Mobil kami melewati jalan yang tidak begitu mulus. Tidak ada bangunan di sekelilingnya, hanya kebun teh luas sejauh mata memandang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.30 WIB, sementara udara di sekitar Pangalengan semakin dingin dan langit kian redup.
Kami memasuki area House of Bosscha yang tampak sepi di sore hari. Pos penjaga juga kosong. Hanya terdapat satu kelompok turis yang tampaknya akan pergi sebentar lagi. Perjalanan penelusuran ini saya lakukan bersama Kak Bolang, orang Makassar yang sudah setahun lebih bekerja di Bandung dan Kak Sandra, seorang teman yang kini tengah menyelesaikan tesisnya di Universitas Indonesia.
Kami memarkir kendaraan tidak jauh dari rumah utama Bosscha dan menyempatkan diri berfoto di beberapa titik, seperti papan rumah dan bagian depan rumah Bosscha. Kami sempat kesulitan mencari pintu masuk ke ruangan ini, meskipun ada banyak pintu. Sayangnya, semua yang kami coba buka terkunci semua. Untungnya seseorang dari rombongan turis tadi menyarankan untuk mencoba pintu belakang.
“Neng, kayaknya di sini semuanya terkunci. Tadi kami lewat belakang.”
“Nuhun, Kang.”
Lorong Waktu Rumah Bosscha
Melihat dari model bangunan dan suasana yang dibawa, saya bisa merasakan bahwa beberapa bangunan yang terpisah dari rumah utama jauh lebih baru. Di bagian belakang, terdapat deretan paviliun dan satu bangunan persis di sebelah pintu belakang rumah utama, yang tampaknya diisi oleh para pekerja yang mengelola tempat ini. Seorang pengelola duduk di dekat pintu masuk. Kami menyapa hangat. Usai membayar biaya kontribusi per orang, kami mulai menelusuri bagian dalam dari rumah tua ini, yang tadinya hanya bisa kami saksikan dari kaca jendela luar.
Bagian dapur rumah seolah membawaku melintasi lorong waktu. Di sini, sinar matahari masuk secara maksimal dengan interior bernuansa putih. Sebuah drinking water filter yang usianya kuyakini jauh lebih tua dariku tampak kokoh di sudut penanggah (pantry). Seorang petugas duduk di dekat pintu, mempersilakan kami mengeksplorasi bagian dalam dari rumah Bosscha. Dari dapur, pintu langsung terhubung ke ruang tengah.
Tidak banyak yang tersisa dari ruangan tersebut. Sejumlah pajangan berukuran kecil terpasang di atas sebuah perapian. Ada angklung dengan delapan tangga nada, beberapa patung wayang orang, pigura Karel Albert Rudolf (K. A. R.) Bosscha, serta miniatur makamnya. Di atas pajangan-pajangan tersebut terdapat satu lukisan cat air yang cukup besar. Visualisasi hutan dengan dominan warna hijau membuat saya bisa merasakan kekuatan lukisan ini yang mampu bertahan dalam periode waktu yang lama.
Kemudian ada pajangan-pajangan kecil di kedua sisi perapian, termasuk kaca buram dengan bentuk menyerupai jendela. Selain perapian, di ruangan tersebut juga tersimpan beberapa perabot dari kayu jati kukuh—bahkan lima pria dewasa saja saya ragukan dapat memindahkan perabotan ini—seperti piano dengan tuts kusam yang masih berfungsi, sejumlah sofa, dan sebuah lemari kayu jati (yang tampaknya) superberat hanya dari melihatnya saja.
Bergeser ke ruang tamu, terdapat banyak perabot tua, seperti sofa yang disusun mengikuti bentuk jendela besar ruang tamu, sebuah lampu gantung, beberapa meja kaca bundar dengan kaki-kaki kayu langsing, sofa malas besar, dan lampu lantai dengan desain yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tutupannya begitu besar, bermotif khas grandma core, berbahan kain berlapis tebal dengan aksen kain bulat di sekelilingnya. Satu pertanyaan langsung terlintas saat saya melihat desain lampu lantai tua itu, ”Sebanyak apa debu di benda ini?”
Secara umum, rumah Bosscha cukup terawat mempertimbangkan umurnya yang sekitar satu abad lebih. Termasuk bagian dapur yang masih aktif difungsikan oleh penjaga rumah ini. Kak Bolang dan Kak Sandra masih sibuk berfoto di beberapa sudut rumah, sementara saya memutuskan kembali ke bagian dapur, lalu duduk di salah satu kursi dekat pintu masuk. Saya duduk berseberangan dengan bapak penjaga rumah. Dari perawakannya, bapak itu sudah bekerja cukup lama. Ia juga cukup ramah menjawab beberapa pertanyaanku, termasuk kisah panjang tentang sosok Bosscha.
”Dari cerita kakek saya yang ikut langsung dengan Pak Bosscha, Bapak dahulu orang yang baik meskipun bukan orang pribumi. Saking baiknya, waktu Pak Bosscha meninggal, kepala rombongan pelayatnya sudah sampai di kuburan, ekornya masih di sini.”
Namanya Kang Asep. Obralan kami dimulai dengan menceritakan sosok Bosscha, perihal peninggalan orang Belanda yang banyak berjasa bagi masyarakat Bandung, sejarah dan deretan perubahan rumah, juga pengalaman unik selama bekerja di sini.
Rumah Bosscha mengalami beberapa kali renovasi. Salah satu yang paling diingat Kang Asep adalah peristiwa gempa Sukabumi yang terjadi pada 2009. Dari penuturan beliau, saat gempa terjadi sebagian besar paviliun baru di sekitar rumah Bosscha rusak parah, bahkan beberapa bagian dari rumah utama.
”Selama Bapak kerja di sini, rumah ini sudah beberapa kali renovasi, Teh. Rusak terparah itu sewaktu tahun 2009. Ada beberapa bagian rumah yang rusak, tapi tidak semuanya.”
Ia melanjutkan, ”Tapi dulu sewaktu 2009, seluruh paviliun, bangunan-bangunan baru yang dibangun setelah rumah ini seluruhnya rusak, Teh. Justru rumah Bosscha ini yang tidak terlalu parah rusaknya, padahal bangunan ini, Teh, dibangun tanpa semen seperti bangunan-bangunan sekarang.”
Tentang Bosscha
Ada banyak hal yang diceritakan Kang Asep, tetapi banyak hal pula yang justru membuat saya semakin penasaran dengan sosok Bosscha. Dari beberapa sumber, saya bisa merasakan sosoknya yang begitu peduli dengan kesejahteraan pribumi di Bandung, terutama orang-orang yang bekerja dengannya di Perkebunan Teh Malabar. Ia banyak berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan di tanah Bandung, sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Pada 1901 ia mendirikan sekolah dasar Vervoloog Malabar bagi anak-anak karyawan dan buruh perkebunan teh. Bosscha juga berperan penting dalam pendirian Institut Teknologi Bandung sebagai Majelis Direktur. Kontribusi yang tak kalah penting dari Bosscha adalah inisiasi pembangunan Bosscha Sterrenwacht atau sekarang dikenal dengan Observatorium Bosscha.
Ia datang ke Hindia Belanda tahun 1887. Namun, tidak langsung ke Bandung, tetapi terlebih dahulu melakukan ekspedisi pencarian emas di Sambas, Kalimantan. Sepulang dari Kalimantan, ia kemudian memulai karir sebagai pengusaha perkebunan teh pada 1896. Selama 32 tahun mengurusi perkebunan dengan banyaknya hal baik yang diberikan kepada orang-orang pribumi, ia akhirnya mengembuskan napas terakhir di rumahnya sendiri. Bosscha disemayamkan di tempat yang paling ia senangi sewaktu masih hidup, yakni di tengah-tengah kebun teh Malabar.
Terlahir di Gravenhage (Den Haag), Belanda dan meninggal sebagai seorang bujang di Bandung, ia menghibahkan perkebunan dan asetnya untuk kesejahteraan masyarakat Bandung. Dari penuturan Kang Asep, keluarga Bosscha beberapa kali berkunjung ke makam dan rumah Bosscha setahun sekali pada periode 1980-an. Namun, kini sudah tidak pernah lagi.
Sayang sekali, penelusuran jejak Bosscha kemarin tidak sampai ke Observatorium Bosscha. Fasilitas tersebut ditutup semenjak pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu, meski saat ini dibuka secara terbatas. Namun, bertandang ke makam Bosscha dan rumahnya, serta bertemu orang-orang yang tumbuh dengan cerita kebaikannya, membuat saya mengerti bagaimana ia begitu dirayakan masyarakat Bandung hingga hari ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.