Travelog

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta

Langkah kaki menuntun saya ke Kabupaten Boyolali dan Sukoharjo. Saya menyambangi dua pesanggrahan milik Kasunanan Surakarta (Solo), yaitu Pesanggrahan Pracimoharjo di Desa Paras, Cepogo, Boyolali; dan Pesanggrahan Langenharjo di Desa Langenharjo, Grogol, Sukoharjo.

Pesanggrahan merupakan rumah singgah bagi keluarga raja setelah selesai anjangsana ke luar wilayah kerajaan. Boyolali dan Sukoharjo saat ini masuk wilayah bekas Karesidenan Surakarta (Solo). Kala itu, kedua kabupaten dipimpin bupati yang dibantu wedana, tetapi di bawah pengawasan sunan dan residen Eropa di Kota Solo.

Sebagai wilayah kerajaan, lazim didirikan rumah singgah untuk menjadi sekadar tempat istirahat dan sembahyang raja, atau menjamu tamu Eropa di luar keraton. Pesanggrahan Pracimoharjo dan Langenharjo memiliki fungsi dan gaya bangunan yang sama, tetapi berbeda kondisi. Letak kedua pesanggrahan tersebut cukup berjauhan. Keduanya memiliki gaya sama, yakni layaknya keraton dengan pendapa dan ndalem ageng, tetapi berskala kecil.

Kira-kira diperlukan waktu 45 menit untuk berkendara dari Boyolali ke Sukoharjo. Setibanya di kedua pesanggrahan, saya tidak terkejut dengan perbedaan kondisinya yang sangat kontras. Sangat disayangkan. Namun, di balik itu tentu ada cerita yang selama ini terpendam rapi dan menunggu untuk ditelusuri lebih dalam. Penelusuran saya kali ini ditemani Heri Priyatmoko.

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Tampak depan Pesanggrahan Pracimoharjo/Ibnu Rustamadji

Pesanggrahan Pracimoharjo, Cita Rasa Eropa di Lereng Merapi

Tujuan pertama saya adalah Pesanggrahan Pracimoharjo di Paras Cepogo. Ekspektasi saya, setelah menyaksikan kemegahan gapura masuk, bangunan utama pendapa pesanggrahan bakal masih tampak utuh dan berwibawa. Namun, ternyata tidak.

Saat ini hanya tersisa reruntuhan tembok benteng dan gapura, fountain depan dan belakang, kolam air dangkal, loji utara dan ruang sembahyang raja di ndalem ageng. Akan tetapi, patut disyukuri saat ini pendapa sudah selesai dibangun meski hanya replika dengan bahan kayu baru.

“Ini [pesanggrahan] termasuk mewah di zamannya karena dilengkapi regol kayu di tiga penjuru, gapura gaya Romawi, dan dikelilingi tembok setinggi dua meter,” ungkap Heri.

Pesanggrahan Pracimoharjo didirikan sekitar tahun 1804 oleh Sunan Pakubuwana VI. Fungsinya sebagai rumah tetirah setelah anjangsana ke wilayah barat Solo dan keraton kecil di luar keraton kasunanan. Kondisi pesanggrahan kala itu masih sederhana hingga tahun 1894.

Puncaknya ketika Sunan Pakubuwana X naik tahta pada 1894, pesanggrahan direnovasi dan disempurnakan. Sebagai keraton kecil, pesanggrahan dilengkapi fasilitas mewah dan hiasan bergaya Eropa. Satu patung gaya Eropa masih terdapat di sana walau bentuknya sudah tidak utuh.

Seiring berjalannya waktu, pesanggrahan pun digunakan untuk menjamu tamu Eropa yang tengah anjangsana ke wilayah Solo. Dua jamuan yang terkenal antara lain kedatangan Gubernur Jenderal Jhr. A. C. D. de Graeff pada 1935 dan Raja Siam dari Thailand beserta keempat putrinya tahun 1937.

Kedatangan Jhr. A. C. D de Graeff didampingi sang istri, setelah sebelumnya diterima Sunan Pakubuwana X dan istri di keraton kasunanan. Mereka lantas beranjak menuju Pesanggrahan Pracimoharjo untuk menyaksikan gelaran rampogan matjan di alun-alun pesanggrahan, lalu menikmati alam pegunungan Merapi-Merbabu. Tidak ada catatan mengenai apa yang kedua pemimpin itu bicarakan. Entah murni pertemuan persahabatan atau politik, tidak diketahui pasti. Heri pun menyatakan hal yang senada.

Adapun maksud kedatangan Raja Siam adalah menghadiri undangan Sunan Pakubuwana X untuk menikmati jamuan di Pesanggrahan Pracimoharjo. Kunjungan keluarga Raja Siam disambut rampogan matjan, tari Srimpi, tari Wireng, dan ditutup jamuan rijstaffel. Beberapa pejabat pemerintah turut hadir, di antaranya G. A. Burgerhout (asisten residen Solo), Ernest Dezentje (anak J. A. Dezentje, tuan tanah Boyolali), dan keluarga Rademaker.

Sore harinya, rombongan tersebut kembali ke Solo untuk beranjangsana ke Pura Mangkunegaran. Setibanya di sana, mereka disambut pementasan wayang kulit dan rijsttafel dari Pangeran Hadiwijaya. Malam harinya mereka tinggal di Pesanggrahan Pracimoharjo selama semalam.

Ada yang menarik di balik perjalanan tersebut. Heri menceritakan, “Paginya, setelah puas anjangsana di Pesanggrahan Pracimoharjo dan Pura Mangkunegaran, Raja Siam anjangsana ke Bandung. Tetapi putri-putrinya memilih melanjutkan perjalan ke Sarangan (saat itu masuk Karanganyar) dan berakhir di Bali,” ungkapnya.

Pesanggrahan Pracimoharjo. dengan kisahnya yang luar biasa, tetap saja kalah dengan keadaan.  Kondisi saat ini disebabkan karena peristiwa bumi hangus tahun 1942. Bumi hangus berarti bukan sekadar dibakar, melainkan dirusak sampai tak berbentuk. Tujuannya agar pesanggrahan tidak jatuh di tangan musuh.

Pascaskemerdekaan, kondisi Pesanggrahan Pracimoharjo tidak terurus selama puluhan tahun. Pesanggrahan ini hanya digunakan untuk upacara hari tertentu, seperti malam 1 Suro dan Maulid Nabi.

Pesanggrahan Langenharjo, Eksistensi Keraton Kecil di Tepi Bengawan Solo

Puas melihat Pesanggrahan Pracimoharjo, kami bergeser ke Pesanggrahan Langenharjo. Setibanya di sana, perasaan saya campur aduk antara senang dan sedih setelah melihat kondisinya, meskipun masih jauh lebih baik daripada Pesanggrahan Pracimoharjo.

Posisinya yang tepat menghadap aliran Sungai Bengawan Solo, menjadikan Pesanggrahan Langenharjo juga digunakan sebagai sarana tirakat raja. Pesanggrahan ini didirikan semasa kepemimpinan Sunan Pakubuwana IX dan selesai pada 15 Juli 1931 di bawah kepemimpinan Sunan Pakubuwana X.

Menurut serat Jitna Hiswara beraksara Jawa yang Heri miliki, didapatlah cerita mengenai Sunan Pakubuwana IX. Diceritakan bahwa ia sering berkunjung ke Pesanggrahan Langenharjo untuk kungkum atau berendam di tepi sungai Bengawan Solo untuk berdiam diri. 

Tidak salah dan lazim terjadi. Bukan artian meminta, melainkan menyeimbangkan energi diri dengan alam. Aliran sungai yang sering kali bisa berubah tiba-tiba, tidak menjadi halangan bagi sunan untuk menenangkan batin. Heri menambahkan, selain untuk rumah tetirah juga kerap digunakan untuk menggelar pesta keluarga.  

Pesanggrahan Langenharjo juga merupakan tempat pertama terciptanya beschaafd Langenharjan atau beskap Langenharjan oleh Kanjeng Gusti Mangkunegara IV, ketika beliau menghadap raja di pesanggrahan. Beskap tersebut tercipta dari perpaduan jas Barat dengan jas Mangkunegaran.

Beskap Langenharjan digunakan hanya hari-hari tertentu oleh keluarga raja Pura Mangkunegaran, sebagai simbol perpaduan dua budaya negara yang berbeda. Pemakai beskap Langenharjan pun harus memahami filosofi kehidupan, ajaran, dan arti penting yang terkandung dalam satu beskap. Makna tersebut rumit untuk bisa segera dipahami, karena harus mampu menyeimbangkan alam pikiran dan perilaku.

Penggunaan jarit (jarik) pun tidak sembarangan, yakni sebagai upaya menahan diri agar tidak iri dan gegabah mengambil sebuah keputusan ke depannya. Keluarga raja yang menggunakan beskap Langenharjan dengan jarik, diharapkan mampu menjaga harkat martabatnya sebagai manusia. Memanusiakan manusia dan manunggaling kawula Gusti. Tatkala pesta selesai, pesanggrahan kembali digunakan tetirah para permaisuri untuk sekadar memerintahkan juru nembang menghibur mereka. 

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Menara lantai dua Pesanggrahan Langenharjo/Ibnu Rustamadji

“Sejatinya apa keistimewaan pesanggrahan, selain lokasinya di tepi Bengawan, Mas?“ tanyaku penasaran.

Ternyata, bagian belakang pesanggrahan terdapat kolam sumber mata air panas.  Tidak lazim, tetapi faktanya demikian. Jika ditinjau dari kondisi geografis, sangat tidak mungkin terdapat aliran uap air panas, karena dekat Bengawan Solo. Jarak dengan pegunungan juga cukup jauh.

Namun, kolam itu ada dan masih berfungsi hingga sekarang. Hanya saja, setiap sore selalu dipenuhi warga yang memanfaatkan kolam untuk sekadar bercengkerama di sekitarnya. Fakta adanya kolam sumber air panas didukung dengan keberadaan kamar mandi keluarga raja yang digunakan setelah berendam. 

“Tahu menara sangga buwana Kori Kamandungan, kan? Di sini juga ada, tetapi lebih kecil,” ucapnya.

Menara yang dimaksud Heri, sejatinya ruang nyepi, ruang santai sekaligus tempat sembahyang sunan. Bukan seperti yang didengungkan liar, jika menara sangga buwana merupakan tempat bertemunya Sunan Pakubuwana X dan Ratu Pantai Selatan—yang sejatinya mitos semata. Raja tentu ingin menyaksikan lingkungannya tanpa harus keluar regol kori Kamandungan Lor/Kidul, menggunakan menara sangga buwana. 

Sama juga fungsi dari ruang menara di bagian belakang ndalem ageng Pesanggrahan Langenharjo. Tidak banyak rumah tetirah milik priyayi Jawa atau elit Belanda yang memiliki menara. Selain sebagai privasi, nilai estetis juga sangat diperhatikan.

Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta
Ruang utama di ndalem ageng pesanggrahan/Ibnu Rustamadji

Renungan di Pinggiran Sungai

Puas menikmati setiap sudut Pesanggrahan Langenharjo, langkah kaki kami beranjak menuju aliran sungai tepat di depan pesanggrahan. Ketika kami tiba di atas tanggul, baru saya sadari jika letak pesanggrahan jauh lebih rendah dari aliran sungai.

“Bukan pesanggrahan yang turun atau dibangun lebih rendah, tapi kali Bengawan yang mengalami pendangkalan dan tanggul tepi dibuat semakin tinggi,” jelasnya. 

Uniknya, warga yang ingin berkunjung ke pesanggrahan dari seberang sungai harus menggunakan perahu berjuluk jung dan bersandar di pelabuhan Langenharjo. Hanya saja, sekarang pelabuhan sudah tidak ada imbas peningkatan sedimentasi dasar sungai. Saat ini, jika ingin mengakses pesanggrahan harus melalui gerbang utara. Sampai di halaman depan, tampak pendapa menghadap tanggul sungai. Tanggul itulah lokasi gerbang awal pesanggrahan berada.

Langit senja mulai menggelayuti, kami pun memutuskan untuk menikmati wedangan lesehan. Sekadar melepas lelah setelah penelusuran dua pesanggrahan. Besar harapan kami, keberadaan Pesanggrahan Pracimoharjo dan Pesanggrahan Langenharjo dapat bertahan hingga tahun-tahun mendatang.

Perbaikan bangunan yang rusak, sejatinya bisa diselesaikan dengan sinergi pihak-pihak terkait. Kalaupun tingkat kerusakan cukup berat, alangkah baiknya dilakukan penyimpanan dan reproduksi sesuai aslinya. Hal ini dilakukan tidak lain untuk modal belajar anak muda seperti kami yang haus akan keindahan masa lalu.

Kalau peninggalan dihancurkan, anak cucu kita akan melihat apa? Apakah cukup dengan “katanya orang dulu” yang sangat diragukan kebenarannya? Hanya waktu dan kita yang bisa menjawab.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan