak bercerai, justru menjalin hubungan yang harmonis. Jika Dorothea ingin anjangsana ke Ampel diterima hangat oleh Dezentje dan sang istri. Begitu juga sebaliknya.
Bahkan menjelang akhir hayat Dorothea, mereka setia menemani di Loji Gandrung. Dorothea wafat di rumah ini dan dimakamkan di Europeesche Graafplaats atau kompleks makam Eropa (Belanda) di Sangkrah.
Iring-iringan pelayat dan karangan bunga memenuhi kediamannya. Simbol bahwa ia sangat dihormati dan disegani. Pascapemakaman, tercatat Loji Gandrung dihuni anak-anak hingga tahun 1942. Setelahnya mereka hidup berbeda negara, beberapa di antaranya kembali ke Belanda.
Menuju Ndalem Doyoatmojo dan Museum Radya Pustaka
Kami melanjutkan penelusuran di lokasi kedua, yakni Ndalem Doyoatmojo di timur Loji Gandrung. “Oh, Tuhan. Ini indah dan mewah sekali. Di Belanda dan Singapura tidak ada seperti ini,” seru Floris sambil bercanda.
Menurut cerita pemilik saat ini, Ndalem Doyoatmojo didirikan sekitar tahun 1880. Penamaan Doyoatmojo diambil dari nama keluarga besar Doyoatmojo yang notabene pengusaha jarik batik tulis Tiga Negeri.
Hanya saja, Ndalem Doyoatmojo di abad ke-19 sempat berpindah tangan ke keluarga pengusaha Tionghoa, Kwik Djin Gwan. Sebagai kediaman Tionghoa, lazim ada altar leluhur. Kediaman ini pun masih menyimpan altar leluhur Kwik hingga saat ini, meski hanya altar gaya oriental tanpa papan arwah atau foto keluarga.
Ndalem Doyoatmojo digunakan Kwik Djin Gwan cukup lama. Setelah Kwik wafat, barulah terbengkalai hingga kemudian menjadi kantor Kodim Kota Surakarta. Sempat beralih kepemilikan ke Setiawan Djody, sekarang kembali menjadi milik keluarga besar di bawah nama Nur Doyoatmojo.
“Saya tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata betapa mewah dan penuh cerita rumah ini,” ujar Floris.
Puas mengabadikan keindahan Ndalem Doyoatmojo, kami berjalan kaki menuju museum tertua di Indonesia, Radya Pustaka. Menyadur informasi dari perpustakaan Radya Pustaka, diketahui jika bangunan ini pertama kali didirikan pada 28 Oktober 1890 di kompleks Kepatihan Surakarta (kini hilang) oleh Patih Sosrodiningrat IV dan Sunan Pakubuwana IX.
Gedung museum saat ini sejatinya merupakan tempat tinggal Kapten Infanteri KNIL Johannes Busselaar dan sang istri, Maria Louise don Griot. Patih Sosrodiningrat IV awalnya membeli rumah tersebut atas perintah Sunan Pakubuwana IX, bertepatan dengan pindah tugasnya Johannes Busselaar ke Jember.
Tahun 1909 menjadi titik balik berdirinya Radya Pustaka di Sriwedari saat ini. Radya Pustaka pun berkembang sebagai pusat pengumpulan naskah kuno, arca Hindu-Buddha, hingga peninggalan Kasunanan Surakarta.
“Kemarin kita membicarakan Francois Deux di Ampel yang memiliki hubungan dengan Napoleon Bonaparte. Lihatlah porselen cendera mata dari Napoleon Bonaparte untuk Sunan Pakubuwana IX ini,” ungkap saya.
Jelas bahwa keluarga Dezentje dan R.Ay. Tjondrokusumo memiliki kekerabatan erat dengan penguasa Prancis tersebut. Beranjak semakin ke dalam, bertemulah dengan satu patung setengah badan dari Johannes Albertus (J. A.) Wilkens, penerjemah kepercayaan Raden Ngabehi Ronggowarsito di Surakarta.
Makam J. A. Wilkens ada di Jebres. Namun, sayang pada 1960 hingga 1970 seluruh kompleks makam dibongkar. Salah satu yang terselamatkan makam J. A. Wilkens. Patung setengah badan dan epitaf nisan sejatinya replika dari monumen makam. Tidak diketahui bagaimana nasib makam lainnya.
Dari Keraton Kasunanan Surakarta ke Kampung Eropa
Puas di Radya Pustaka, perjalanan kami berlanjut ke keraton Kasunanan Surakarta. Kali ini kami dipandu abdi dalem untuk dapat menikmati halaman bagian dalam. Setelah berkeliling dan mendapat banyak cerita masa lalu keraton, tiba-tiba saya terpikirkan untuk kembali menyambangi pendhapa (pendapa) bersama Floris.
Kami segera beranjak menuju halaman dalam untuk menikmati keindahan pendapa dan panggung sanggabuwana. Tidak lama kemudian, kami keluar untuk memotret kondisi keraton saat ini dan melanjutkan perjalanan menuju bekas Verzorgingsgesticht atau sekolah dasar untuk anak pekerja perkebunan di Surakarta. Mereka tinggal di sini dengan fasilitas cukup lengkap. Dana didapat melalui lelang dan sumbangan sukarelawan pemilik perkebunan.
“Oh, ya. Verzorgingsgesticht didirikan J. A. Dezentje, namun atas nama sang istri, Dororthea Boode,” jelas Floris.
Puas memotret sembari menikmati es krim gelato, langkah kaki kami beranjak menuju ke Gereja Sangkrah, bekas Europeesche Graafplaats Sangkrah. Salah satu keluarga Belanda yang dimakamkan di sini adalah Dorothea dan kedua orang tuanya. Kini, keberadaan makam Belanda di Sangkrah hilang, tanpa menyisakan satu pun di areal halaman gereja.
Menjelang siang, kami berjalan menuju Kampung Eropa di utara Gereja Sangkrah. Floris tak berhenti kagum melihat sisa eksistensi Kampung Eropa tertua di Surakarta tersebut. Berbekal foto lama kampung ini, ia mencoba mengabadikan kondisi sesuai tempat fotografer kala itu berada. Kami juga memotret tiga gang dan rumah indis yang tersisa.
Menutup Perjalanan di Pura Mangkunegaran
Jelang senja, selepas istirahat makan siang di RM Nini Thowong dan mengunjungi kerkop Jebres—kini pasar di depan Stasiun Jebres—kami melanjutkan penelusuran di Pura Mangkunegaran.
Sampai di lokasi, kami dipandu oleh siswa magang dari sekolah pariwisata. Kami tidak keberatan, karena setiap tempat yang kami datangi memiliki aturan yang harus ditaati.
Penelusuran di dalam Pura Mangkunegaran dimulai dari halaman depan menuju pendhapa ageng dan ndalem ageng. Lalu berlanjut menuju halaman belakang, termasuk paviliun Gusti Nurul, ruang makan tamu kenegaraan, dan kembali lagi ke halaman depan. Selama penelusuran, kami mendapat banyak cerita dan ragam detail yang tidak banyak diketahui orang awam.
Floris ternyata baru kali ini menginjakan kaki di Pura Mangkunegaran. Ia mengetahui bahwa leluhurnya, R.Ay. Tjondrokusumo, memiliki kekerabatan dengan Gusti Mangkunegara IV. Ia sempat meminta saya untuk membantunya melacak hubungan silsilah antara dua keluarga tersebut, dan berjanji akan kembali untuk penelusuran bersama.
Tentu butuh waktu untuk menyelesaikan misi tersebut. Rencananya bulan September 2024 ia akan kembali bersama dengan pamannya dari Belanda. Perjalanan merangkai simpul ingatan dari keluarga Johannes Agustinus Dezentje, di Kabupaten Boyolali dan Surakarta resmi kami akhiri di Pura Mangkunegaran.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.