Menjelang perayaan Natal tahun lalu, mobil kami berhenti di Panatapan Sippan Saribudolok setelah menempuh hampir tiga jam perjalanan dari Pematangsiantar. Gerimis yang menemani membuat udara terasa semakin dingin, seakan menghantarkan kami untuk memilih tidur daripada berkeliling bukit-bukit di sekitar Danau Toba. Langit menuju gelap, rasa kecewa hampir saja tertanam karena gagal melihat senja.
Hujan semakin deras. Kami memilih untuk berteduh di rumah Bang Lingga, seorang pemilik camp site tempat mendirikan tenda. Sebagai orang Batak kami menemukan sebutan masing-masing untuk menyapanya. Secara khusus saya memiliki silsilah keturunan yang sama yaitu berasal dari Oppung Tuan Sorbadibanua dari keturunan Raja Batak, Raja Isombaon. Oleh karena beliau adalah perempuan maka dari partuturan Batak saya dari marga Silalahi, saya memanggilnya Namboru.
Pemilik rumah menyajikan minuman hangat dan kami begitu menikmatinya. Hawa dingin seketika itu hilang, seruput demi seruput kami habiskan teh tadi sembari bercengkrama. Ternyata, hangatnya sore ini mengobati rasa kecewa yang hampir menyapa karena gagal melihat matahari terbenam. Memang sih, sebelumnya Namboru menyampaikan bahwa hujan belum reda sejak siang tadi, jadi kami tak begitu kecewa.
Saat menunggu makan malam yang sedang disajikan oleh beberapa personil camping, saya bertanya kepada Namboru tentang bagaimana ceritanya tempat ini menjadi kawasan wisata Panatapan Danau Toba, Boru Lingga Sippan. Beliau lalu menjawab dengan aksen Simalungun yang sangat kental.
“Awalnya tempat ini lahan cabai. Kalau sore duduk-duduk di bukit ini terlihat indah Danau Toba itu. Ku lihat banyak yang sudah buka tempat-tempat wisata seperti Sapo Juma, tempat-tempat camping anak-anak muda yang langsung menatap Danau Toba, biarpun ladangnya sendiri yang di rombak. Lalu pakai uang masuk juga, tetapi kebersihan tetap dijaga. Jadi sekalian lah, uang kebersihan sekaligus juga uang masuk ke tempat itu dibuat. Itulah makanya kami pun berinisiatif membuka [tempat camping] di ladang ini. Begitulah..” jelas Namboru.
“Pasti lelah sekali selama membuka lahan ini ya Namboru?” sambungku.
“Iya nang. Cuma kami berempat [yang] membuka ini. Menebang pohonnya, menanam bunga, membuat tangga-tangga itu, membangun sopo-sopo itu, dan membangun rumah ini. Dulu gubuknya ini, karena sudah dibuka penatapan di sini lalu dibangunlah rumah. Jadi di sinilah kami berjualan, berladang. Tiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu banyak anak-anak muda datang untuk rekreasi. Kalau pas enggak ada yang datang, berladang lah Namboru di samping itu.”
“Tapi itulah enaknya kalau sering jalan-jalan ya Namboru, bisa tahu kek mana yang indah itu. Jadi inisiatif buat hal-hal baru di tempat-tempat pelosok.” ucap salah seorang teman camping.
“Kalau pigi jalan-jalan ‘kan nang, biasanya kita dengar dari orang lain dulu, mau kemana kita? Di mana tempat yang bagus dekat-dekat Danau Toba ini? Banyak yang menjawab. Artinya sudah terkenal Danau Toba ini. ‘Kan bangganya kita kalau seandainya Danau Toba dikenal banyak orang sampai seluruh dunia. Terkenal juga budaya-budaya yang ada di dekatnya. Nah, kalau cuma di tempat-tempat yang sudah dibuka itu saja yang dikunjungi orang, nggak pala nanti tahu mereka bahwa Danau toba ini indah dan luas ternyata. Itulah alasan kami juga membuka lahan ini jadi panatapan. Yah, bersyukurlah langsung ada hari itu datang anak-anak muda 5 orang kemping ke sini. Makin semangat lah kami mempercantiknya lagi.” Sahut Namboru.
Setelah hujan reda, kami bergegas mempersiapkan tenda. Sebagian lagi menyiapkan makan malam. Saya sendiri malam itu saya kebagian bergabung dengan tim mendirikan tenda. Dinginnya udara membuat kami lambat dalam mengerjakan semuanya. Namun ada sesuatu yang membuat kami kembali bersemangat, yakni suasana malam yang mempertunjukkan Danau Toba di malam hari. Lampu-lampu desa di sekitaran danau ini gemerlap. Makin malam, kabut menyelimuti sebagian bibir Danau Toba. Seiring itu, rasa dingin menyapa, perlahan membekukan tulang.
Pagi harinya, kami berlomba untuk melihat matahari terbit. Saya bergegas melepaskan diri dari sleeping bed. Belum juga membuka pintu tenda, udara pagi menyeruak ke dalam vestibule. Dingin sekali. Wah, lagi-lagi kami tidak akan disambut matahari.
Meski begitu, kami tetap bersyukur karena dari bagaimanapun kondisi cuaca, Danau Toba selalu tampak berwarna; ada banyak panorama, adat, budaya, hingga bahasa yang berbaur di sini. Oh ya tak lupa warna-warni bunga-bunga dan kicau burung yang menyambut pagi kami juga patut disyukuri. Sesekali saya juga menyaksikan bagaimana mereka menghilang tertutup kabut.
Saya percaya, dengan mengedepankan kelestarian lingkungan dan juga kebersihan, alam akan mengembalikannya kembali kepada kita. Salut untuk Namboru yang tidak hanya membuka Panatapan Danau Toba ini namun juga beliau konsisten untuk mengelola tempat ini untuk tetap bersih dan ramah lingkungan.
Ketika hari ini kita berinvestasi akan kesadaran dan kemauan untuk melestarikan Danau Toba dengan menjaga kebersihan dan tidak membuka lahan dengan cara membakar hutan; lalu menjaga budaya yang terkandung di dalamnya, dan selalu berinisiatif membuka peluang tanpa merugikan alam; anak cucu akan menerimanya kelak.
Tak lupa, setelah menghabiskan waktu bermalam di sini, kami mengucapkan terimakasih kepada alam dengan mengumpulkan sampah milik kami dan membuangnya pada tempat yang sudah disediakan oleh Namboru.
Sebelum pulang, kami berpamitan kepada Namboru dan keluarga yang berinisiatif mengembangan pariwisata berkelanjutan di sekitar Danau Toba. Kiranya Tuhan memelihara kita semua.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.