Akhir-akhir ini saya merenungi kembali catatan perjalanan selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kebumen. Tepatnya saat membantu pemberdayaan perpustakaan desa di Selang, kelurahan yang hanya berjarak lima kilometer ke arah tenggara dari alun-alun kota Kebumen.
Perenungan tersebut sejatinya merupakan pertanyaan saya dahulu hingga kini, “Mengapa hari ini sulit sekali memberdayakan perpustakaan desa?”
Padahal jika menelusuri lebih jauh, pemerintah telah menyalurkan dana yang cukup besar untuk menghidupkan potensi desa, termasuk perpustakaan. Namun, fakta yang saya temukan di lapangan bertolak belakang. Masih banyak perpustakaan desa yang sepi, karena tidak lagi diminati masyarakat.
Hadirnya teknologi dan arus informasi terkini yang serba instan membuat masyarakat lebih memilih untuk mengaksesnya lewat gawai. Padahal jika tidak diimbangi dengan kebiasaan membaca yang baik, rentan sekali terseret oleh media penyebar kebohongan.
Mengingat peran perpustakaan yang sangat penting, sehingga saya putuskan untuk menuliskan kembali kiprah KKN saya pada tahun 2022 lalu. Semoga pengalaman ini dapat menjadi catatan perjalanan, serta metode bagi siapa pun yang hendak menebarkan kebiasaan membaca di desa-desa.
Sekilas tentang Perpustakaan Melati
Upaya saya bersama kawan-kawan KKN dalam memberdayakan perpustakaan desa, sejatinya bermula dari Perpustakaan Melati. Perpustakaan ini dapat ditemukan apabila berkunjung ke Kabupaten Kebumen. Tepatnya di belakang kantor kelurahan Selang.
Berbekal riset dan pembacaan tumpukan arsip kumuh di Perpustakaan Melati, saya menemukan sebuah fakta menarik. Perpustakaan Melati telah berdiri sejak 4 April 1998. Perpustakaan ini hadir ketika Indonesia berada pada masa krisis moneter dan demonstrasi masif mahasiswa yang menuntut reformasi.
Dari arsip tersebut, terdapat beberapa penghargaan yang telah diterima oleh Perpustakaan Melati. Perpustakaan ini juga kerap mengadakan kegiatan yang mampu menarik minat baca masyarakat, seperti lomba menulis dan kegiatan PKK warga Kelurahan Selang. Bahkan kunjungan publik ke perpustakaan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Namun, terhitung sejak tahun 2014 Perpustakaan Melati sudah tidak lagi beroperasi melayani kebutuhan membaca masyarakat. Keterangan ini didukung dengan sejumlah berkas dan laporan, yang tidak menunjukan adanya kegiatan pada tahun tersebut. Bahkan data mengenai kunjungan perpustakaan tersebut nyaris tidak ada.
Saya sendiri pun bingung. Mengapa perpustakaan yang cukup berprestasi pada masanya seketika sudah tidak lagi diminati masyarakat?
Saya pun bertanya kepada penduduk sekitar. Menurut dugaan warga, pemerintah kelurahan sudah tidak lagi menyuplai dana kepada Perpustakaan Melati. Namun, saat saya mengonfirmasikan hal ini kepada pihak kelurahan, mereka justru tidak mengetahui hal tersebut lantaran seringnya terjadi pergantian perangkat struktural di dalam kelurahan itu sendiri.
Di luar itu, pertama kalinya kami mendapati Perpustakaan Melati sudah dalam keadaan mangkrak dan tidak terurus selama bertahun-tahun. Bahkan pada saat itu sempat dijadikan gudang atau tempat menyimpan peralatan rumah tangga. Akibatnya perpustakaan menjadi bangunan yang jauh dari fungsinya. Mirisnya, beberapa warga bahkan tidak menyadari fungsi bangunan kecil tersebut.
Di lapangan, kami justru menjumpai banyak anak kecil dan pemuda Selang yang lebih akrab dengan gawai daripada membaca. Mereka bermain gawai sembari menikmati fasilitas internet (WiFi) gratis di sekitar beranda kantor kelurahan.
Kecenderungan anak bermain gawai mesti dimaklumi sebagai bagian dari produk zaman, sehingga bukan masalah yang pelik. Namun, tantangannya adalah cara menghadirkan kebiasaan membaca sebagai kegiatan yang setara dengan bermain gawai. Terlebih membaca dapat dijadikan penyeimbang bagi kegiatan-kegiatan simulakra yang sepertinya jarang disadari oleh anak-anak.
Inventarisasi Buku dan Renovasi sebagai Awal Pemberdayaan
Berangkat dari masalah dan tantangan tersebut, kami memutuskan untuk mengabdi kepada masyarakat di bidang pemberdayaan. Kami ingin membuka kembali Perpustakaan Melati di Kelurahan Selang. Selain itu, kami mencoba menggunakan metode dan cara pemberdayaan perpustakaan dahulu yang terbukti berhasil memancing perhatian masyarakat sekitar.
Tahap awal pemberdayaan kami mulai dari membersihkan ruangan, serta memilah buku-buku yang kiranya masih bisa dibaca lagi. Kami memulai kegiatan dengan rasa prihatin, karena bangunan Perpustakaan Melati benar-benar tidak terurus.
Di dalamnya kami menjumpai buku-buku yang sudah lapuk, lemari-lemari yang digerogoti serangga, tembok yang mulai terkikis, alat penerangan yang minim dan tidak berfungsi lagi, hingga plafon ruangan yang telah rusak. Selain itu kami juga menjumpai banyaknya buku yang usang atau sudah tidak relevan lagi untuk dibaca. Namun, beberapa dari buku-buku tersebut masih bisa kami inventarisasi untuk layak baca dan menyelamatkannya dari ancaman pelapukan.
Tak hanya inventarisasi. Perlahan kami mencoba untuk melakukan renovasi. Sumber dananya berasal dari kampus dan kantung pribadi secara sukarela. Kami juga sempat membuat penggalangan dana kepada masyarakat sekitar, tetapi hasilnya tidak begitu besar.
Dari dana yang telah terkumpul, kami mencoba sebisa mungkin menggunakan kemampuan dan energi kami untuk merenovasi perpustakaan. Mulai dari mengampelas dan menambal beberapa sisi tembok, mengecat, hingga memperbaiki sejumlah plafon yang telah rusak.
Usai perbaikan, kami bersih-bersih dan menata barang-barang yang kiranya masih layak digunakan lagi. Proses renovasi hingga penataan barang ini memakan hampir tiga minggu lamanya, karena kemampuan teknis dan jam terbang kami masih jauh dari profesional. Kami yang sebelumnya terbiasa hanya menangkap pengetahuan di kelas, kini mulai belajar dan membiasakan diri untuk terjun ke lapangan.
Proses kerja panjang tersebut membuahkan hasil. Perpustakaan Melati yang awalnya tidak layak untuk kegiatan membaca, kini mulai ramah dikunjungi.
Perpustakaan sebagai Ruang Bermain
Inventarisasi buku, renovasi fisik, dan pembukaan kembali barulah langkah awal. Lebih dari itu, kami harus berusaha merancang dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk mendekatkan masyarakat dengan kebiasaan membaca di perpustakaan desa.
Sebagaimana permulaan kehadirannya, keberhasilan Perpustakaan Melati membiasakan masyarakat membaca dan raihan beberapa penghargaan merupakan proses panjang. Sejatinya, ketika semangat zaman telah berubah, mestinya perpustakaan desa juga perlu membenahi dirinya. Bukan hanya sebagai tempat membaca, melainkan juga menjadi ruang bermain.
Beberapa hari setelah pembukaan kembali Perpustakaan Melati, kami meletakkan beberapa buku bergambar di sejumlah tempat. Antara lain di depan pintu gerbang perpustakaan dan sepanjang jalan anak-anak pulang sekolah. Hasilnya di luar dugaan. Sepulang sekolah mereka mengerumuni buku-buku tersebut. Mereka juga mengajak teman-temannya untuk mampir dan melihat koleksi buku di dalam perpustakaan.
Kami mendapati di antara mereka sangat antusias melihat media teks dan visual yang tersaji di dalam koleksi buku kami. Meski ada juga yang mudah jenuh dan hanya sekedar membuka koleksi buku di rak bergambar. Namun, kami turut mendampingi serta memberikan panduan kepada mereka tentang cerita dan makna dari buku tersebut agar tidak bingung. Selain itu, karena di antara kami ada yang memiliki keahlian menggambar, kami juga mengajarkan mereka sebagai bagian dari proses literasi.
Sepanjang operasional perpustakaan, kami menjumpai anak-anak tidak hanya membaca, tetapi juga meminta bantuan untuk mengerjakan tugas dan PR mereka di sekolah. Bahkan ada beberapa anak yang berasal dari wilayah yang terbilang cukup jauh dari area perpustakaan. Mereka berkunjung untuk meminta pendampingan belajar menjelang ujian sekolah. Kami menyambut kedatangan mereka secara hangat, termasuk orang tua yang mendampingi langsung di perpustakaan.
Antusiasme mereka mendorong kami untuk merancang beberapa kegiatan lain di perpustakaan, seperti bermain, mewarnai, membuat puisi, dan menonton film bersama. Agenda ini adalah upaya mendekatkan anak dengan kebiasaan berkunjung ke perpustakaan. Kami percaya jika mereka terbiasa, maka turut mendorong ketertarikan mereka dengan buku.
Tantangan Menanti Selepas Program
Dari sekian program pemberdayaan kami terhadap perpustakaan, ada salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh warga sekitar kepada kami, “Apakah setelah program KKN selesai, Perpustakaan Melati dapat beroperasi secara berkelanjutan?”
Pertanyaan tersebut membuat kami bingung. Kami gundah dengan keberlanjutan Perpustakaan Melati yang telah kami angkat kembali. Terlebih banyak dari kami mesti kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Di antara kami juga tidak memiliki dana untuk tetap bertahan hidup di Kebumen.
Pertanyaan tersebut menjadi PR terberat yang bahkan sampai saat ini belum benar-benar dapat kami jawab. Namun, saat itu tercetus ide untuk memberdayakan warga sekitar, guna menjamin keberlanjutan dari Perpustakaan Melati. Kami telah berupaya melobi ketua pemuda, berbincang dengan pihak kelurahan setempat. Akan tetapi, upaya tersebut menemui kebuntuan.
Kebuntuan tersebut diakibatkan karena dana desa tidak lagi dialokasikan untuk operasional perpustakaan. Alasan lainnya adalah mobilitas para pemuda di Kelurahan Selang cukup tinggi.
Banyak anak mudanya lebih memilih untuk merantau ke luar kota untuk sekolah, kuliah, bahkan bekerja. Itulah mengapa tidak banyak dari para pemuda yang tinggal di Kelurahan Selang. Maka masalah tersebut sampai saat ini belum ditemukan solusinya. Bahkan saya sendiri sudah tidak lagi mengetahui kondisi dari Perpustakaan Melati saat ini.
Namun, memori dan kegembiraan saya selama memberdayakan Perpustakaan Melati masih tersimpan hingga sekarang. Kenangan tersebut telah menginisiasi catatan perjalanan ini, sehingga dapat dijadikan rumusan bersama dalam mengupayakan perpustakaan desa yang berkelanjutan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.