Kampung lawas tidak selalu membosankan ketika dijelajahi. Selalu ada kejutan yang selama ini tersembunyi dan menunggu untuk diceritakan. Hal tersebut sering saya alami setiap kali mengunjungi kampung lawasan. Tidak hanya kejutan dari warganya, tetapi juga tabir cerita masa lalu kampung itu sendiri.
Kali ini saya menjelajahi kampung lawas Kulitan di Kota Semarang. Seperti halnya kampung, gang kecil diapit rumah dan keramaian anak-anak menjadi pemandangan lumrah.
Dulunya, kampung ini adalah tanah milik satu keluarga pengusaha kulit. Warga yang tinggal sekarang adalah keturunan Tasripin, sang pengusaha kulit sekaligus pendiri Kampung Kulitan Semarang. Selain itu ada juga warga pendatang yang menempati gang-gang kecil di sekitarnya. Mereka hidup berbaur, sehingga cukup sulit untuk mengetahui siapa di antara mereka yang benar-benar keluarga Tasripin.
Untungnya, saya didampingi Albertus Kriswandono dan Cahyono Raharjo, rekan sekaligus sejarawan Kota Semarang. Tujuannya supaya saya mendapat cerita langsung di kampung lawas tersebut.
Gurita Bisnis Tasripin di Semarang
Kampung Kulitan ada di persimpangan Jalan Kampung Kulitan dan Jalan M.T. Haryono, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah. Letaknya ada di dalam gang sempit. Gapura sederhana bertuliskan “Kp. Kolitan” di antara pertokoan menjadi penanda.
Jika tidak jeli melihat, pasti akan terlewat. Jalan di Kampung Kulitan hanya satu ruas, terimpit rumah bergaya Melayu-Belanda milik keluarga Tasripin yang tinggal berhadapan satu sama lain. Hampir tidak ada jarak antara jalan kampung dan rumah di sepanjang jalan. Menilik gaya rumahnya, menunjukan bahwa Tasripin bukan pengusaha sembarangan. Mereka tak ubahnya Oei Tiong Ham, sang raja gula dari Semarang.
Tasripin memiliki nama lengkap Tasripin bin Tassimin Koetjeer. Ia putra Tassimin Koetjeer, seorang pedagang hasil bumi dan penyamakan kulit dari Kecamatan Karanganyar, Kebumen. Menuai sukses di Kebumen, keduanya lantas mengadu peruntungan di Kota Semarang.
Awal meniti usaha, mereka membuka rumah jagal hewan dan gudang penyimpanan kulit di Kampung Bleduk Semarang. Kulit tersebut kemudian diolah menjadi bahan pembuatan wayang kulit, dengan gaya campuran antara Yogyakarta dan pesisir. Lambat laun dikenal sebagai wayang Tasripin. Penyamakan kulit menjadi wayang menuai sukses. Ia kemudian mengembangkan bisnis di bidang ekspor kapuk, kopra, dan vanili.
Pada 1900, ia mendirikan kantor dagang bernama Tasriepin Concern hingga berakhir tahun 1950. Ia harus membeli tanah di Ungaran, Srondol, dan daerah pinggiran kota untuk membuka perkebunan yang ia miliki. Selain membuka areal perkebunan, ia juga mendirikan gudang untuk disewakan kepada pemerintah Belanda maupun pengusaha Tionghoa. Banyak pula tanah yang dimiliki dibangun hunian untuk disewakan kepada orang Eropa.
Tanah perkebunan sangat luas. Setengahnya untuk rumah singgah keluarga dan sisanya hunian pekerja perkebunan yang berasal dari pinggiran Kota Semarang. Pekerja perkebunan turut diperhatikan oleh keluarga Tasripin, karena mau bekerja di perkebunan dengan upah yang tidak seberapa kala itu.
Puncak kejayaan usaha keluarga Tasripin terjadi pada 1910. Tanggal 11 Maret, ‘s Rijks. Ethnographic Museum di Leiden menerima hadiah dari Tasripin. Hadiah itu berupa 12 kulit binatang dengan representasi warna layaknya wayang kulit melalui E.L.K. Schmulling yang notabene seorang pengawas pemerintah Belanda di Demak.
Empat tahun kemudian, Taslamet, salah satu putranya, memenangkan undian lotre di Semarang. Sebagian uang yang didapat ia gunakan untuk mengembangkan usaha keluarga, termasuk mendirikan pabrik es batu di Jalan Cipto Mangunkusumo Semarang, serta memperluas usaha perkebunan dan properti.
Sebaran wilayah kampung yang dimiliki keluarga Tasripin antara lain Kampung Kulitan, Kampung Kepatihan, Kampung Wot Prau, Kampung Gendingan, dan beberapa kampung lawas lain di pinggiran Semarang. Ia memilih menghuni Kampung Kulitan, tempat sang ayah tinggal.
Selain hasil bumi dan penyamakan kulit, Tasripin juga memiliki armada kapal dagang di Pelabuhan Kali Semarang. Cerita kesuksesannya terdengar Ratu Wilhelmina di Kerajaan Belanda. Ketika Feestvreugde Koningin Verjaardag atau perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina di Kerajaan Belanda, keluarga Tasripin hadir diwakili Amat Tas’an bin Tasripin dan Mohammad Ajoeb.
Kedekatan Tasripin dengan Kerajaan Belanda membuatnya mendapatkan uang koin bergambar wajah sang ratu di kedua sisi. Tasripin pun mengabadikan uang koin tersebut dengan cara dipasang di lantai rumah.
Total kekayaan Tasripin hingga tahun 1919 sekitar 45 juta Gulden atau setara kira-kira 411 triliun rupiah. Kekayaan ini bersumber dari semua usaha di Kota Semarang dan usaha keluarga Tassimin Koetjeer di Kebumen. Keluarga Tasripin diduga memiliki andil terbentuknya Sarekat Dagang Islam (SDI)—yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI)—dan kepengurusan Nahdlatul Ulama Semarang. Gedung SI Semarang di Jalan Ligu Selatan, Kampung Gendong Utara, Semarang Timur, disebut-sebut juga dibangun dengan biaya dari Tasripin. Ia pula yang meresmikan pembukaan gedung tersebut.
Sabtu pagi, 9 September 1919, Tasripin meninggal dunia di usia 85 tahun. Kabar pertama tersiar dari keluarga yang tinggal di Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo dan Pandeyan Lamper, Semarang.
Pemakaman dilaksanakan Minggu pagi di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang. Mulanya direncanakan upacara pemakaman yang mewah. Namun, keluarga lebih memilih upacara pemakaman sederhana. Masa hidup Tasripin dikenal memiliki karakteristik bersahaja, seperti kampung yang ia tempati bersama keluarga.
Jejak Lain Tasripin
Sayang, kejayaan Tasripin tidak sebanding dengan kondisi Kampung Kulitan saat ini, yang terjepit bangunan-bangunan ruko. Begitu pun yang terjadi di luar Kampung Kulitan. Seperti di kawasan Wot Prau. Semua peninggalan sudah beralih rupa, kecuali papan nama jalan Kampung Wot Prau.
Namun, saat keluar dari Jalan Wot Prau ke arah utara menuju Kota Lama, tiba-tiba mata saya tertuju pada satu rumah peninggalan Belanda bergaya indis. Setelah mendapat izin pemilik rumah, lensa kamera saya tak henti mengabadikan setiap detail yang ada.
Rumah yang saya telusuri tersebut diduga masih berkaitan dengan Tasripin. Hal itu disebabkan karena kampung ini dulunya merupakan bagian dari kampung lawas Wot Prau milik Tasripin. Jarak wilayah antarkampung pun tidak terpaut jauh.
Tidak semua kampung milik satu keluarga layaknya Tasripin. Ada juga yang milik keluarga Oei Tiong Ham di Jalan Gergaji. Masing-masing kampung lawas memiliki cerita masa lalu yang tidak kalah menarik. Kalau diceritakan semua, tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menjelajahi setiap sudut kota. Warga asli Semarang pun belum tentu tahu semua sisi kotanya. Mereka paham wilayah kelurahan maupun kecamatan, tetapi tidak mengenal kampung lawasnya.
Tidak perlu berkecil hati jika mendengar cerita kelam kampung lawas di masa lampau. Justru menjadi pelajaran yang lebih baik agar peristiwa kelam tersebut tidak terulang di masa depan. Menjadi warga kampung lawas pun tidak selamanya kurang pergaulan atau serba ketinggalan, bahkan bangga sebagai pewaris peradaban kampung lawas dan peninggalannya.
Semoga seluruh kampung lawas di Indonesia mampu bertahan di tengah semakin gilanya pembangunan kota modern.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.