Selepas Idulfitri 1446 H, agenda naik gunung kembali saya lakukan. Kali ini ditemani satu dari anak kembar saya, Evan Hrazeel Langie (Ali). Dua saudara lelakinya, terakhir membersamai saya ke Ciremai, Oktober 2024.
“Enggak ikut dulu,” kata Rean Carstensz Langie, kembaran Ali. “Kalau ke gunung lain mau,” tambah Muhammad, adik mereka.
Rean dan Muhammad sudah empat kali ke Ciremai. Ali ingin menyamai capaian saudaranya. Saya senang bisa terus mendampingi anak-anak ke gunung. Selain menjaga kebugaran tubuh di usia 40 tahun, juga memotivasi buah hati untuk senantiasa mencintai alam ciptaan Tuhan.
Jalur Palutungan kembali jadi pilihan kami pada pendakian Rabu–Kamis, 9–10 April 2025. Pagi itu, selesai berkemas, kabar duka datang. Ichsan Mulyadi (40), rekan pendakian saat zaman sekolah dulu, wafat. Ia tinggal satu gang dengan rumah orang tua saya di kompleks Kalijaga Permai. Saya dan Ichsan sahabat masa kecil, dan masih berhubungan baik hingga kami berkeluarga.
Karena sudah mau berangkat, saya hanya titip salam untuk orang tua Ichsan. Ibu saya menyampaikannya saat takziah ke rumah duka. Saya dan Ali bergegas menunggang motor ke Kabupaten Kuningan. Kami membawa sebuah carrier, daypack, dan tenda. Saya foto perlengkapan, mengunggahnya di status WA: Saya dedikasikan pendakian ini untuk mengenang Ichsan Mulyadi. Semoga Allah merahmatinya.
Di perjalanan, saya tak kuasa menahan sedih. Mata berkaca-kaca. Teringat Ichsan yang meninggal tiba-tiba pagi itu. Terkenang kami dulu berangkat bareng mendaki Ciremai. Saya mendoakan yang terbaik untuk sahabat saya itu. Semoga istri dan kedua anaknya diberi ketabahan.


Berharap Sepi Pendaki di Hari Biasa
Sampai basecamp Cadas Poleng, Palutungan pukul 09.30, kami segera mengurus registrasi. Tak lupa menjalani prosedur cek kesehatan. Cuaca cerah dan beberapa pendaki terlihat pula.
“Ramai yang naik?” tanya saya ke petugas medis. “Tadi ada 14 orang,” jawabnya.
Bila melihat kecenderungan pendaki saat akhir pekan di jalur Palutungan mencapai 200–300 orang, angka di hari biasa ini bisa dikategorikan longgar. Ya, baguslah, batin saya, yang memang lebih senang menikmati pendakian ketika sepi pengunjung.
Pukul 09.45, saya dan Ali mulai melangkah. Target kami dua jam ke depan adalah Pos 1 Cigowong. Di sana kami akan istirahat dan mengisi penuh perbekalan air. Kalau sudah masuk waktu salat, biasanya sekalian santap siang dan menunaikan ibadah di musala Siti Khodijah di ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Trek menanjak perlahan. Tanjakan Beunta menjadi “salam perkenalan” bagi para pendaki yang mulai menjamah tubuh Ciremai. Kurang dari seratus meter, tanjakan dengan dua belokan ini dijamin membuat jantung berdegup kencang. Ujungnya adalah percabangan ke area camping Ipukan.
Kami terus melangkah, memasuki kawasan hutan pinus. Melewati deretan Pinus merkusii yang menjulang, sementara bagian bawah batangnya “tersakiti”; disadap untuk mengeluarkan getah bernilai ekonomis. Rombongan muda-mudi hendak hiking ke Cigowong, menyemarakkan suasana. Kami berjalan ngebut dan melewatinya.
Selepas hutan pinus, vegetasi berganti. Pepohonan khas belantara hujan tropis mulai menaungi. Ada pakis raja (Angiopteris evecta), rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Podocarpus imbricatus), Ki Putri (Podocarpus neriifolius), sarangan (Castanopsis argentea), dan puspa (Schima wallichii).
Sinar mentari sedari awal tak menyengat. Tutupan hutan semakin rapat, ketika kami menuruni sungai kering. Jalur lalu menanjak kembali, pindah punggungan. Ketinggian bertambah, kami sempatkan rehat di tanah datar. Merebahkan carrier, meluruskan kaki, dan meneguk teh manis hangat bekal dari rumah.
Keringat bercucuran. Saya berdiri seraya memandangi sekeliling. Berada di tengah kelebatan rimba, sungguh menenangkan jiwa. Paru-paru menghirup oksigen dari alam sepuasnya. Aliran darah terasa lancar. Pikiran lapang. Nikmat sehat patut disyukuri sebaik-baiknya.
Cigowong yang Lengang
Normalnya waktu tempuh dari basecamp ke Cigowong adalah 2,5 jam untuk jarak 3,4 kilometer. Pendaki yang menyandang carrier, kalau jalan lebih cepat bisa dua jam saja. Jika tidak membawa beban, Cigowong dapat dicapai dalam 60 menit. Nah, kalau naik ojek yang dikelola warga lokal, 20 menit sampai.
Mendekati Cigowong, pinus-pinus nan jangkung kembali menyambut. Padahal dominasinya sempat terhenti mendekati lembahan sungai kering. Rupanya, mengutip akun resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, sekeliling lahan di kaki Gunung Ciremai sejak 1978–2003 memang dijadikan hutan produksi pinus yang dikelola Perhutani.
Memasuki 2004, Gunung Ciremai beralih status menjadi taman nasional. Melahirkan kebijakan penghentian kegiatan produksi hutan, seperti penebangan dan penyadapan getah pinus. Taman nasional fokus kepada konservasi sumber daya alam dan ekosistem, bukan eksploitasi hasil hutan. Nah, yang saya tidak mengerti, mengapa sampai sekarang penyadapan getah pinus masih berlangsung?
Saya coba tidak larut dalam hal yang mengherankan itu. Pendakian berlanjut. Ali setia mendampingi ayahnya. Bila jalur melebar, ia ada di sebelah saya. Namun, jika setapak menyempit, saya biarkan Ali di depan. Kami saling memberi semangat, di tengah napas yang memburu.
Keringat membasahi tubuh. Otot paha dan betis mengencang. Setelah menggenjot langkah demi langkah, gerbang Cigowong tampak di depan sana. Ayunan kaki kami percepat, jantung memompa darah lebih kencang, demi memasuki Pos 1 Cigowong dengan carrier tegak. Alhamdulillah.
Siang itu saya perkirakan ada 10 orang di Cigowong. Terpencar di beberapa titik. Ada yang di sebelah warung, dekat mata air, dan di selter permanen. Sepertinya mereka sudah lama istirahat dan segera meneruskan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 11.15, sedangkan zuhur masih 45 menit lagi. Saya putuskan rehat sejenak saja. Beres mengisi perbekalan air, kami lanjut mendaki.
“Kita makan siang di Pos 3, ya? Gimana kondisi, oke kan?”
Ali mengangguk mantap.

Target Buka Tenda di Pos 6
Jalur kemudian menurun, melintasi sungai kecil berair jernih. Pepohonan besar dengan akar-akar yang menyembul ke permukaan tanah, jadi tantangan pendakian menuju Pos 2 Kuta. Hanya perlu 20 menit untuk sampai ke sini. Plangnya ada di tengah jalur.
Kami terus berjalan menambah ketinggian. Menembus kelebatan hutan Ciremai, hingga Pos 3 terlihat pukul 12.30. Beberapa pendaki sedang santai pula. Kami makan siang lalu menjamak qashar salat Zuhur dan Asar, masing-masing dua rakaat salam. Setelah istirahat dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan. Rekan pendaki lainnya menyapa, mendahului kami.
Siang itu cuaca bersahabat. Tidak berkabut. Saya dan Ali berencana buka tenda di Pos 6 Pasanggrahan. Saya cerita ke Ali, pada pendakian Oktober 2024 bareng Rean dan Muhammad, berkemah di Pos 5 Tanjakan Asoy karena gerimis turun. Semoga perjalanan kali ini bisa terus ke Pos 6 sesuai target.
Kami berjalan dengan ritme konstan. Tidak ngebut, tapi juga tidak lambat. Menapaki medan terjal antara Pos 4 dan Pos 6 memerlukan strategi tersendiri. Tenaga jangan diforsir. Selalu saya sempatkan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Sesekali carrier diturunkan, lantas duduk selonjor sekitar satu menit. Setelahnya berjalan lagi. Pantang menyerah, walau lelah mendera.
Pukul 16.00, kami sampai di Pos 6 Pasanggrahan (2.450 mdpl). Ada tiga kelompok yang sudah menggelar tenda. Sementara yang mendaki bersamaan dengan kami sejak Pos 3, ada empat tim. Syukurlah, relatif tidak ramai. Saya pilih buka tenda di belakang rumah kayu yang berfungsi sebagai selter darurat.

Semburat Fajar di Puncak
Pukul 03.00, saya bangunkan Ali untuk persiapan menuju puncak. Kami “sahur” dengan sup bakso dan telur rebus, juga minum sereal hangat sebagai penunjang tenaga. Estimasi waktu menuju puncak sekitar 2,5 jam. Di atas kertas memang sudah dekat, tapi jalur pendakian tak semudah yang dibayangkan.
Kami keluar tenda pukul 03.30 dengan kondisi sehat. Senter di kepala, jaket tebal, sarung tangan, dan bandana penutup telinga menjadi perlengkapan wajib ketika muncak. Ali memakai kupluk berpelindung wajah. “Semoga tak ada angin,” kata saya dan kami mulai melangkah.
Pos 7 Sanghyang Ropoh lanjut ke Pos 8 Simpang Apuy, cuaca sesuai harapan. Bahkan di persimpangan jalur Apuy (Majalengka) dan Palutungan (Kuningan), cahaya kuning-kemerahan tampak berkilau. Pertanda mentari siap menyinari bumi. Pendaki dari Apuy mengalir deras. Kami sama-sama menuju Pos 9 Goa Walet.
Medan bebatuan dan rapatnya cantigi (Vaccinium varingaefolium), menguji fokus dan daya tahan pendaki. Jangan sampai salah jalur, ikuti marka yang terpasang. Jarak Goa Walet ke puncak “hanya” 200 meter atau sekitar setengah jam. Tapi dijamin, pendaki nonatlet bakal beberapa kali rehat. Termasuk saya dan Ali. Ah, santai asal selamat, batin saya. Toh, cuaca bagus dan capaian waktu tempuh cukup baik
Akhirnya pukul 06.00, kami sampai di pelataran puncak yang biasa dipakai upacara bendera 17 Agustus. Angin berembus, tapi tidak kencang. Beda ketika muncak 6 Oktober 2024, angin menderu dan pemandangan tertutup kabut. Alhamdulillah, kemarin itu sisa fajar menyingsing masih tampak jelas. Gunung Slamet di sebelah timur menghiasi cakrawala.


Tulisan untuk mengenang sahabat saya di puncak Ciremai (kiri) dan pusara Ichsan Mulyadi saat ziarah sepulang dari Ciremai (11/4/2025)/Mochamad Rona Anggie
Tugu penanda atap Jawa Barat (3.078 mdpl) terlihat dikerumuni pendaki. Mereka berlomba mengabadikan momen dengan latar lautan awan. Saya dokumentasikan selembar kertas dengan coretan in memoriam Ichsan Mulyadi, seperti di awal tulisan.
“Engkau sudah mendahului kami, sahabat. Kami panjatkan doa untuk kebaikanmu di alam sana. Semoga suatu saat nanti, anak-anak kita bisa mendaki bersama.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Sehat selalu untuk Keluarga 🙏🥰
Di sempatkan untuk kembali si gagah ciremai..ayok 😁😁
Joss pak.. Ciremai menempa lintas generasi. Sehat-sehat, ya.
Amiin.. Sehat-sehat sedulur di Kalijaga Permai. Terus berolahraga, ya.