Malam itu adalah malam terakhir saya dan teman saya, Adin, di Banyuwangi. Gunung Ijen menjadi destinasi penutup sebelum pulang. Gunung yang menjadi bagian kawasan Cagar Alam Kawah Ijen ini membentang di dua kabupaten: Bondowoso dan Banyuwangi. Dari total 2.560 hektare, seluas 92 hektare di antaranya menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen, sementara sisanya tetap dipertahankan sebagai cagar alam.1
Gunung dengan puncak setinggi sekitar 2.769 meter di atas permukaan laut (mdpl) memiliki danau kawah dengan kedalaman kurang lebih 200 meter. Kombinasi warna danau toska, fenomena api biru (blue fire) yang langka, dan pemandangan matahari terbit (sunrise) menjadikan Ijen sebagai salah satu destinasi yang terkenal hingga mancanegara.
Saya dan Adin ikut open trip untuk memudahkan perjalanan selama di Banyuwangi. Total peserta dalam rombongan kami hampir mencapai 20 orang. Dengan kondisi tubuh yang belum sempat beristirahat cukup, sekitar pukul 23.00 WIB para peserta sudah dijemput di penginapan oleh operator open trip untuk menuju Gunung Ijen.


Persiapan di Pos Paltuding
Sebelum ke Ijen, kami mampir di sebuah klinik untuk pemeriksaan kesehatan. Salah satu syarat wajib sebelum memasuki kawasan pendakian Gunung Ijen yakni menyertakan surat keterangan sehat terbaru (24 jam terakhir) dari klinik atau rumah sakit, serta melampirkan fotokopi KTP. Dari plang kecil di depan klinik yang saya baca, menunjukkan kami sedang berada di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah.
Setelah semua beres, perjalanan lanjut ke Pos Paltuding, memakan waktu sekitar 45 menit. Pemandangan berganti dari permukiman warga, kebun, hingga hutan gelap.
Sesampainya di Paltuding, suasana khas basecamp pendakian langsung terasa. Area parkir cukup luas, tersedia penginapan sederhana, dan deretan warung makan yang juga menjual atau menyewakan perlengkapan mendaki, seperti jaket, sarung tangan, headlamp, masker, hingga trekking pole.
Kami berkumpul di salah satu warung, bergabung dengan rombongan lain yang juga tengah menunggu waktu pendakian dibuka. Sementara itu, guide kami mengurus proses administrasi dan membagikan perlengkapan yang dibutuhkan peserta: headlamp untuk penerangan, masker untuk menghindari paparan gas belerang dari kawah, serta trekking pole bagi yang membutuhkannya sebagai penopang selama perjalanan mendaki.

Jalur Pendakian dan “Lamborghini Ijen”
Sekitar pukul 02.00 WIB, pendakian menuju Kawah Ijen resmi dibuka. Para guide kami mengumpulkan peserta untuk memberikan arahan singkat dan berdoa bersama sebelum memulai pendakian.
Pihak open trip sejak awal telah menyampaikan, pendakian dapat disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Jika merasa tidak sanggup mencapai puncak, peserta diperbolehkan berhenti di pos terdekat atau kembali turun. Para pemandu pun membagi posisi: depan, tengah, dan belakang rombongan peserta.
Saya dan Adin sepakat untuk berjalan sesuai kemampuan, tanpa perlu memaksakan diri. Ternyata, langkah kaki membawa saya ke barisan paling depan bersama tiga teman rombongan, dan satu orang pemandu di depan. Sedangkan Adin dengan kecepatan berbeda berada lebih belakang. Awal berpisah kami merasa akan aman karena masih bersama rombongan yang sudah kami kenal sejak awal trip di Banyuwangi.
Jalur pendakian didominasi oleh jalan tanah padat selebar dua hingga empat meter. Di awal perjalanan jalurnya masih landai, meski perlahan mulai menanjak dan cukup ramai oleh rombongan pendaki, bahkan beberapa kali tersendat. Di beberapa titik, kemiringan jalur bisa mencapai sekitar 45 derajat.
Sepanjang jalur tersedia beberapa pos istirahat, dengan ukuran yang berbeda-beda. Untuk pos yang lumayan besar seingat saya hanya ada 2–3 pos. Pos istirahat dilengkapi warung, toilet, dan musala kecil.
Salah satu yang menjadi ciri khas pendakian Ijen adalah keberadaan troli dorong yang dikenal sebagai “Lamborghini Ijen”. Troli ini biasa digunakan untuk mengangkut pendaki yang kelelahan, baik saat naik maupun turun. Sepanjang jalur, dari titik awal sampai mendekati puncak, cukup banyak porter troli yang menawarkan jasa mereka kepada pendaki. Didorong oleh dua hingga tiga orang orang, troli ini berbentuk seperti tandu beroda dengan kursi dan sandaran kaki.


Antara Blue Fire dan Sunrise
Sekitar pukul 03.30 WIB, kami tiba di pos terakhir sebelum puncak. Pos ini merupakan yang paling luas, terletak sedikit menurun dari jalur utama. Fasilitasnya juga lengkap, ada warung, toilet, serta “Mushola Al Arifin”.
Di perjalanan, saat saya menengok ke atas, langit penuh bintang memayungi perjalanan kami, yang tampak sangat jelas sejak pos sebelumnya. Tidak jauh dari pos terakhir, kami sempat berhenti untuk berfoto secara bergantian. Dari titik ini, pemandangan bintang-bintang di langit seperti berpadu dengan lampu-lampu permukiman di bawah.
Sekitar pukul 04.15 WIB, saya dan rombongan depan tiba di percabangan antara jalur turun ke Kawah Ijen dan menuju puncak. Infonya, fenomena blue fire hanya bisa terlihat dengan jelas hingga pukul 05.00 WIB. Pilihan yang sulit, sementara sunrise Ijen juga jadi momen yang sangat saya nantikan. Akhirnya, saya dan tiga teman rombongan memutuskan mencoba turun ke arah kawah, karena langit masih gelap dan matahari belum menunjukkan tanda-tanda.
Namun, jalur turun ke blue fire ternyata sangat padat, sempit, dan berbatu. Hampir 10 menit kami tertahan dalam antrean turun ke kawah. Tak ingin kehabisan waktu, kami akhirnya memilih kembali naik dan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Saat itu, warna langit mulai perlahan berubah, gelapnya malam memudar.
Bagi saya, ini jadi sebuah pelajaran. Jika ingin menyaksikan blue fire sekaligus sunrise, perlu riset waktu dan kesiapan fisik yang lebih baik, atau kejelasan prioritas sejak awal agar perjalanan bisa lebih maksimal.
Karena jalur yang ramai dan sulit saat kembali naik ke jalur pendakian, saya tanpa sadar terpisah dari ketiga teman rombongan saya, yang merupakan saudara asal Surabaya. Mungkin karena adanya ikatan keluarga dan sudah terbiasa jalan bersama, mereka tidak mudah terpisah seperti saya. Namun, saya tetap berjalan dengan pikiran, “Nanti akan bertemu lagi di puncak”.
Sekitar pukul 04.35 WIB, saya tiba di area puncak yang masih cukup gelap, hanya tampak semburat jingga tipis di kejauhan. Saya sempat kebingungan, tidak tahu harus menuju ke arah mana. Saat itu, saya bertemu seorang perempuan yang rupanya juga terpisah dari rombongannya. Karena sama-sama sendirian, akhirnya kami mencari lokasi menunggu sunrise secara bersama.
Puncak Ijen dan Turun
Sayangnya, sunrise tidak muncul sempurna karena sedikit tertutup awan. Namun, matahari tetap muncul dengan sinarnya yang menenangkan. Saya pun tetap bahagia bisa menyaksikan momen ini di Ijen. Seiring matahari naik, satu per satu teman-teman rombongan sampai puncak. Beberapa terlihat haru; ada yang baru pertama kali mendaki, ada pula yang hampir menyerah di tengah jalan.
Saya pun bertemu lagi dengan Adin yang ternyata naik bersama dua teman rombongan perempuan seusia kami. Mereka bertiga terharu bisa sampai puncak dengan perjuangan masing-masing. Namun, terselip juga rasa kecewa terhadap pemandu yang seharusnya mendampingi, tapi justru tidak terlihat. Bagi mereka yang belum terbiasa hiking, seharusnya ada pendampingan, bukan dibiarkan. Untungnya mereka bisa menjaga satu sama lain dan pemandangan Ijen mengobati perasaan mereka.
Kami berempat menghabiskan waktu bersama di puncak Ijen. Menikmati pemandangan ke arah timur. Matahari terbit perlahan, sejajar dengan siluet lautan Selat Bali, serta Gunung Baluran tampak samar di kejauhan. Sementara dari arah berlawanan, Kawah Ijen terpampang jelas dengan warna biru kehijauan yang khas, kontras dengan bebatuan abu-abu di sekelilingnya. Asap belerang mengepul dari kawah, menjulang ke atas.
Setelah puas berswafoto, sekitar pukul 07.00 WIB kami turun dari puncak untuk kembali ke Pos Paltuding. Kami melewati beberapa pekerja tambang yang menjual kerajinan belerang. Kali ini saya mengikuti kecepatan Adin dan dua teman rombongan bersama. Tenaga kami mulai menipis, sehingga kami berjalan pelan. Terkadang berhenti setiap beberapa meter untuk mengecek kondisi satu sama lain dan menunggu teman yang tertinggal.
Di pertengahan perjalanan, kaki Adin mulai kram, sementara dua teman rombongan kami juga tampak kelelahan dan akhirnya memutuskan menggunakan “Lamborghini Ijen”. Sedangkan Adin tetap berusaha lanjut jalan kaki untuk sampai di Paltuding. Saya pun akhirnya bantu membersamai perjalanannya, walau kami harus sering beristirahat sejenak untuk menjaga kondisi kakinya.
Sesampainya di bawah, kami kembali bertemu dengan rombongan dan para pemandu. Masing-masing mungkin menyimpan kesannya sendiri. Bagi saya pribadi, meski tidak berhasil melihat blue fire dan sunrise pun tak sempurna, perjalanan ini tetap berkesan karena momen-momen kecil, seperti langit bertabur bintang, dilema memilih jalur, bertemu teman baru, indahnya pemandangan puncak, serta makna kebersamaan.
- BBKSDA Jawa Timur, “Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup”, 2019, https://bbksdajatim.org/cagar-alam-kawah-ijen-merapi-ungup-ungup-2/. ↩︎
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.