Saat momen liburan sekolah, saya dan keluarga berangkat camping ke Bumi Perkemahan (Buper) Ipukan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Letaknya di barat daya Cirebon, kota tempat kami tinggal. Kami berangkat hari Kamis (17/10/2024), selepas asar, dengan mobil. Kami akan menempuh perjalanan 1,5 jam. Personel kali ini lengkap: saya dan istri, tiga jagoan anak lanang serta dua bocah wadon.
Saya dan keluarga sengaja tidak jalan saat akhir pekan, menghindari kepadatan pelancong. Bayangan kami, malam Jumat bakal sedikit yang berkemah di buper yang terletak di Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur itu.
Namun, harapan kami meleset setibanya di Ipukan pukul 17.30 WIB. Kok, ramai?
Ipukan, Pilihan Rekreasi Luar Ruang untuk Keluarga
Melihat kedatangan kami, petugas tiket datang. “Mau nengok, main saja, atau camping?”
“Camping,” jawab saya.
“Berapa orang?”
“Lima.” Sengaja saya tidak menghitung anak nomor empat dan lima, karena masih berusia empat dan tiga tahun. Biasanya bebas tiket masuk.
Petugas perempuan itu pun menyobek lima lembar tiket. “Jadi seratus ribu,” ucapnya.
“Rame, lagi ada acara apa, teh?
“Kemah pramuka dari SMAN 2 Indramayu.”
“Wah, nggak kebeneran,” kata saya dalam hati, “niat nyari suasana sepi dan hening, malah sebaliknya.”
Memang, bagi warga Cirebon dan Indramayu, pilihan aktivitas luar ruang paling dekat adalah ke Kuningan atau Majalengka. Wisatawan lokal mendominasi kunjungan ke tempat-tempat rekreasi alam terbuka. Terutama wilayah pegunungan di Kuningan. Pada masa kolonial, keempat daerah itu ada dalam satu karesidenan. Publik mengenalnya dengan akronim Ciayumajakuning.
Bagaimanapun, saya dan keluarga bersyukur, sudah bisa kumpul dan selamat sampai Ipukan. Ini hal yang membahagiakan. Terlebih si sulung kembar, yang sekolah di dua pesantren beda provinsi. Mesti cari waktu tepat biar bisa jalan bareng.
Membuka Tenda
Sebelum gelap datang, kami mencari tempat untuk membuka tenda. Untungnya buper Ipukan sangat luas. Pilihan bermalam dengan tenda ada di tiga titik: sekeliling hutan pinus (bagian tengah), tanah lapang menghadap belantara Gunung Ciremai (sebelah barat), atau di sisi timur dengan pemandangan kota Kuningan.
Tadinya kami pilih di area hutan pinus agar lebih dekat musala dan toilet. Tenda hendak digelar, tapi saya coba naik ke titik lebih tinggi sebelah timur. Siapa tahu masih ada tempat kosong. Sementara acara pramuka mengaveling area puncak Ipukan sisi selatan. Saya perkirakan ada seratus tenda dome mereka pasang, berdasarkan jumlah peserta yang melibatkan keseluruhan kelas dan guru pendamping.
Alhamdulillah, ada tempat bagus, dekat sebuah gazebo. Pemandangannya lampu kota, cantik sekali. Segera saya kabari anak-anak. Kami lantas boyongan memindahkan tenda dan tas perbekalan, melewati jalan setapak yang menanjak. Gelap mulai mengurung. Senter di kepala (headlamp) dinyalakan untuk membantu penerangan.
Kami berpapasan dengan pelajar berseragam pramuka. Mereka hendak ke musala untuk salat Magrib. Panggilan dari kakak pembina membuat siswa dan siswi bergegas. Terdengar perintah dari pengeras suara yang tegas dan lantang, “Ayo, segera! Keluar dari tenda!”
“Kampung” kemah pramuka ada di bagian atas hutan pinus. Kami lewat di bawahnya, searah tempat parkir kendaraan. Banyak warung di dekatnya. Para pedagang kompak buka karena ramai pengunjung. Biasanya kalau sedang sepi, hanya satu-dua warung saja yang buka.
Mereka menawarkan ragam makanan. Ada panganan tradisional, seperti cilok dan cilor, bala-bala, gehu, serta siomay. Tidak ketinggalan bakso, mi rebus, dan nasi goreng. Minumnya wedang jahe, susu, kopi atau teh panas. Harganya masih ramah di kantong. Kalau mau, bisa jajan sepuasnya, andai tak bawa bekal.
“Nah, oke, kan?” tanya saya begitu sampai. Semua mengangguk tersenyum. Lalu mengerjakan tugas masing-masing.
Si kembar, Rean Carstensz Langie (14) dan Evan Hrazeel Langie (14), membangun tenda dome kapasitas lima orang. Tenda hadiah waktu mereka sunat di usia enam tahun. Muhammad (10) merentangkan matras di atas lantai gazebo, sedangkan anak kecil perempuan langsung gogoleran (rebahan).
Cuaca Bersahabat di Ipukan
Perbekalan dibongkar oleh ibunya anak-anak. Ia merebus air, membuat teh dan kopi. Camilan awal disiapkan: roti bakar dan kentang goreng. Makan malamnya ayam kecap plus sop bakso.
Udara terasa sejuk. Belum terlalu dingin. Angin juga sepoi saja. “Asap” dari mulut tak keluar. Perkiraan suhu 15 derajat Celsius. Ini kali pertama dua bocah wadon diajak bermalam di alam terbuka. Sempat khawatir mereka tak betah, rewel, lalu minta pulang—wah, bisa gagal kemahnya. Tapi syukurlah, semua baik-baik saja. Situasi kondusif.
“Puncak musim dinginnya sudah lewat. Agustus–September,” kata pengelola Ipukan, Muhammad Jawil (45), ketika memasang lampu di gazebo.
Saya yang mengadu lampu mati saat mampir ke warungnya untuk membeli kayu bakar Rp20.000 per ikat. Sudah mencakup serpihan kulit pinus sebagai bahan bakar.
“Oh, siap! Nanti saya pasang,” ucap lelaki perintis buper Ipukan pada 2014. Selain makanan dan minuman, warung Pak Jawil juga menyediakan sewa perlengkapan camping, seperti tenda, sleeping bag, kasur tiup, kompor portabel, dan peralatan masak.
Ditanya kapan hujan terakhir, Jawil menyebut sudah lama tidak turun. Menurutnya, sekarang cuaca sedang bersahabat. Siang tak terlalu panas, malam tidak hujan. “Cerah, insyaallah. Bebas babakaran,” ujar warga asli Palutungan itu dengan logat Sunda.
Ada harapan bisa bikin api unggun tanpa khawatir air langit tumpah. Mau memanggang (barbeque) juga aman.
Semarak Kembang Api
Pukul 19.30 WIB, ada upacara di “kampung” kemah pramuka. Kami mampir melihat. Ratusan siswa membentuk lingkaran, mengelilingi kayu yang menumpuk tinggi. Persiapan api unggun besar. Tiap perwakilan ekstrakurikuler membacakan “janji”, semacam komitmen anggota pada ekstrakurikuler yang diikuti. Anak pramuka menyuarakan Dasa Darma.
Upacara ditutup simbolis dengan menembakkan kembang api ke udara. Ledakannya keras. Kilat api berbagai warna melesat. Percikannya menyebar ke sela-sela dahan pinus. Terang. Semarak. Riuh suara para murid.
Sementara bocil wadon mendekap saya erat. Takut pada ledakan yang berentetan, ia minta menjauh. Saya gendong kembali ke gazebo, baru dia tenang.
Kami segera membuat perapian dan duduk mengitarinya. Kudapan dikeluarkan. Tangan memegang kuping gelas berisi teh panas. Kami memandang lampu-lampu permukiman penduduk desa dan sebagian rumah warga kota Kuningan. Memang benar, berkemah itu mencari udara dingin plus pemandangan lepas nun jauh. Sulit didapatkan kalau tidak di ketinggian.
Mendekati pukul 22.00 WIB, anak-anak perempuan dan ibunya masuk tenda. Walau puncak musim dingin sudah lewat, tetap saja makin larut udara pegunungan membuat ingin segera berselimut kantung tidur. Anak lanang tak beranjak dari api unggun. Saya memilih istirahat di gazebo.
“Kalau api sudah padam, biarkan baranya. Nanti bisa dinyalakan lagi,” pesan saya sebelum masuk sleeping bag dan memejamkan mata.
Puncak Slamet dan Ciremai di depan Mata
Azan subuh membangunkan. Di samping saya ada Evan dan Muhammad tidur pulas. Posisi tubuhnya mirip udang. Dini hari memang tambah dingin. Rean masuk tenda. Tak terdengar suara anak perempuan menangis. Berarti aman, mereka bisa tidur nyenyak.
Perlu tekad kuat keluar dari kantung tidur. Terbayang dinginnya air ketika wudu. Tapi, kewajiban mesti ditunaikan. Saya bangunkan anak-anak untuk salat Subuh, lalu bergegas menuruni jalan setapak. Benar saja, saat menginjak lantai kamar mandi, terasa menyentuh balok es. Beratnya mengguyurkan air ke anggota tubuh.
Selesai menunaikan salat, kami mendekati perapian. Menumpuk sisa kayu, meniup bara yang redup. Api muncul setelah tiupan kesekian kali. Menjilati potongan kayu yang bersilang lalu terbakar. Api membesar. Saya membolak-balikkan telapak tangan untuk menghalau dingin.
Cahaya kuning keemasan perlahan muncul di ufuk, menyibak langit yang gelap. Bertambah menit, semakin menawan. Tumpukan awan berjejal laksana spring bed empuk yang superluas. Andai bisa menjatuhkan tubuh di atasnya, lalu berguling-guling tanpa beban.
Di kejauhan, tampak sesuatu menyembul dari balik cakrawala. Biru langit menaunginya. Sinar matahari menyibak tirai kabut dan segala penghalang. Masyaallah, Gunung Slamet (3.428 mdpl) menyambut pagi dengan senyum merekah. Kami tak kuasa berucap apa pun, selain memuji kebesaran-Nya. Sapuan kuas Sang Pencipta begitu sempurna melukisnya.
Perkampungan terlihat mungil di bawah sana, seolah hanya seukuran rumah permainan monopoli. Menara pemancar dan masjid bagaikan batang korek yang ditancapkan. Hamparan kebun terlihat seluas keset kaki. Berpetak-petak. Terbayang hamster-hamster di atasnya, seperti yang kami pelihara di rumah.
Berada di ketinggian membuat pandangan leluasa, hingga kemudian lamunan merajalela ke mana-mana, mengingat kenangan ini dan itu. Fragmen kehidupan melintas di kepala. Serupa salindia Microsoft PowerPoint.
Anak-anak memanggil, mengajak jalan pagi. Gunung Slamet masih tampil di layar alam saat kami bergerak ke barat. Sebuah tanah lapang jadi tujuan. Di sana, setelah melewati dua jalur setapak menanjak, kelebatan rimba Gunung Ciremai (3.078 mdpl) membentang. Hutan hijau memanjakan penglihatan.
Atap Jawa Barat ada depan mata. Begitu dekat, seolah bisa disentuh. Terbayang pendakian saya dan anak-anak lanang menuju pucuknya. Jejak waktu merekam perjalanan kami, memberi banyak pelajaran hidup. Dan Ipukan, menambah cerita lanjutan tentang cinta dalam diary kami.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.