Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, karena perlawanannya terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dianggap kompromis terhadap Belanda (Haryanto via Tirto.id, 2023).

Tempat masa kecil Tan Malaka itu bernama Nagari Suliki. Tepatnya Gunuang Omeh, sebuah negeri yang terletak di sisi selatan Kota Padang dan Payakumbuh. Nagari Suliki didukung dengan sumber daya dan keelokan alamnya. Hal itu dapat dilihat dari letak geografis Nagari Suliki yang dialiri sungai dan dikelilingi perbukitan.  

Di negerinya, Tan Malaka dikenal dengan nama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Terlahir dari seorang ibu bernama Rangkayo Sinah Simabur, salah satu putri dari keluarga yang terpandang, dan ayah bernama H. M. Rasad Bagindo Malano yang memiliki latar sebagai buruh tani.

Tan Malaka kecil tumbuh dengan ketangkasan dan kecerdasan berbasis pendidikan surau yang ada di sebagian besar wilayah Minangkabau silam. Maka ia pun tangkas pula dalam hal mengaji dan silat, seperti penuturan Zulfikar Kamaruddin—keponakan Tan Malaka dari garis ayah—dalam wawancara Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka di Metro TV (12/7/2017).

Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya
Tampak depan rumah Tan Malaka/Raja Syeh Anugrah

Kontradiksi

Namun, kebesaran Tan Malaka ternyata berbanding terbalik dengan kondisi rumahnya. Saya mendapati kondisinya amat memilukan. Bagi orang-orang yang pertama kali berkunjung ke rumahnya, seperti saya, spontan akan mengatakan, “Betapa tidak terawatnya rumah ini.”

Bahkan sekadar plang jalan yang menunjukkan “Rumah Tan Malaka” saja tidak ada sama sekali. Informasi itu hanya tertulis di dinding rumah warga yang sukar untuk orang ketahui. Sementara di aplikasi Google Maps, terdapat dua titik “Rumah Kelahiran Tan Malaka” yang mengantarkan ke tempat asing.

Alhasil, sebelum ke tempat sebenarnya, saya dan Kak Wina—seorang kakak senior di salah satu lembaga relawan sekaligus orang lokal dari Limo Puluh Koto—kala itu nyasar sekitar 4–5 km. Atau bisa dikatakan titik yang hendak kami tuju sudah jauh terlewat.

Jalanan yang tidak begitu lebar, berliku, dipenuhi kebun-kebun masyarakat, dan rumah-rumah yang jarang membuat kami agak kesulitan. Hal itu membuat kami harus kembali berputar setelah titik tuju yang tadi cukup jauh terlewat. Barulah akhirnya kami tiba di rumah kelahiran Tan Malaka yang berlokasi tepat di Gunuang Omeh, Suliki.

Setiba di sana kami mendapati hamparan halaman membentang, bangunan dengan ciri khas rumah Gadang, tiga buah kuburan, tiang bendera yang tengah berkibar, dan patung Tan Malaka tegak dengan gagahnya. Letaknya tak jauh dari tepi jalan raya Suliki.

Namun, di Lokasi saya tidak mendapati satu orang pun yang berjaga maupun yang sekadar memberikan informasi mengenai sejarahnya. Meskipun begitu saya masih bisa masuk karena memang tidak dikunci. Di dalam rumah terdapat beberapa buku koleksi yang sama sekali tidak terawat, foto-foto Tan Malaka, dan sederet orang-orang yang menyandangkan gelar Tan Malaka.

Kala menyaksikan betapa tidak terawatnya rumah Tan Malaka, sejenak saya bergidik, “Apakah cahaya sejarah di negeri ini sudah tidak hidup lagi sebagaimana esensi kesohoran namanya di tanah air ini?”

Merawat Sejarah

Sejarah kerap dianggap sangat membosankan. Di dalam sejarah hanya berkisah cerita masa lalu. Padahal jika dipahami benar, mereka yang membaca sejarah adalah orang-orang yang memiliki pandangan besar ke masa depannya. Sebab ia telah mengetahui bagaimana orang-orang terdahulu berjuang untuk peradaban.

Berdasarkan hasil diskusi ringan saya dengan beberapa teman dari Lima Puluh Kota, sebelum saya benar-benar pergi ke rumah Tan Malaka, sebagian di antara mereka tidak mengetahui benar siapa Tan Malaka dan peran besarnya terhadap bangsa. Ditambah keberadaan Tan Malaka di Suliki yang seharusnya dapat menjadi mercusuar informasi sejarah, justru malah tidak dihiraukan begitu saja.

Padahal ketika saya dan Kak Wina ke rumah Tan Malaka, di tangga rumahnya berdiri sebuah bangunan kecil yang tidak permanen bertuliskan “BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya)”. Bahwa memang benar, rumah Tan Malaka telah masuk ke dalam situs cagar budaya. Akan tetapi, skala perawatannya tidak berlanjut.

Jika kita tarik kembali ke masa lalu. Masa kecil Tan Malaka di negeri Suliki dihabiskan di surau, yakni sebuah tempat di mana sistem pendidikan tradisional Minangkabau dijalankan. Aktivitasnya seputar mengaji, bersilat, dan mendalami agama Islam. Dari sana kemudian Tan Malaka melanjutkan sekolah guru di Kweekschool, Bukittinggi yang sekarang berganti menjadi SMAN 2 Bukittinggi.

Selepas ia lulus, Tan Malaka disarankan oleh G. H. Horensma, gurunya di Kweekschool, untuk melanjutkan studi ke Belanda. Karena kendala ekonomi yang dihadapi, masyarakat negeri Suliki itulah yang turut membantu meringankan biaya Tan Malaka untuk berangkat ke Belanda, termasuk Horensma yang meminjamkan uangnya.

Tan Malaka memang dianggap sebagai komunis oleh sebagian orang. Namun, bukankah ia sudah menuliskan di autobiografinya “Dari Penjara ke Penjara”: saya di depan manusia adalah komunis, jika di depan Tuhan saya adalah seorang muslim, sebab di antara manusia banyak setan-setan. Penuturan dari keponakan Tan Malaka bahkan menyebut ia adalah seorang penghafal Quran.

Jadi, artian komunis memang ada betulnya disebabkan bergabungnya Tan Malaka ke dalam Komunis Internasional di Uni Soviet kala itu. Tan Malaka kemudian menyandang posisi sebagai perwakilan Partai Komunis di Asia. Itu pun tidak lama, Tan Malaka kemudian beralih dari kiblat komunis di Rusia setelah ia memberikan pendapat agar adanya perhatian khusus terhadap Pan-Islamisme. Namun, hal itu tertolak dan membuat Tan Malaka berjalan di garis ideologinya sendiri.

Sekiranya ini sekelumit kisah dari kesohoran Tan Malaka. Masih banyak hal lainnya, seperti saat Tan Malaka menjadi guru di perkebunan tembakau di Deli, Sekolah Rakyat di Semarang, hingga mengonsep Republik dan mendorong agar Indonesia merdeka seratus persen tanpa kooperatif. Sebab ucapnya, “Bahwa tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang ada di rumahnya.”

Merawat sejarah tidak hanya merawat ingatan singkat manusia, tetapi juga merawat pengetahuan masyarakat dari generasi ke generasi. Tujuannya agar tetap mengenal siapa itu Tan Malaka yang berasal dari negerinya, Suliki.

Luruskan Niat ke Rumah Tan Malaka

Saya sangat menyarankan bagi siapa pun yang hendak pergi ke rumah Tan Malaka, hal paling utama adalah luruskan niat. Ini agaknya remeh-temeh, tetapi memang benar. Bagi seseorang yang berniat baik untuk ke rumahnya, maka akan ada saja kemudahan.

Dari Kota Payakumbuh berjarak sekitar 33 km dengan waktu tempuh satu jam. Kalau dari Padang lebih jauh lagi, jaraknya 150 km dengan durasi perjalanan hampir empat jam. Di rumah Tan Malaka sama sekali tidak ada sistem tiket. Ini bukan objek wisata sejarah, melainkan lawatan minat khusus bagi yang hendak menapaki jejak kesejarahannya.

Untuk selanjutnya, pahami medan perjalanan dan baca-baca biografi Tan Malaka, agar ketika berada di sana kita dapat memahami esensi sejarah yang melekat pada rumah Tan Malaka dan pusaranya. Hal ini untuk jaga-jaga pula jika setibanya di sana sama sekali tidak mendapati penjaga yang dapat memberikan informasi, setidaknya kisah masa kecil Tan Malaka.

Terlebih informasi yang sama sekali tak tertulis di dalam buku-buku ilmiah maupun garapan sejarawan. Seperti ketika orang tua Tan Malaka meninggal dunia, ia tidak dapat pulang ke negeri Pandam Gadang. Atau informasi dari Ayah Kak Wina yang asli dari Lima Puluh Kota, yang menyebutkan bahwa Tan Malaka memiliki kemampuan mengubah wajah. Dan dialah yang menjadi imam salat kala orang tuanya wafat.

Meski kondisi rumah Tan Malaka sangat memprihatinkan, saya rasa pada bagian halaman di rumahnya masih ada yang merawat. Begitu pun kuburannya. Hanya saja saya berandai-andai adanya tindakan tepat dari pihak yang tepat dan memberikan perhatian lebih pada peninggalan sejarah.

Peninggalan sejarah bukan bermakna mesti ditinggalkan, melainkan diperhatikan. Terlebih Badan Pelestarian Cagar Budaya sudah menancapkan namanya sendiri. Keberlanjutan pelestarian tentu menjadi hal yang sangat diharapkan. Kita berbicara sejarah dan ingatan yang mesti terus dirawat.


Referensi:

Haryanto, A.  (2023, 2 November). Biografi Tan Malaka dan Kisah Hidup Sang Pahlawan Nasional. Tirto.id. Diakses pada 27 Mei 2024 dari https://tirto.id/biografi-tan-malaka-dan-kisah-hidup-sang-pahlawan-nasional-ggw8.
Metro TV. Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka (1). Youtube Video. 12 Juli 2017. Dari https://youtu.be/JwpUQxWJEVg?si=ryf3SRc6QzjKzo59.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar