Namanya Deddy Hermansjah. Laki-laki yang berusia hampir setengah abad ini merupakan seorang tim pendamping Integrated Area Development (IAD) Lumajang dan juga Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Raja Giri Lumajang. Ia sudah mendampingi masyarakat desa hutan di beberapa desa di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur sejak 2002.

Beberapa waktu lalu, TelusuRI berbincang dengan beliau tentang aktivitasnya mendampingi IAD Lumajang. Berikut hasil wawancaranya. Simak, ya!

Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Deddy Hermansjah, Ketua LSM Raja Giri Lumajang

Apa saja program agroforestri atau silvopasture dan industri yang ada di IAD Lumajang?

Program agroforestri yang berkembang baik di Kabupaten Lumajang adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Lestari yang terletak di Desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.

KTH LMDH Wono Lestari didirikan pada tanggal 29 Juli 2006 dengan Akta Notaris No. 5/2006 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU 0006625 AH 01.07.2017. Selanjutnya juga mendapatkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan dengan Nomor: SK.5633/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017 dengan kawasan Hutan Pangkuan seluas 940 hektare (ha).

Dalam proses perkembangannya terkait dengan tata kelola kawasan hutan, kelembagaan dan usaha masyarakat (agroforestri/silvopasture) KTH LMDH mendirikan beberapa Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), di antaranya:

  1. KUPS Peternakan Sapi Perah dengan kapasitas produksi 1.900.000 liter/tahun;
  2. KUPS Peternakan Kambing Etawa Senduro, kapasitas produksi susu 336.000/tahun;
  3. KUPS Pisang Mas Kirana dan Pisang Agung Semeru, kapasitas produksi 130 ton/tahun;
  4. KUPS Produksi Olahan Pertanian (keripik, sale), kapasitas produksi 7,2 ton/tahun;
  5. KUPS Kopi dengan kapasitas produksi 27 ton/tahun;
  6. KUPS Ternak Lebah, produksi 600 liter/tahun;
  7. KUPS Kerajinan (batik tulis bahan alam dan kerajinan lainnya), produksi sesuai permintaan;
  8. KUPS Talas dengan kapasitas produksi 84 ton/tahun; dan
  9. KUPS Wanawisata Siti Sundari, dengan rata-rata kunjungan 15.000 pengunjung/tahun
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
  • Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri

Bagaimana kondisi awal kawasan dan masyarakat sebelum ada program ini?

Pada awalnya, kondisi umum masyarakat Desa Burno dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Senduro memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, pendapatan per kapita rendah, berpendidikan rendah, sehingga menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan mayoritas hanya bergantung kepada pertanian subsisten.

Pada awal pendampingan pada tahun 2001, kondisi infrastruktur sangat tidak memadai sehingga menyebabkan akses sangat terbatas. Kondisi tersebut membuat masyarakat terisolasi dari dunia luar. Kondisi geografis memaksa mereka menerima beban hidup yang lebih besar dibanding masyarakat desa lainnya. Pendapatan dan pengeluaran penduduk dalam satu keluarga dalam setahun menunjukkan nilai minus.

Sampai pada awal tahun 2000-an masih terasa ketidakadilan dalam distribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap masyarakat desa hutan. Distribusi dana Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diterima pemerintah daerah memiliki presentasi yang tidak proporsional bagi desa sekitar hutan. Padahal masyarakat desa hutanlah yang menjadi benteng terakhir dalam membendung dampak negatif perusakan hutan.

Sejak diluncurkan pada akhir 2001, Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani berupaya menjembatani interaksi antara masyarakat desa hutan dan Perhutani. Banyak yang meragukan PHBM akan bernasib sama seperti program-program sebelumnya yang pernah diluncurkan sejak 1970—2001.

Dalam perjalanan saya mendampingi masyarakat desa hutan di Burno dan beberapa desa hutan lainnya di Kecamatan Senduro. Saya melihat implementasi PHBM memiliki tingkat keberhasilan yang beragam. Di daerah lain begitu pesat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan dengan nilai konversi puluhan juta rupiah per tahun. Sementara di desa lainnya berkembang sangat lambat bahkan pada tingkat yang mengkhawatirkan. 

PHBM bukan hanya mengandalkan LMDH sebagai institusi yang berperan dalam keberhasilan ekonomi masyarakat desa hutan, tetapi dibutuhkan kerja sama antara Perhutani, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas bisnis. LMDH sebagai salah satu implementator haruslah dapat mengikuti alur perubahan yang terjadi di sekelilingnya. LMDH dituntut untuk terus berada dalam proses pembelajaran, memperbarui diri, serta mengembangkan kreativitas sosial ekonomi. 

Keberhasilan implementasi PHBM di Desa Burno yang dilaksanakan sejak tahun 2006 berhasil memberikan sumbangsih yang sangat berharga bagi percepatan dan pembangunan masyarakat desa hutan. Sumbangsih tersebut berupa munculnya tiga sumber energi, yaitu dana bagi hasil produksi, optimalisasi ruang kelola, dan sinergi kelembagaan lintas sektoral.

Pada tahun 2016, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan program baru untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Salah satunya adalah program perhutanan sosial. Pengaturan skema pengelolaan hutan disederhanakan dalam satu peraturan mengenai Perhutanan Sosial yang diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Sebuah program yang bertujuan melakukan pemerataan ekonomi melalui tiga pilar: lahan, kesempatan usaha, dan sumber daya manusia.

Akses legal mengelola kawasan hutan ini kami jadikan sarana untuk meneruskan keberhasilan program PHBM dan pada tahun 2017 KTH LMDH Wono Lestari Kecamatan Senduro menerima Surat Keputusan (SK) dari KLHK Nomor: SK.5633/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017.

Bagaimana awalnya meyakinkan masyarakat agar mau ikut serta dalam program?

Kemiskinan yang awalnya menghantui masyarakat desa hutan nyaris menjadi ketakutan turun temurun yang diturunkan ke generasi selanjutnya. Masyarakat desa hutan sangat bergantung pada aksesibilitas terhadap kawasan hutan, dan oleh sebagian orang dianggap sebagai “ancaman” kelestarian hutan di sekitarnya.

Beberapa hal yang mendorong saya untuk mengajak masyarakat desa hutan bersama-sama mengubah kondisi dan stigma yang dilekatkan kepada mereka. Kami harus berproses dengan berbagai daya upaya yang bisa dilakukan bersama. LMDH diperlakukan sebagai sebuah entitas sosio-ekonomi desa hutan sebagai poin permulaan dalam keberhasilan implementasi PHBM dan dilanjutkan dengan program perhutanan sosial dengan skema pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan.

Sosio-ekonomi yang dimaksudkan adalah membangun ekonomi desa hutan berdasarkan atas nilai-nilai kearifan sosial yang ada di sana. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut saya mendorong komunitas masyarakat desa hutan berperan aktif dalam tiga bentuk aktivitas:

  1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan;
  2. Pengembangan inovasi ekonomi kreatif melalui penguatan modal dan jejaring pasar; dan
  3. Terus-menerus melakukan propaganda penyadaran upaya pelestarian hutan 
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Peta klaster agroforestri dan silvopasture terpadu/KTH LMDH Wono Lestari

Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menjalankan program-program ini?

Kecilnya persentase keberhasilan LMDH dalam implementasi PHBM menjadi kritik umum oleh banyak pihak. Kritik yang sering dilontarkan adalah LMDH adalah bentukan dan “Anak Perhutani” untuk menunjukkan kepedulian semua terhadap corporate social responsibility (CSR). Sebagian kasus benar terjadi demikian. Sebagian LMDH dibentuk secara tidak alamiah dan dipaksakan untuk ada.

Akibatnya, LMDH lebih mengejar kuantitas daripada kualitas organisasi. Dampaknya adalah ketidakberdayaan organisasi serta kurangnya pemahaman yang mendalam tentang tugas pokok, peran, serta fungsi.

Dengan proses yang tidak mudah kami berhasil meyakinkan beberapa tokoh masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan hutan. “Pendekatan dengan hati”, itulah yang kami lakukan ketika itu di tengah hiruk piruk penjarahan kayu hutan serta upaya penguasaan lahan kawasan hutan di beberapa desa di Kecamatan Senduro dan beberapa [desa lainnya] di Kabupaten Lumajang.

Pada 2006, beberapa tokoh masyarakat bersepakat mendirikan LMDH dengan biaya sendiri, mulai dari musyawarah, sosialisasi, sampai pembiayaan akta notaris. Terpeliharanya semangat mandiri dari para tokoh Desa Burno inilah yang membedakan dengan beberapa LMDH desa lainnya.

Apakah ada hambatan dalam menjalankan program ini dan bagaimana cara penyelesaiannya?

Hambatan dalam melaksanakan IAD tentu ada dalam proses implementasinya. Pertama, tentu saja tidak mudah dapat menyelaraskan pemahaman terkait konsepsi IAD antarlembaga.

Kedua, memadukan kepentingan banyak pihak merupakan hal yang sulit karena masing-masing lembaga memiliki tata cara birokrasi dan pakem yang berbeda. Ketiga, mensosialisasikan pengembangan IAD kepada masyarakat di tingkat bawah memerlukan waktu dan energi yang besar serta sinergi yang baik dari semua pihak.

Dampak perubahan yang dirasakan masyarakat akan program ini seperti apa?

Ada tiga perubahan yang tampak dalam pelaksanaan IAD program perhutanan sosial di Kabupaten Lumajang: 

  1. Dampak ekonomi yang paling terasa adalah hak pengelolaan lahan yang memberikan nilai tambah bagi aset tanah dan aset tumbuhan (yang memiliki nilai ekonomis) dan kemudian mendorong masyarakat untuk terus memanfaatkan lahan hutan untuk pariwisata dan kemudian akan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak;
  2. Fungsi hutan secara sosial adalah sebagai penyedia kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pencaharian, obat-obatan, penelitian, dan sebagainya. Sebelumnya sering terjadi konflik antara petugas negara dan masyarakat desa. Setelah penggarap lahan mendapatkan surat keputusan perhutanan sosial, mereka tidak perlu cemas lagi tiap kali memasuki rimba;
  3. Secara ekologi, hutan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan, antara lain sebagai penyerap karbondioksida, penghasil oksigen, sumber air, pencegah erosi dan banjir, habitat hewan, dan lainnya. Dalam konteks program ini, masyarakat diarahkan untuk meningkatkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif pengelolaan hutan.
Membangun Masyarakat Desa Hutan di Lumajang, Pengabdian untuk Negeri
Pemandangan Gunung Semeru di kejauhan saat pagi hari di destinasi wisata B-29, Desa Argosari, Senduro, Lumajang. Sisi kanan adalah kaldera purba Bromo berselimut kabut/Rifqy Faiza Rahman

Apakah ke depannya ada rencana pengembangan program atau pengembangan program pendukung yang baru?

Tentu. Ada beberapa rencana pengembangan IAD di Kabupaten Lumajang yang meliputi pengembangan desa adat dan desa tujuan pendakian Gunung Semeru di Ranupane, pengembangan objek wisata “Negeri di Atas Awan Puncak B-29” di Desa Argosari, pengembangan Bumi Perkemahan Glagaharum di Desa Kandangtepus, dan rencana pengembangan pembangunan kampus Universitas Islam Negeri di Desa Kandangtepus.

Harapan membangun bangsa yang berdikari dimulai dari wilayah yang terkecil. Sebuah desa yang terletak di pinggir hutan seyogianya bisa menjadi agen perubahan, meningkatkan ekonomi masyarakat tanpa merusak habitat yang telah ada sebelumnya.  Sayangnya belum semua desa mampu membangun perekonomian mereka secara mandiri. LSM sebagai penggerak diharapkan mampu memicu masyarakat untuk membuat ekonomi kreatif agar mampu mengurangi jumlah pengangguran dengan membuat usaha mandiri yang berbasis lingkungan.

Foto sampul:
Pemandangan Gunung Semeru dari Desa Ranupane. Desa ini merupakan jalur pendakian utama dan satu-satunya menuju puncak tertinggi Pulau Jawa tersebut/RifqyFaiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar