Perjalanan awal tahun ini, tepatnya 26–29 Januari 2025, membawa kaki saya ke gunung menakjubkan di timur Indonesia, Gamkonora. Gunung Gamkonora terletak di Desa Gamsungi, Kecamatan Ibu, Halmahera Barat, Maluku Utara.
Dari Bandara Sam Ratulangi Manado, pesawat lepas landas pukul 12.00 WITA dan mendarat di Bandara Sultan Babullah Ternate satu jam kemudian. Untuk sampai ke Gamkonora bisa dengan pesawat dan kapal laut, keduanya akan berlabuh di Ternate lalu menyeberang ke Halmahera dengan kapal laut.
Tiket kapal yang saya pesan dijadwalkan berangkat dari Pelabuhan Ahmad Yani Ternate ke Pelabuhan Jailolo di Halmahera pukul 15.00 WIT. Masih ada waktu dua jam, yang saya manfaatkan untuk menikmati Kota Rempah ini.
Saya tiba di Pelabuhan Ahmad Yani tepat ketika jam tangan saya menunjukkan pukul 14.45. Sialnya, kata petugas, kapal sudah berangkat kurang lebih satu jam yang lalu. Saya lupa, saya baru saja beralih zona dari Waktu Indonesia Tengah (WITA) ke Indonesia Timur (WIT).
Dari arahan petugas, saya ke Pelabuhan Dufa-Dufa, pelabuhan untuk speed boat atau kapal cepat. Di pelabuhan ini saya bertemu dengan beberapa orang yang juga akan mendaki Gamkonora: Dani, Aldi, Muja, Gun, dan sepasang pengantin baru, Rifan dan Fani—kurang romantis apa menikmati bulan madu di Gamkonora? Mereka berasal dari Ternate. Sementara saya, Azer, Ningsih, dan Monic dari Manado.
Rencana awal saya akan mendaki sendiri. Namun, karena tujuan kami sama, kami sepakat bergabung jadi satu tim.
Menyeberang dengan speed boat memakan waktu sekitar 45–60 menit, relatif lebih cepat dibandingkan dengan kapal laut biasa yang lebih besar. Harga tiketnya kisaran Rp80.000–100.000. Selama penyebrangan, Gunung Gamalama dan Pulau Tidore terlihat dari laut.
Tiba di Pelabuhan Jailolo, kami langsung ke Desa Gamsungi yang memakan waktu kurang lebih dua jam perjalanan dengan mobil. Biayanya Rp100.000 sekali jalan. Rumah pemilik mobil, Pak Ikram, juga kami jadikan sebagai tempat bermalam.

Pendakian Terjal ke Kawah Gamkonora
Udara pagi di kaki Gunung Gamkonora mengiringi langkah kami menuju pos registrasi. Sebelum start, pendaki wajib melapor di pos dan membayar uang masuk Rp25.000 per orang serta mendapatkan arahan dari petugas di Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) tentang aturan serta tata krama pendakian. Seperti halnya gunung-gunung lain, Gunung Gamkonora juga memiliki aturan adat di jalur pendakian yang disebut “keramat”.
Sekadar info, Gunung Gamkonora masih aktif dan dilalui oleh jalur cincin api (Rings of Fire). Sebagai catatan, saat merencanakan mendaki Gamkonora perlu mengecek status gunung stratovolcano itu terlebih dahulu.
Usai registrasi dan mendapat arahan, kami menentukan komposisi tim. Dani, satu-satunya yang pernah mendaki gunung ini, dijadikan leader sekaligus navigator. Saya menawarkan diri sebagai sweeper.
Kami memulai pendakian sekitar pukul 11 siang. Titik start berada tepat di depan kantor PGA. Perjalanan ke Pos 1 melewati perkebunan kelapa, cengkih, dan pala. Tidak heran, Maluku secara umum dikenal sebagai penghasil rempah yang menarik perhatian penjajah Portugis di masa lampau. Di Pos 1, ada warung kecil yang menjajakan aneka makanan ringan, minuman, hingga rokok.
Melewati Pos 1, jalur pendakian mulai terjal. Kampung di sekeliling kaki Gunung Gamkonora mulai terlihat dari atas. Mendekati Pos 2, bentangan laut Maluku sudah tampak. Makin jauh perjalanan ke atas, vegetasi makin rapat, terutama saat meninggalkan Pos 2 hingga pertengahan Pos 4 dan Pos 5. Di titik ini, kami meniti tanjakan curam, licin, dan berlubang di tengah vegetasi alang-alang yang menjulang tinggi—warga setempat menyebutnya kano-kano.
Di jalur kano-kano inilah terdapat keramat. Keramat ini berbentuk gundukan tanah seperti kuburan, di atasnya diletakkan batu-batu kecil membentuk lingkaran. Di dalam lingkaran itu, beberapa pendaki meletakkan koin sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya dan adat lokal. Konon keramat ini dipercaya oleh masyarakat lokal sebagai makam nenek moyang.

Ibarat pepatah, semakin tinggi mendaki, semakin menakjubkan pemandangannya. Di Pos 5, selepas vegetasi kano-kano, kami disuguhkan pemandangan memanjakan mata. Bekas lelehan lava yang mengeras di lereng Gunung Gamkonora tertutupi hijaunya hutan. Di atas, puncak Gamkonora serta dua tebing ikonisnya mulai terlihat. Hanya butuh waktu 45 menit untuk sampai di kawah, tempat mendirikan tenda.
Dani, Monic, Azer, Aldi, dan Ningsih lebih dulu tiba di kawah dan mendirikan tenda. Sementara Rifan, Fani, Guntur, Muja, dan saya menyusul sekitar pukul tujuh malam. Berdasarkan jarak dan medannya, jalur ke kawah dapat ditempuh kira-kira 4–5 jam.
Tenda sudah terpasang, kami memasak nasi dan air hangat. Setelah semuanya rampung, termasuk makan malam, kami bercengkerama di luar tenda. Malam itu hujan tidak turun. Langit cerah, bintang-bintang terlihat jelas, membuat kami leluasa menebak posisi zodiak semaunya. Pukul 12 malam, kami pun istirahat.

Keunikan Kawah Gamkonora
Kawah Gamkonora terbentuk dari bekas kubangan mulut magma, meninggalkan cekungan besar. Di ujung kawah terlihat asap solfatara putih kehijauan yang rutin tersembur dari mulut gunung. Saat hujan turun, sebagian akan terisi air membentuk danau.
Lempengan batu tersusun saling bertumpuk membentuk tebing tinggi berhias rumput di sela-selanya, seakan membuat mata malu memandangi keindahannya. Genangan air di kawah menambah daya magis, seakan menyihir untuk berlama-lama di tempat ini. Berdiri di tengah kawah membuat saya membayangkan lokasi syuting video klip lagu Gerua yang dinyanyikan Shah Rukh Khan.
Pemandangan berbeda akan tampak di kawah ini sewaktu hujan. Dari atas tebing-tebing batu terbentuk air terjun kecil yang menyebar sepanjang dinding tebing. Inilah yang unik dari Gamkonora. Jika banyak pendaki yang berharap tidak turun hujan saat mendaki gunung, di Gamkonora berbeda. Pendaki justru mengharapkan hujan turun agar dapat menyaksikan kemunculan air terjun kecil dari tebing gunung.
Hal yang sama juga saya rasakan. Selama berada di kawah, saya sempat berharap hujan deras turun supaya tebing Gamkonora menampakkan jati dirinya yang lain. Seorang pendaki yang sempat saya ajak berbincang cerita, dia pernah mengantarkan istrinya yang sedang hamil ke kawah ini ketika musim hujan, karena sang istri ngidam melihat air terjun dari tebing Gamkonora.

Panorama 360 Derajat dari Puncak Gamkonora
Kawah bukan satu-satunya daya tarik gunung Gamkonora. Puncak sejati, dengan ketinggian 1.635 meter di atas permukaan laut (mdpl) sekaligus titik tertinggi Pulau Halmahera, tak kalah menakjubkan.
Usai salat Subuh, pukul 05.00 kami menuju puncak. Jalurnya terjal dengan kontur tanah berbatu dan kerikil lepas. Harus berhati-hati karena kadang ada batu yang lepas setelah terinjak dan menggelinding ke bawah.
Mendekati puncak, kami mendapati menara pendeteksi aktivitas gunung api. Dari kawah, perlu waktu 45–60 menit untuk mencapai puncak.
Di puncak, bentangan hijau hutan Halmahera menyegarkan mata. Pun birunya laut Maluku seakan tidak berujung dinikmati dalam waktu yang bersamaan. Kampung dan rumah penduduk di kaki Gunung Gamkonora serta kapal nelayan yang berlayar di laut lepas terlihat dengan jelas.
Di sisi utara, pemandangan tak kalah memukau tersaji, Gunung Ibu yang sesekali mengeluarkan asap abu vulkanik. Jauh di belakangnya berdiri Gunung Dukono di atas Kampung Tobelo. Ketika mendaki Gamkonora, Gunung Ibu sedang erupsi yang mengakibatkan warga setempat terpaksa mengungsi.
Saat memandang ke bawah, danau kaldera tampak seperti cermin raksasa yang memantulkan bayangan langit biru. Di sekelilingnya warna-warni tenda pendaki terlihat sangat kecil. Sementara di ujung selatan kaldera tampak menakjubkan dan menakutkan di waktu bersamaan. Dapur magma yang selalu memuntahkan asap belerang disertai suara desau yang cukup bising.
Keindahan Gunung Gamkonora layak dipadankan dengan gunung Rinjani. Jika saya menyebut Rinjani sebagai gunung tercantik di Indonesia, maka Gamkonora ada di urutan kedua. Tak heran, gunung ini menjadi destinasi para pendaki dari berbagai penjuru Nusantara hingga luar negeri.

Keunikan Lain dan Kepulangan
Tepat di tengah jalur sebelum turun ke kawah, terdapat sebuah batu yang sekilas tampak menyerupai kubah masjid. Jika berdiri di antara batu ini dan posisi masjid kampung di kaki gunung, kami akan berada dalam satu garis lurus dengan kiblat. Masyarakat setempat meyakininya batu nisan dari seorang waliyullah. Sebagian yang lain percaya itu merupakan kubah masjid di alam lain.
Hal unik lainnya yang membuat pendakian di Gamkonora ini lebih berkesan adalah antusiasme warga. Saya melihat warga bergantian naik turun gunung menjemput jika ada pendaki yang mengalami masalah, tidak peduli hujan maupun malam. Kami menemukan warga yang naik ke Pos 4 menjemput pendaki pada pukul dua dini hari. Saya secara pribadi tidak keberatan membayar 25 ribu bahkan lebih jika diperlukan melihat pelayanan yang diberikan oleh warga lokal.
Siangnya, 29 Januari 2025, kami meninggalkan Kecamatan Ibu dan diantar pulang Pak Ikram ke Pelabuhan Jailolo. Dari Jailolo kami kembali ke Dufa-Dufa. Di sini kami berpisah dengan Rifan, Fani, dan Gun. Sementara, Dani, Aldi, dan Muja mengajak saya dan lainnya menikmati papeda, makanan khas Maluku.
Papeda adalah sagu yang disiram air panas, diaduk hingga mengental lalu dicampur dengan kuah bertabur rempah dan daging ikan. Di Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan dan sekitarnya, masyarakat setempat menyebutnya kapurung. Puas menikmati papeda, kami berpisah. Azer, Monic, Ningsih dan saya menuju Pelabuhan Ahmad Yani Ternate untuk kembali ke Manado.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Keren bang ..😭😭🙏
baca ini jadi bikin saya nambah semangat untuk pergi ke gunung gamkanora, terima kasih karena udah mau berbagi pengalamannya bang.