Kami mendatangi enam titik reruntuhan jejak kejayaan Johannes Agustinus Dezentje (Tinus) di Boyolali. Butuh waktu 40 menit perjalanan dari Surakarta. Pukul 09.00, kami tiba di Europeesche Familiegraf Plaats Dezentjé, taman pemakaman keluarga Eropa (Belanda) Dezentje di Gondang, Kecamatan Ampel. Michael dan Theresia sangat bahagia, akhirnya mereka pulang ke rumah awal dan ziarah ke makam keluarga Tinus.
“Akhirnya! Makam yang sangat indah. Terima kasih, Benu, sudah mengantarkan kami pulang ke Ampel. Sekarang kamu boleh pulang, ha-ha-ha,” canda Theresia.

Sang Tuan Tanah dari Ampel
Menurut data Michael, Johannes Agustinus Dezentje (Ampel 1797–Ampel 1839) adalah putra dari August Jan Caspar dan Johanna Magdalena Kops. Kakek dan neneknya bernama Jean Francois Teissonjer dan Flohr Helwig. Jan Caspar dan Johanna menikah tahun 1799, ketika masih berdagang anggur di Jakarta.
Pada 25 Oktober 1781, keduanya memutuskan menetap di rumah sang istri di Boyolali. Jan Caspar mengadu nasib sebagai prajurit militer Belanda di Surakarta. Berdinas militer 27 tahun, ia akhirnya menuai sukses sebagai pengawal pribadi Sunan Pakubuwana II, berpangkat luitenant der dragoners, ditandatangani Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, 17 Juni 1808.
Berbekal gaji sebagai perwira Inggris dan jabatan pengawal raja, ia memberanikan diri menyewa tanah bebas pajak milik Kasunanan Surakarta yang terbentang dari Salatiga hingga Ampel. Tanah itu kemudian ia kelola dan dirikan kediaman hingga mereka wafat di Surakarta, dimakamkan berdampingan di Gereja Sangkrah Pasar Kliwon.
Tanah itu kemudian diwariskan kepada Tinus di usianya yang ke-18. Tidak lama kemudian, Tinus menikahi Johanna Dorothea Boode selama tiga tahun hingga dikaruniai dua anak perempuan. Setelah sang pujaan hati wafat, ia kembali menikah dengan putri kasunanan, Raden Ayu (R.Ay) Tjondrokoesoemo atau Sara Helena.
Pascamenikah, mereka tinggal di Ampel dan dikaruniai enam anak. Salah satunya bernama Annimpellma, sebagai wujud penghormatan atas tanah perkebunan di Ampel. Kediaman dan gaya hidup keduanya seperti bangsawan Surakarta. Meski begitu, ia tidak segan membagi bibit dan hibah hewan ternak cuma-cuma kepada pegawai perkebunan. Warga pun memberi hormat hingga bersimpuh kepada mereka.
Ketika Perang Jawa (1825–1830), kondisi keluarga Tinus di ambang kehancuran. Demi menjaga keamanan perkebunan dan keselamatan keluarga, ia rela mengeluarkan banyak biaya untuk menyewa 1.500 prajurit dalam Detasemen Dezentje. Mereka ditugaskan menjaga keluarga Tinus dan keluarga keraton. Tinus berhasil melobi Sunan Pakubuwana II bersikap netral selama Perang Jawa. Ia juga berkontribusi membuat proyek pembangunan saluran air sepanjang 60 kilometer dengan dana pribadi dan pinjaman dari Nederlandsch Handels Maatschappij (Bank Mandiri Semarang).
Sayangnya, proyek ambisius belum selesai, Tinus keburu wafat pada 7 November 1839. Ia terjatuh dari pelana kuda usai meninjau perkebunan dan hendak kembali ke rumah hingga tidak sadarkan diri. Sempat dilarikan ke Zendingziekenzorg (RSUD Dr. Moewardi Surakarta), tapi nyawanya tidak tertolong.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya, ia diberi penghargaan medali Orde de Nederlandse Leeuw (Orde Singa Belanda) oleh Kerajaan Belanda. Tinus meninggalkan keluarga dan warisan tanah seluas 1.275 hektare. Namun, karena sering gagal panen dan tuntutan gaya hidup keluarga, tanah perkebunan dibagi ke ahli waris. Salah satunya J.E.A. Dezentje, seniman lukis dan suami Dezentje van den Berg. Keduanya tinggal hingga wafat di Ampel. Mereka memiliki beberapa anak, di antaranya Ernest Dezentje, suami Siti Rasmani nee Dezentje. Mereka tinggal hingga wafat di Tajurhalang, Bogor.


Merangkai ikatan keluarga di pintu gerbang kompleks makam keluarga Johannes Agustinus Dezentje (kiri) dan foto bersama Michael di pusara Tinus/Ibnu Rustamadji
Kondisi Makam Keluarga Saat Ini
Batu-batu nisan makam keluarga Tinus memiliki berbagai ukuran dan gaya arsitektur yang berbeda. Semakin rumit gayanya, semakin tua umur batu nisan. Gaya batu nisan dibuat beraneka ragam sebagai status bangsawan dan memudahkan keluarga berziarah tanpa harus melihat prasasti.
Semua prasasti makam keluarga Tinus terbuat dari batu marmer berkualitas tinggi, didatangkan langsung oleh perusahaan Ai Marmi Italiani dari Gunung Carrara, Italia. Sayangnya, selama 1970–1980 banyak terjadi aksi penjarahan prasasti untuk bahan pembuatan meja marmer dan dijual.
Jujur, sampai sekarang kami kesulitan melacak siapa saja yang dikuburkan di makam keluarga Tinus. Sebab, seluruh prasasti hilang. Meski begitu, kami bersyukur semua batu nisan masih utuh dengan berbagai kondisi. Kami bahagia bisa ikut memiliki dan mempertahankan satu-satunya mausoleum Eropa bergaya art deco di makam Belanda paling lengkap di Boyolali. Michael terdiam sejenak, karena tidak menduga leluhurnya meninggalkan sebuah makam mausoleum tepat di hadapannya.
Hanya saja, kami belum bisa mengidentifikasi siapa ketiga mendiang yang dikubur berdampingan di dalam mausoleum. Kami menduga mereka bapak, ibu, dan seorang anak. Merujuk data keluarga, Tinus memiliki enam istri (Belanda, Jawa, Tionghoa) serta sekitar 25 anak dan menantu. Tak ayal dalam satu kompleks terdaftar sekitar 35 batu nisan berbagai bentuk.
Mengacu denah kompleks makam Tinus di Rekso Pustoko Mangkunegaran, terungkap jika gerbang pintu masuk pertama ada di barat laut, tepat di depan batu nisan Tinus. Gerbang asli kini telah hilang, berganti halaman rumah warga. Pintu gerbang masuk makam keluarga Tinus satu garis lurus dengan batu nisan makam Tinus dan batu nisan makam Francois Deux, putra angkat Napoleon Bonaparte I, yang diketahui memiliki sejarah hubungan cukup panjang.

Sisa Kejayaan Keluarga Dezentje
Di Desa Candi, Ampel, kami melihat bekas lokasi kediaman keluarga Tinus. Michael dan Theresia harus menelan pil pahit, karena tidak ditemukan sisa jejak kediaman Tinus. Semuanya sudah hilang tak berbekas, berubah menjadi perkampungan.
Untungnya mereka membawa foto lama kediaman Tinus, sehingga kami bisa mendapatkan sedikit gambaran keindahan kala itu. “Ya, sayang sebenarnya. Tetapi inilah fakta akibat nasionalisasi peninggalan Belanda oleh pemerintah, semua bisa terjadi dan sudah pasti hancur,” ungkapnya sambil bercanda.
Selanjutnya kami menuju Desa Sruni, Musuk, melihat pabrik kopi dan teh Sroeni milik Tinus di lereng timur Gunung Merapi. Saat ini hanya menyisakan satu bak penampungan air besar di timur SDN 1 Sruni, dengan 12 bak penampungan kecil dengan kedalaman 6–7 meter. Lokasi pabrik Sroeni kini berubah menjadi perkebunan warga, dengan latar belakang Gunung Bibi dan puncak Merapi.
“Kamu sudah terbiasa dan tampak menikmati sekali jalan di perkebunan orang, ya, Benu?” canda Michael. Satu-satunya jalan menuju reruntuhan pabrik hanya jalan setapak di tengah perkebunan. Kerap saya bertegur sapa dengan warga yang sedang memetik mawar merah atau sekadar memupuk tanaman. Sesepuh asli Desa Sruni banyak yang tahu jika wilayahnya dahulu perkebunan kopi dan teh.
Ekspedisi kami lanjutkan ke Desa Tampir, Musuk. Tepatnya di bekas pabrik kopi Baros Tampir milik keluarga Tinus. Kini pabrik berubah menjadi kantor Perusahaan Air Minum Tirta Ampera. Untungnya masih tampak sisa fondasinya, meski harus jeli dan mendekat jika ingin melihat. Setelah bertegur sapa dengan penjaga kantor, kami segera melacak satu fondasi lain di barat kantor, satu bak penampungan air di seberang jalan, dan satu makam Belanda tanpa nama.
Makam tanpa nama itu berada tepat di barat laut kantor Tirta Ampera. Pertama kali saya temukan sudah rusak tanpa prasasti, dengan monumen pilar geriginya yang terjatuh tidak jauh dari batu nisan. Kami tidak bisa mengidentifikasi sosok yang dikubur, hanya bisa menduga milik salah seorang pegawai Belanda di pabrik kopi. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, selain mendokumentasikan kondisi makam yang sudah mulai ditumbuhi semak belukar.
Kami melanjutkan perjalanan ke Desa Sukorame, Musuk, untuk melihat pabrik kopi Soekarame. Pabriknya sudah tidak ada, tinggal bak penampungan air seperti pabrik kopi sebelumnya. Tiba-tiba Michael menunjukan empat foto lama pabrik kopi “Soekarame”, dan nama marga Belanda d’Abo. Kami segera menempatkan diri di posisi sang fotografer mengambil foto, untuk membuat perbandingan kondisi dahulu dan sekarang.
Tampak dalam foto lama, pabrik berlatar belakang siluet puncak Merapi. Kami membuktikan bahwa lokasi yang kami datangi adalah pabrik kopi Soekarame milik Tinus yang kemudian berpindah kepemilikan ke keluarga d’Abo.

Sorenya, kami putuskan mengakhiri ekspedisi di rumah saya untuk istirahat serta memperkenalkan Michael dan Theresia kepada orang tua saya. Saya juga memberikan sebuah buku mengenai peninggalan Belanda di Boyolali yang saya tulis. Obrolan multibahasa (Belanda, Inggris, Indonesia, Jawa) kami berlangsung sekitar 1,5 jam. Michael dan Theresia tampak bahagia bersua orang tua saya meski terkendala bahasa.
Satu hal yang sempat membuat saya terkejut adalah permintaan Theresia agar saya melakukan tes DNA. Ia memiliki firasat kalau saya masih berkerabat dengan keluarga Tinus, karena sampai saat ini masih merawat peninggalan Tinus dan tinggal di Boyolali. Michael tertawa dan menyetujuinya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.