Itinerary

Menelisik Sejarah di Lembah Tumpang

Lembah Tumpang merupakan tempat wisata milik pribadi yang ‘menyulap’ bekas rawa-rawa menjadi sebuah miniatur kerajaan Majapahit-Singasari; lengkap dengan kolam-kolam buatan, kolam renang, air terjun, kafe, resort, bangunan pribadi, ruangan koleksi-koleksi kuno, hingga tempat-tempat santuy yang dapat digunakan untuk bercengkrama bersama teman maupun keluarga sembari menikmati udara segar. Lokasinya berada di Desa Slamet, Kecamatan Tumpang, Malang.

Area dengan luas kurang lebih 8 hektar ini menjadi tempat yang cocok dikunjungi untuk melepas rasa lelah sebab berkelindan dengan rutinitas perkotaan. Lembah Tumpang memiliki konsep back to nature, sehingga desain tempatnya didominasi tumbuhan-tumbuhan hijau; miniatur candi beserta replika patung zaman kerajaan; dan bangunan-bangunan gaya joglo yang terbuat dari kayu.

Lembah Tumpang Malang
Lembah Tumpang/Akhmad Idris

Merindui Masa Lampau

Jajaran patung Dwarapala, replika candi tiga lantai, dan beberapa bangunan joglo mengingatkan saya pada pelajaran sejarah semasa sekolah dulu. Betapa dulu pelajaran sejarah menjadi pelajaran yang terlampau membosankan hanya gegara membicarakan masa lalu dan tak lebih dari sekadar gambar atau cerita-cerita panjang pemicu kantuk.

Namun setelah melihat secara langsung miniatur sejarah masa lalu di Lembah Tumpang ini, pandangan seperti itu ternyata salah besar. Sejarah adalah cerita menakjubkan tentang kerajaan-kerajaan besar yang sangat menarik untuk didengar ceritanya dengan hati yang berdebar. Sama menariknya dengan mendengar cerita Cinderella, Aladin, Timun Mas, legenda Suroboyo, dan lainnya.

Melihat pohon mojo di depan kafe Maheswara, mengingatkan saya pada asal muasal dari penamaan kerajaan Majapahit. Buah dengan bentuk bulat besar berwarna hijau yang memiliki rasa pahit inilah yang menjadi latar belakang penamaan Majapahit. Sebuah kerajaan besar yang berhasil menaklukkan nusantara, yang selalu disebut dalam pelajaran sejarah, namun jarang dihayati dengan saksama.

Agaknya penanaman pohon mojo di Lembah Tumpang merupakan bentuk pengingat kepada masyarakat Indonesia, bahwa negeri ini pernah memiliki kerajaan besar yang mampu menyatukan nusantara lewat janji fenomenal dari sang Maha Patihnya, Gadjah Mada.

Selain itu, keberadaan Lembah Tumpang dengan replika candinya juga menjadi penegas kepada dunia pendidikan bahwa sejarah itu indah dan menyenangkan. Sejarah belum terasa indah karena belum dilihat secara langsung oleh mata dan belum menyenangkan karena kunjungan ke tempat-tempat bersejarah hanya dilakukan sebatas liburan akhir semester, tidak menjadi kunjungan lapangan dalam mata pelajaran.

  • Lembah Tumpang Malang
  • Lembah Tumpang Malang
  • Lembah Tumpang Malang
  • Lembah Tumpang Malang

Menikmati alam, meskipun “buatan”

Setelah merindui pada masa lampau, saya terpesona dengan sajian alam buatan (memanfaatkan bekas rawa-rawa) yang meliputi kolam ikan yang mengelilingi replika candi terbesar, sungai buatan yang juga dilengkapi dengan ikan koi, dan air terjun buatan.

Selain tempat-tempat berkonsep alam, kolam renang non-kaporit di Lembah Tumpang juga menjadi tempat yang tak boleh ketinggalan untuk dicoba. Kolam renang dengan hiasan patung dewa-dewa semakin menambah kesan kerajaan dan kepercayaan zaman dulu yang memang masih berada di antara Hindu dan Budha. 

Di kolam ikan yang mengelilingi replika candi terbesar, terdapat sebuah perahu warna-warni. Perahu ini dapat digunakan untuk mengelilingi replika candi, kita bisa mendayungnya perlahan sembari menengok sisi kanan dan kiri. Rasanya seolah membuat saya merasa di tengah-tengah hutan belantara zaman dulu, karena terdengar suara katak, garengpung, dan cuitan burung-burung.

Sesekali saya melihat bagian bawah air yang dihuni oleh ikan-ikan koi berwarna-warni dan area sekitar replika candi yang dipenuhi tumbuhan-tumbuhan hijau, menyejukkan hati. Keberadaan hewan-hewan seperti kumbang dan sejenisnya menjadi bukti bahwa tempat ini masih asri.

Tak hanya hewan liar, di Lembah Tumpang juga terdapat hewan-hewan yang sengaja dipelihara, namun tetap dibiarkan hidup bebas. Sebut saja seperti merpati, ayam, dan itik. Atas dasar ini, saya sedikit berhati-hati dalam melangkahkan kaki. Karena salah langkah sedikit saja, saya akan mendapatkan hadiah tai dalam pijakan kaki.

Dari aliran sungai buatan yang berisi ikan koi, saya menelusuri asal dari sungai ini. Saya temukan muaranya, sebuah air terjun buatan beserta sendang di sebelahnya. Sendang tersebut dikelilingi oleh tanaman paku-pakuan.

Tak terasa sudah menelusuri setiap sudut di Lembah Tumpang. Akhir kata, keindahan buatan manusia hanyalah serpihan kecil dari keindahan-keindahan buatan Pencipta Semesta.

Dosen dan penulis buku "Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia."

Dosen dan penulis buku "Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menyusuri Lelogama, Menjumpai Keindahan Semesta