TRAVELOG

Mencari Raden Saleh dari Cikini ke Bogor

Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang pelukis paling sohor yang pernah dimiliki negeri ini. Saya pernah melihat lukisan-lukisannya yang sangat indah saat Galeri Nasional Indonesia di Jakarta mengadakan pameran koleksi Istana Negara pada 2018 lalu.

Salah satunya lukisan berjudul “Antara Hidup dan Mati”, yang dibuat pada 1870. Lukisan itu menggambarkan seseorang menunggang kuda, tengah berkelahi dengan seekor singa. Lalu, ada pula lukisan bertajuk “Penangkapan Diponegoro”, “Perburuan Banteng”, dan “Banjir di Jawa”.

Mencari Raden Saleh dari Cikini ke Bogor
Rumah megah Raden Saleh di Cikini, Jakarta Pusat/Fandy Hutari

Peninggalan di Cikini

Pada November 2022, saya menelusuri jejak Raden Saleh dari Cikini, tepatnya Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Sudah tentu, dari namanya, jalan ini menyimpan cerita terkait pelukis kelahiran Terboyo, Jawa Tengah tahun 1811 tersebut.

Di dalam halaman Primaya Hospital PGI Cikini, bekas rumah pelukis yang berguru pada Auguste Antoine Joseph Payen itu berdiri. Hingga kini, kemegahan rumah tersebut masih bisa kita saksikan. Rumah itu dibangun setelah Saleh memutuskan kembali ke Hindia Belanda pada 1852, usai lama menimba ilmu di Eropa.

Sebelum tinggal di rumah tersebut, bersama istrinya yang berdarah Eropa yang dinikahi pada 1856, Constancia Winkelhagen, dia kerap berpindah-pindah rumah di Batavia. Mulanya, menurut Werner Kraus,1 mereka tinggal di rumah model Eropa di Molenvliet atau sekarang Jalan Gajah Mada. Pada September 1857, mereka pindah ke Kampung Gunungsari atau sekarang Jalan Gunung Sahari.

Raden Saleh dan Constancia tak puas dengan rumah di Gunungsari. Mereka lalu membangun rumah di Cikini. Dalam tempo dua tahun, rumah dengan pekarangan yang luas itu berhasil diwujudkan.

Kraus menyebut, rumah itu selesai dibangun dan ditempati pada 1859. Rumah berlantai dua, termasuk paviliun dibangun dengan gaya neo-gotik. Saleh mengenal arsitektur itu selama berada di Coburg, Jerman. Bangunannya mengikuti bentuk Istana Callenberg, tempat dia pernah tinggal saat berada di Jerman. Sejak abad ke-19, rumah Raden Saleh menjadi objek wisata Batavia dan dipotret sebagai objek di dalam kumpulan kartu pos terkenal fotografer asal Inggris, Walter Bentley Woodbury.

Saya lalu berjalan sedikit ke Taman Ismail Marzuki. Di sini, dahulu dibangun kebun binatang dari tanah hibah Raden Saleh. Kebun binatang yang bernama Planten en Dierentuin itu didirikan pada 1864. Seusai kemerdekaan, kebun binatang itu bersalin nama menjadi Kebun Binatang Cikini. Pemerintah Jakarta lalu memindahkan koleksi hewan di kebun binatang itu ke tanah seluas 30 hektare di daerah Ragunan, Jakarta Selatan pada 1964. Di bekas kebun binatang itu lalu dijadikan pusat kebudayaan Taman Ismail Marzuki pada 1968.2

Mencari Raden Saleh dari Cikini ke Bogor
Kawasan Taman Ismail Marzuki yang dahulu kebun binatang/Fandy Hutari

Setelah bercerai dengan Constancia Winkelhagen, Raden Saleh menikah lagi dengan perempuan kerabat keraton Yogyakarta, Raden Ayu Danudirejo pada 1868. Kemudian, mereka memilih pindah ke Bogor. Raden Saleh menjual tanahnya yang luas di Cikini, termasuk sebuah masjid, yang sekarang menjadi Masjid Jami Al Makmur.

Saya kemudian ke masjid itu untuk melaksanakan salat Zuhur, sembari melihat-lihat bangunan peninggalan Raden Saleh tersebut. Masjid ini punya riwayat panjang pula setelah diwakafkan oleh Raden Saleh.

Menurut Abdul Baqir Zein,3 sebelum hijrah ke Bogor, Raden Saleh mewakafkan sebagian tanahnya dengan mendirikan sebuah masjid yang masih sangat sederhana: dinding dari gedek, berukuran kecil seperti rumah panggung, terletak di belakang rumahnya. Dia juga menjual seluruh tanahnya, tidak termasuk masjid, kepada keluarga Alatas—seorang tuan tanah kaya raya keturunan Arab, yang kemudian diwariskan ke anaknya bernama Ismail Alatas.

Karena Ismail Alatas tak tahu soal sejarah keberadaan tanah masjid sebagai tanah wakaf, tanah itu dijual kepada Koningin Emma Stichting atau Yayasan Ratu Emma—sebuah yayasan misionaris Kristen milik orang Belanda. Setelah tanah itu resmi milik yayasan tadi, mereka menuntut agar masjid peninggalan Raden Saleh dipindahkan. Akhirnya, masjid itu dipindah beberapa meter dari tempat asalnya, dengan cara memanggulnya gotong royong—yang sekarang menjadi lokasi Masjid Al-Makmur.

Hingga 1932, yayasan itu tidak puas dan menuntut supaya masjid dipindah ke lokasi yang lebih jauh. Akibatnya, timbul reaksi dari para tokoh Islam, seperti HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam. Umat Muslim pun melindungi masjid itu dari penggusuran, dibantu beberapa tokoh, seperti Haji Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso.

Maka, di bagian atas muka bangunan masjid ada panel dinding persegi panjang bercat warna putih, dengan tulisan kaligrafi Arab: intahat immarah masjid jaami Cikini al-ma’murah am 1381 hijriyah muwafid 1931. Inti dari kalimat Arab itu adalah Masjid Jami Cikini, yang sekarang menjadi Masjid Jami Al-Makmur dibangun pada 1931. Di atas kaligrafi itu, hingga sekarang, kita masih bisa melihat lambang organisasi Sarekat Islam berupa bintang dan bulan sabit.

Mencari Raden Saleh dari Cikini ke Bogor
Tampak depan Masjid Jami Al-Makmur Cikini yang diwakafkan Raden Saleh/Fandy Hutari

Peristirahatan Terakhir di Bogor

Raden Saleh lalu memulai petualangan barunya di Bogor. Saya beranjak dari Masjid Jami Al-Makmur, berjalan menuju Stasiun Cikini. Dari sini, saya naik kereta komuter menuju Stasiun Bogor untuk mencari jejak Raden Saleh di Bogor.

Sesampainya di Kota Hujan, saya mencari bekas tempat tinggal Raden Saleh dan istrinya. Dari berbagai informasi, saya menemukan bekas rumah Raden Saleh, yang kini menjadi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor, persis di sebelah pusat perbelanjaan Bogor Trade Mall.

Rumah yang ditinggalinya di Bogor, sebelumnya merupakan rumah milik Sultan Tamjidillah, penguasa Kerajaan Banjarmasin yang diasingkan ke Bogor. Menurut Iksaka Banu dan Kurnia Effendi,4 Tamjidillah juga punya selera seni yang tinggi. Raden Saleh kagum dengan lokasi rumah itu. Di belakangnya, ada pemandangan Gunung Salak, terhampar pula Lembah Cisadane dengan sungai yang panjang berliku. Di seberangnya, ada Kebun Raya Bogor. Sementara Bogor Trade Mall, dulunya adalah Hotel Belle-Vue.

Peristiwa pemberontakan di Tambun, Bekasi pada 1869 membuat Raden Saleh dituding terlibat. Sebanyak 50 tentara mengepung rumahnya di Bogor. Dia diinterogasi Residen Bogor. Meski tak terbukti terlibat dalam pemberontakan itu, gerak-geriknya tetap diawasi pemerintah kolonial.5

Menurut Harry A. Poeze,6 Raden Saleh sempat merenung dan bertanya kepada dirinya sendiri, bagaimana mungkin orang bisa menyangka dia ikut-ikutan dalam perbuatan semacam itu.

“Apakah sesudah 23 tahun lamanya berada di Eropa, di tengah kalangan yang beradab, saya akan merendahkan diri di sini bercampur gaul dengan para bandit, perusuh, dan entah apalagi yang lain, untuk bersekongkol dengan sampah masyarakat dan memberontak melawan pemerintah yang sampai waktu ini pun masih selalu melimpahkan kebajikan kepada saya?” katanya.

Makam Raden Saleh sebelum dan sesudah direnovasi (kanan) di Bogor/Fandy Hutari

Setelah itu, gairahnya melukis seakan sirna. Dia pun rindu dengan dunia Eropa. Pada 1878 hingga 1879, bersama istri dan anak adopsinya bernama Sartinah, Raden Saleh kembali berkeliling kota-kota di Belanda, Italia, dan Prancis. Nostalgianya ke Eropa seakan menjadi salam perpisahan terakhir. Tak lama usai pulang ke Bogor, tepatnya pada 23 April 1880, Raden Saleh meninggal dunia. Dia dimakamkan di lahan milik keluarga bangsawan Sunda, Raden Panoeripan.

Kini, makamnya masih bisa kita lihat. Saya berziarah ke makamnya sebanyak dua kali, tahun 2016 sebelum direnovasi dan tahun 2022. Untuk menuju makam Raden Saleh, ada petunjuk di gapura Gang Raden Saleh Syarif Bustaman di Jalan Pahlawan, Kota Bogor. Ya, saya harus masuk ke gang dengan rumah-rumah berimpitan di kiri-kanan. Makam Raden Saleh yang sudah direnovasi, ditambahi atap mirip pendopo, dengan lukisan dan beberapa buku bertumpuk, serta lampu hias di atasnya. Di sini, terdapat pula makam istri Raden Saleh, yang wafat tiga bulan setelah sang maestro meninggal.


  1. Werner Kraus, “Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya” (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018). ↩︎
  2. Tim TEMPO, “Ali Sadikin: Gubernur Jakarta yang Melampaui Zaman” (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2023). ↩︎
  3. Abdul Baqir Zein, “Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia” (Jakarta: Gema Insani Press, 1999). ↩︎
  4. Iksaka Banu dan Kurnia Effendi, “Pangeran dari Timur” (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2020). ↩︎
  5. Werner Kraus, “Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya” (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018). ↩︎
  6. Harry A. Poeze, “Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950” (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008). ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jurnalis, tinggal bersama istri di Jakarta. Gemar membaca dan jalan-jalan.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Jejak Perlawanan Bung Karno di Bandung