TRAVELOG

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk

Pernahkah Anda seolah-olah menghirup hawa kematian massal? Pernahkah Anda seakan-akan menonton Izrail yang mencabuti jiwa-jiwa manusia secara membabi-buta? Pernahkah Anda tahu rasanya menatap kain jarik dan batik dengan mayat-mayat terbujur kaku di baliknya? Saya merasakannya di hari Minggu yang hangat di pertengahan Februari. 

Hari itu (16/2/2025), hari yang sangat saya nanti-nanti. Jauh-jauh hari, lingkaran merah telah menandai kalender saya. Sehari sebelumnya, di Sabtu malam, hati saya berdebar-debar seperti sedang menanti detik-detik ikrar pernikahan. Saya tidak mampu tidur nyenyak.

Saya memikirkan ulang cerita kakek saya tentang ruwat desa di Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. Kata Mbah Salim (84) akan ada kasur-kasur tertutup kain jarik batik di depan rumah warga. Warga kemudian akan mengarak kasur-kasur itu keliling desa. Saya membayangkan Malaikat Maut. Maut identik dengan larik-larik kain jarik. Ah, teramat unik dan menarik.

Ruwat desa Pagerngumbuk sudah pasti berbeda dari ruwat-ruwat desa biasanya. Tidak hanya ziarah kirim doa di makam desa. Tidak melulu pengajian dan pertunjukan wayang. Saya pun bertekad seperti seorang raja yang sedang bersumpah, “Saya harus menontonnya! Dengan mata kepala saya sendiri!”

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk
Panggung utama ruwat desa Pagerngumbuk/Rosyid HW

Ruwat Desa Pagerngumbuk dalam Tiga Gelombang

Minggu-minggu menjelang bulan Ramadan—disebut bulan Ruwah dalam kalender Jawa—beberapa desa di Sidoarjo menggelar ruwat desa. Demi menonton ruwat desa Pagerngumbuk, saya merelakan diri tidak menonton ruwat desa Balongdowo dengan ritual nyadran-nya di pesisir Sidoarjo. “Mayat bergentayangan tentu lebih menarik daripada orang-orang mabuk ciu dan dangdut di geladak kapal!” seruku.

Bersama Fariduddin Attar, seorang antropolog partikelir, kami berangkat terlampau pagi dan mendapati beberapa orang masih menata tikar-tikar di jalanan depan Balai Desa Pagerngumbuk. Terop telah tegak berdiri. Panggung penuh gamelan sudah tertata rapi. Seseorang mencoba kualitas suara mikrofon. Beberapa panitia sedang bekerja dan berjalan ke sana kemari. “Biasanya pukul sembilan, warga mulai berdatangan,” jawab salah satu penjaja makanan dari puluhan penjual yang telah siap siaga mengais rezeki di sepanjang jalan menuju balai desa. 

“Wartawan, ya, Mas?” tanyanya. Saya menggeleng. “Mau ambil video, ya, Mas?” lanjutnya. Saya menjawab, “Kami hanya ingin menonton.” Menonton malaikat maut, batinku. Sambil melipir ke warung kopi, saya pun berpikir, ruwat desa ini sudah kepalang masyhur hingga banyak orang dari luar desa turut berkunjung.

Gunungan hasil panen sayur warga Pagerngumbuk/Rosyid HW

Tiga gelombang rombongan warga mulai berdatangan ketika jarum jam di dinding balai desa menunjuk angka sembilan. Gelombang pertama adalah bapak-bapak yang mengarak gunungan hasil bumi—lebih dari sepuluh gunungan. Setinggi dua meter lebih, aneka sayuran dan buah-buahan ditata sedemikian rupa agar gunungan terlihat menarik. Ada pisang, sawi, sirsak, terong, ketela, jagung, timun, nanas, gambas, dan kacang panjang. “Gunungan ini dilombakan. Per RT satu gunungan,” kata Fanani, saudara saya yang juga warga Pagerngumbuk. Beberapa jam kemudian, saya membaca statistik: desa ini terbagi menjadi 16 RT. Artinya, ada 16 gunungan hasil ladang.

Beberapa menit setelahnya, rombongan kedua mulai berdatangan. Tiba-tiba, dada saya bergetar. Bulu kuduk saya merinding. Para lelaki tampak seperti menggotong keranda-keranda. Keranda berpenutup jarik dan batik, sebuah bidang persegi panjang diikat pada selonjor bambu atau kayu dan diangkat oleh dua lelaki. Tidak hanya satu atau dua, tapi puluhan. Seperti iring-iringan orang meninggal. Rentetan parade kematian. Mereka kemudian meletakkan kendaraan-kendaraan kematian tersebut di area pendopo dan halaman balai desa yang sengaja dikosongkan.

Hidung saya seolah-olah menghirup aroma basah tanah kuburan. Di tiang-tiang balai desa. Di atap-atap genteng. Di pucuk-pucuk daun. Di kilat-kilat lantai. Izrail seakan-akan terbang melayang-layang. Panggilan kematian seperti mendekat, sedekat urat leher. Oh, ini yang diceritakan kakekku.

Aku menatap Fanani dengan alis terangkat. Ia seakan mengerti, lalu membuka mulut: itu hanya dipan atau lincak atau kursi panjang, berisi tumpeng makanan. Aku berpikir, daripada tumpeng, itu lebih mirip mayat. Di antara lalu-lalang orang, Fanani berseru, “Seperti nabi, penyedia tumpeng adalah orang-orang pilihan.” 

Warga berbondong-bondong menggotong bayang dan lincak untuk ditata di balai desa/Rosyid HW

Hanya keluarga penggarap gogol sawah desalah yang berkewajiban mengeluarkan tumpeng. Jika total ada 88 gogol se-Pagerngumbuk, maka ada 88 tumpeng yang dihidangkan. Apabila ada satu keluarga yang menggarap empat gogol, maka keluarga tersebut tetap diharuskan mengeluarkan empat tumpeng. “Aturan ini sudah dijalankan turun-temurun,” katanya.

Daging kerbau adalah hidangan utama ritual ini. Sehari sebelumnya, pemerintah desa menyembelih kerbau. Daging kerbau dibagi-bagikan kepada penggarap 88 gogol sawah desa. Daging kerbau dimasak dan disajikan secara khusus. Tidak boleh sembarangan. Salah satunya adalah sate daging kerbau yang diapit supit bambu dengan pelepah daun pisang di ujungnya. Ada pula sate daging kelapa; kepal parut kelapa yang berisi daging dan sate hati-usus-jeroan—saat bubaran ruwat desa, saya sempat menggigit satu tusuk hati kerbau ini dan rasanya sedap sekali!

Selain daging kerbau, ada pula kerupuk besar selebar rentang jari orang dewasa, pisang hijau, dan jajanan desa macam jadah, kembang gula, dan jenang. Menu sudah diatur dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kondimen tumpeng sudah ditentukan sedemikian rupa. “Jika menunya tidak lengkap, ditakutkan muncul tumbal,” tutur Fanani menakut-nakuti.

Setelah tumpeng-tumpeng tertutup kain batik memenuhi area dalam balai desa, rombongan warga—lelaki dan perempuan; dewasa, remaja, dan anak-anak—mulai memadati kawasan jalanan depan balai desa. Mereka juga membawa tumpeng masing-masing, tumpeng bebas yang mereka berhak memasak apa pun dan siapa pun boleh membawanya. Di atas tikar-tikar yang tergelar, mereka tanpa jeda berbicara tak peduli dengan pidato-pidato kepala desa dan camat yang membosankan. 

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk
Keramaian warga saat prosesi ruwat desa. Mereka membawa makanan dan jajanan masing-masing/Rosyid HW

Menghayati Makna Ruwatan di Pagerngumbuk

Di tengah riuh yang memiuh, saya memilih berteduh dan menata gaung dari dengung pertanyaan di kepala. Mengapa penduduk Pagerngumbuk yang berjumlah 3.158 kepala merayakan ruwat desa dengan tumpeng-tumpeng yang terlihat seperti mayat? Saya mencoba menerka-nerka sendiri jawabannya.

Gunungan hasil ladang adalah ekspresi syukur dengan dada lapang. Syukur dengan kesadaran bahwa desa dengan luas 166,07 hektare dan tanah sawah seluas 154 hektare telah menganugerahi mereka kehidupan, rezeki, dan berkah yang berlimpah-limpah. Syukur yang tidak hanya diukur secara personal, tetapi juga komunal. Tumpeng dan daging kerbau pun mengejawantah dalam bentuk sedekah. Saling berbagi, saling menikmati; perwujudan rasa kebersamaan, gotong-royong, dan persatuan antar penduduk desa.

Namun, hidup dengan rasa syukur dan bahagia yang membuncah tak menghalangi mereka untuk melupakan hidup yang sesungguhnya, hidup selepas kematian. Walhasil, mereka membungkus tumpeng, masakan daging kerbau, dan jajanan mereka dengan kain batik dan jarik sehingga tampak seolah-olah seperti jenazah, seperti jasad mati yang terbujur kaku. 

Ketika zuhur menjelang dan doa-doa baik telah dipanjatkan, kain batik dan jarik disingkap, isi tumpeng-tumpeng diperebutkan dan dilahap, jajanan dan sajian dikudap. Jiwa-jiwa warga mendongak merayakan syukur hidup. Hati-hati penduduk menunduk mengingat mati. 

Di Pagerngumbuk, seraya mengunyah sate hati-usus-jeroan kerbau, saya belajar menghayati hidup sekaligus menghikmati mati. Hidup memang patut dirayakan, tetapi mati tidak boleh dilupakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rosyid HW

Rosyid HW lahir dan tinggal di Sidoarjo. Penulis dan esais.

Rosyid HW lahir dan tinggal di Sidoarjo. Penulis dan esais.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *