Seperempat abad lalu nama Prau tak terdengar. Setidaknya bagi kami, pendaki pelajar yang mulai mengakrabi gunung berketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Gunung Sindoro dan Sumbing jadi pilihan ketika hendak bertualang ke dataran tinggi Dieng wilayah Wonosobo. Alhamdulillah, saya sudah lulus menapaki “S3”: Sindoro (2002), Slamet (2003), dan Sumbing (2005).
Yanganto (42) adalah kompatriot masa SMA dulu. Bareng anak Indramayu itu, saya menjajal Sindoro via Kledung. Lalu besoknya menyeberangi jalan provinsi lintas Wonosobo–Temanggung, mampir ke base camp (BC) Sumbing via Garung.
Sabtu–Minggu lalu, 22–23 November 2025, kami nostalgia ke Dieng. Merayakan 25 tahun persahabatan. Prau dijajal karena alasan teknis. Yanganto baru mendaki lagi. Dengkulnya sempat cedera akibat badminton.

Anak Gadis Menyesaki Base Camp
Kami pilih jalur Dwarawati di Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara. Berharap sepi pengunjung. Sudah umur 40-an tahun, ingin meresapi pendakian dalam sunyi. Mendekap kelembapan hutan. Menghirup udara segar sepuasnya. Melupakan keruwetan kota.
Berangkat dari Cirebon selepas Isya (21/11/2025), Yanganto mengarahkan mobil ke tol Kanci keluar Weleri. Lanjut menuju Dieng via Parakan lintas kebun teh Tambi. Peta digital memandu kami dan tiba di base camp (BC) Dwarawati pukul 02.00 WIB.
Dingin menggigit. Petugas BC berambut gondrong mempersilakan kami beristirahat di rumah kayu. Ini tempat singgah pendaki sebelum nanjak ke puncak. Sandal berserakan di depan pintu. Begitu masuk, sekeliling penuh pendaki kemulan dalam kantong tidur.
Kami taruh bawaan di tengah ruangan. Langsung keluarkan sleeping bag, berlindung dari udara menggigil. Mata sulit dipejamkan. Sesaat kemudian riuh terdengar. Alarm ponsel bersahutan. Pendaki yang mau tektok bersiap. Alamak, baru juga mau tidur.
Prak, prak, prak, suara langkah orang menapaki papan alas rumah kayu, tertangkap nyaring oleh telinga. Berusaha tak acuh, tapi tetap terdengar. Saya duduk sejenak, memperhatikan sekitar. Pendaki wanita mendominasi. Wangi perlengkapan kecantikan menyeruak. Mereka dandan dulu sebelum mendaki.
Pukul 04.00, azan Subuh berkumandang. Saya dan Yanganto bangun. Melupakan urusan tidur. Kami segera ke musala. Dingin menyergap. Saya pasang penutup kepala. Sebentar melihat pendaki tektok registrasi. Setelah itu menuju kran air wudu. Brrrr… Jangan tanya gimana dinginnya! Semoga menjadi penghapus dosa dan penambah pahala.
Saya diimami ayah muda, setelan kemeja flanel plus celana hiking. Jaket windproof membalutnya. Pakai kupluk. Selesai salat kami ngobrol. Ternyata ia dari Kuningan. Saya terpingkal. Ini mah, ketemu orang sendiri. Sesama penikmat Ciremai.
Dia naik bersama istri dan anak. Ini kunjungan kedua ke Prau. Sebelumnya lewat Patak Banteng. “Pekan lalu saya dari Sindoro, sekarang sengaja ke Prau lagi. Mau tektok saja,” katanya dibarengi uap dingin serupa asap rokok mengepul dari mulut.
Tak Mau Kesiangan
Warung nasi masih tutup. Kami enggan menunggu lama. Target pukul 07.00 start mendaki. Kami putuskan masak sarapan. Meliwet nasi dan merebus mi plus telur. Pembuka hari, tentu saja kopi arabika. Saya bawa Ciwidey Honey dari Genesis, Lembang.
Prosedur biasanya, sih, kalau ada penjual nasi rames, kami makan pagi di situ lalu memesan nasi bungkus untuk makan siang di jalur pendakian. Lebih efisien dan hemat waktu. Tapi tenang, selalu ada antisipasi kalau satu rencana meleset. Ini pentingnya manajemen perjalanan dan perbekalan.
Pukul 07.30 kami mulai bergerak. Menyempatkan foto dulu di gerbang ikonis segitiga lancip. Durasi perjalanan dua sampai tiga jam hingga puncak. Saya memimpin di depan. Yanganto sibuk membuat vlog. Sengaja bawa tripod baru. Maklumlah, lebih dari satu dekade, ayah Mikhai absen mendaki.

Tanjakan “selamat datang” mengawali trek Dwarawati. Sebelah kiri kebun kentang berundak. Sebelah kanan cemara gunung menjulang. Begitu lepas dari tutupan hutan, pemandangan terbuka ke arah perdesaan. Salah satu kawah aktif dataran tinggi Dieng menyemburkan asap vulkanik. Puncak Merbabu menyemangati di kejauhan. Keren!
Kami terus menambah ketinggian. Pos 1 Cemara Dungkar (2.292 mdpl) dicapai pukul 08.12. Keringat bercucuran. Napas mulai menemukan ritmenya. Tak mau kehilangan “panas mesin”, saya lanjut naik.
Di tengah perjalanan, Yanganto menyusul. Memanggil saya untuk memvideokan langkahnya. “Sampai kelokan di depan, rekam, ya!”
Saya mengangguk, dan dia berjalan dengan carrier Leusernya yang berumur 25 tahun. Tas merek yang sama juga saya beli. Hanya saja pensiun duluan. Baru tahun 2022 saya punya carrier baru. Cover bag Eiger merah tahun 2004 dengan logo oval (bukan segitiga tropical) setia menempel di carrier saya.
Percabangan Rute di Pos 2 dan 3
Banyak jalur menuju puncak Gunung Prau. Paling populer Patak Banteng, Wonosobo. Lainnya Kalilembu dan Igirmranak (Wonosobo), serta Wates (Temanggung). Pos 2 Semendung via Dwarawati merupakan pertemuan dengan jalur Dieng Wetan (Wonosobo).
Area Pos 2 Semendung rimbun cemara gunung. Ada di ketinggian 2.394 mdpl. Puncak Sindoro tampak ranum di sebelah barat. Seolah bisa disentuh. Tanah datar membuat betah rehat lama. Yanganto belum tampak jua. Saya potret patok batu segi empat penanda batas wilayah Wonosobo dan Batang. Terus lanjut mendaki. Cuaca sejuk, langit berawan.
Permukaan jalur kemudian dipenuhi akar-akar pohon. Hingga di sebuah tanjakan, akar yang menyembul-bersilangan merajalela. Menuntut keseimbangan langkah. Ini kawasan Akar Cinta. Tak mudah menapakinya. Jangan sampai tersandung. Atau salah pijak, bisa terjepit celah akar. Kalau sampai jatuh, malu sama anak dara yang berpapasan turun.
Tanjakan Akar Cinta tidak lebih dari seratus meter. Namun, menguji kemantapan langkah dan konsentrasi. Energi terasa terkuras. Jantung berdegup kencang. Tetap fokus! Tegakkan carrier. Titilah tengah jalur. Jangan ke pinggir, rentan terpeleset. Pilih pijakan yang pas. Bisa menaklukkan Akar Cinta, jadi pembuktian kita siap berjuang mencumbui Prau nan jelita.


Jalinan akar pepohonan besar merangsek ke permukaan jalur antara Pos 2–Pos 3/Mochamad Rona Anggie
Tantangan Menuju Pos 3
Medan menanjak berkelok. Berlumpur di beberapa titik. Perjalanan ke Pos 3 tak lagi dinaungi kanopi pepohonan besar. Vegetasi berganti rerumputan-semak. Jalan setapak bersisian dengan jurang dalam. Pengingat “awas jurang” bertebaran. Pendaki jangan lengah.
Pita melintang menutupi percabangan ke arah bukit yang di pucuknya terdapat menara pemancar—dilarang ke sana. Rute menyempit. Pendaki yang tektok bergelombang turun. Kami bertegur sapa. Saling menyemangati. Sebuah relasi khas antarpetualang.
Jelang tanjakan ke area Pos 3, ada percabangan rute Kalilembu. Trek konstan menanjak. Ujungnya terdapat celah dirimbuni pepohonan. Saya tiba di Pos 3 Lothong pukul 09.42. Ramai pendaki di sini. Mereka yang turun gunung, rehat sejenak. Bertukar tawa dan berbagi kegembiraan bareng sejawat. Sementara yang mau naik, melepas lelah sambil minum sekenyangnya. Saya santap cokelat sebagai penambah tenaga.
Yanganto tertinggal di belakang. Tujuan berikutnya adalah puncak. Semangat bergelora. Saya tancap gas. Berniat menanti sahabat saya di titik tertinggi Gunung Prau.
Setapak lalu berbelok dan menyempit. Kian terjal. Tak lama berselang, undakan batuan besar mengadang. Plang “Batu Khayangan” tertempel di sebuah pohon. Saya ambil napas, dan siap menggenjot langkah pamungkas untuk menggapai puncak.

Antrean di Puncak
Tujuan terasa depan mata. Benar saja. Selepas melewati bebatuan, tanah lapang terhampar. Persis di mulut tanjakan, tiga pendaki tepar di bawah naungan cemara gunung. Di ujung sana, pendaki berbaris. Mengantre rupanya. Untuk apa gerangan?
Saya melangkah pelan sambil menyelidik sekitar. Mendekati kerumunan pendaki, plang besar bertuliskan “Selamat Datang di Puncak Gunung Prau 2.590 mdpl” membuat mata ini berbinar. Senyum kecil tersungging. Carrier masih di punggung, saya kitari kawasan puncak. Menikmati kesendirian. Berharap Yanganto segera datang.
Start dari BC Dwarawati pukul 07.30, saya tiba di puncak pukul 10.12. Capaian waktu 2,5 jam terbilang ideal untuk pendaki yang membawa carrier. Petugas di bawah menyebutkan estimasi sampai puncak adalah dua jam untuk yang tektok dan tambah satu jam bagi yang bawa perbekalan camping.
Koneksi internet yang saya pakai oke punya. Sepertinya provider-nya merajai dataran tinggi Dieng. Sedangkan operator seluler lainnya termehek-mehek. Memang begitu saat menjelajah alam terbuka. Beruntung kalau dapat sinyal bagus. Saya langsung video call keluarga di rumah.
Anak lelaki ketiga saya, Muhammad (11), terperangah ketika tahu ayahnya sudah di puncak. “Cepat banget,” komentarnya. Saya jelaskan perjalanan ke puncak hanya dua-tiga jam saja. Mirip ke Pos 1 Cigowong, pendakian Ciremai via Palutungan. Anak kelas lima SD itu paham, karena sudah lima kali menggapai puncak Ciremai dan sekali ke Slamet.

“Nanti mau coba Prau, ah,” katanya riang.
Beres mengabari keluarga, saya rebahkan carrier di sebuah batang pohon. Sekerat roti dan susu kotak mengisi perut. Sejam kemudian, Yanganto tampak. Saya menggodanya, “Selamat datang di Pos 4…”
Dia sempat bingung. Tapi begitu saya tuntun ke kerumunan pendaki yang sedang antre foto, dia pun sadar sudah di puncak. Kami berangkulan dan tertawa lepas. Remaja di sekitar ikut senang, dua om pendaki bergaya layaknya kawula muda. Yeah!
Foto sampul: Area Pos 2 Semendung Gunung Prau via Dwarawati (Mochamad Rona Anggie)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Mochamad Rona Anggie tinggal di Kota Cirebon. Mendaki gunung sejak 2001. Tak bosan memanggul carrier. Ayah anak kembar dan tiga adiknya.











