Hari Jumat (25/10/2024) menjadi hari pembuktian kedatangan sepasang suami istri, yakni Michael van den Honert (kewarganegaraan Belanda) dan Theresia Athmer (kewarganegaraan Polandia). Mereka tidak lain adalah paman dan bibi dari Floris Kleemans yang lebih dahulu datang sekitar empat bulan sebelumnya.
Sebagai warga negara Belanda, tentu mereka asing dengan Indonesia. Meski mereka memiliki tujuan jelas, tetapi mereka bingung cara memulai dan ke mana tujuan yang harus didatangi. Saya maklumi keadaan tersebut. Hingga akhirnya mereka menghubungi saya untuk menemani ekspedisi melacak leluhurnya, Rudolph Louis d’Abo dan Johannes Agustinus Dezentje di Kabupaten Kendal, Kabupaten Boyolali, dan Kota Surakarta.
Tidak lama saya menyetujui permintaan mereka, dan merencanakan tujuan penjelajahan kami. Mereka rela menempuh jarak puluhan ribu kilometer dari Belanda ke Indonesia, demi bertemu dan mengajak saya untuk mengikat kembali simpul tali leluhur keluarga yang lama putus.
Kedatangan mereka tidak sia-sia. Mesastila Hotel Resort di Losari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, menjadi tempat awal kami berjumpa. Setelah bertegur sapa dan menyampaikan rencana penjelajahan, kami segera memulai ekspedisi.

Pabrik Karet Klein Getas, Tujuan Awal Perjalanan
Membutuhkan waktu sekitar 2 jam 10 menit dari Mesastila untuk sampai di tujuan pertama, yakni Pabrik Karet Klein Getas di Boja, Kendal. Perjalanan menjadi lebih lama karena saya mengambil arah yang salah. Namun, bagi Michael dan Theresia justru menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Selama perjalanan, canda dan obrolan santai menjadi hiburan utama kami. Maklum saja, musik di dalam mobil yang saya gunakan beraliran heavy rock, sehingga tidak mungkin saya nyalakan karena mereka sudah berumur 70 tahun. Meski sudah usia lanjut, mereka masih sehat fisik dan mental, ingatan masih tajam.
Hanya saja, semalam Michael sempat sakit akibat dehidrasi karena terlalu bersemangat saat mengunjungi Candi Borobudur sehari sebelumnya. Syukurlah, ia mendapat pertolongan dari seorang dokter dari Magelang. Jika tidak, semua rencana akan berantakan.
Mereka tinggal di Jawa Tengah selama kurang lebih empat hari, demi melakukan ekspedisi bersama saya mengunjungi tiga daerah di Jawa Tengah. Dimulai di Kendal, berlanjut ke Boyolali dan berakhir di Surakarta. Perjalanan terasa cukup menyenangkan, hingga tanpa saya sadari kami telah sampai di pabrik karet tersebut.


Melihat Peninggalan Rudolph Louis d’Abo di Klein Getas
Gapura besi bertuliskan “Pabrik Latex Mentah Getas Kecil” yang sederhana menyambut kedatangan kami. Sepanjang jalan masuk pabrik, naungan pohon karet setia menaungi. Tidak lama kemudian tampak sebuah gedung kuno berlantai dua yang dulu bernama Pabrik Karet Klein Getas.
Saat kami datang, tidak tampak seorang pun di pabrik. Setelah menepikan kendaraan, tampak pria paruh baya mendekat dan menanyakan tujuan kami. Setelah saya sampaikan maksud dan tujuan, akhirnya beliau mengizinkan untuk mengeksplorasi dan mengabadikan kompleks pabrik.
Menurut catatan keluarga yang dibawa Michael, pabrik karet ini didirikan sekitar tahun 1890 oleh perusahaan perkebunan Klein Getas. Salah satu inisiatornya adalah Rudolph Louis d’Abo, kakek buyut Michael. Rudolph Louis d’Abo merupakan suami dari Adele Engeline Leonore Dezentje, anak Johannes Agustinus Dezentje dan Engeline Florentine Willemz.
Dalam mendirikan pabrik karet Klein Getas, Rudolph Louis d’Abo bekerja sama dengan beberapa pemilik perkebunan di sekitarnya. Pabrik ini berada di area perkebunan karet Getas, Desa Kedungsari, Kecamatan Singorojo.
Jejak pabrik maupun perkebunan karet masih eksis meski sudah tidak memproduksi berskala besar. Di tengah memotret detail pabrik dan perkebunan karet, tiba-tiba muncul pertanyaan mengenai adanya perusahaan perkebunan lain di Salatiga dengan nama hampir sama, yakni Getasan.
Menurut Michael, mungkin ada hubungan, tetapi beda pemilik dan pengelola. Ia menambahkan, Rudolph d’Abo tidak hanya sebagai pemilik, tetapi juga pengawas internal perusahaan perkebunan. Tidak menutup kemungkinan Rudolph d’Abo menjalin hubungan kerja sama bisnis dengan perusahaan perkebunan lain di luar Kendal, salah satunya Getasan.
Dan benar saja, Rudolph d’Abo diketahui juga menjalin kerja sama dengan tuan tanah dan pengusaha perkebunan asal Ampel, Boyolali, yakni Johannes Agustinus Dezentje. Dalam catatan keluarga, tertulis jika Rudolph d’Abo memiliki kekerabatan dengan Dezentje. Ia merupakan menantu Johannes Agustinus Dezentje dan Engeline Florentine Willemz karena pernikahan antaranak.
Merujuk dokumen pendirian pabrik yang dimiliki Michael, ditemukan fakta bahwa perjanjian tersebut bertujuan untuk mencegah klaim tanah secara sepihak antarpengusaha. Selain itu juga mencegah penyelewengan terhadap perjanjian kerja sama yang telah diteken.
Saat di pabrik, kami melihat fakta fisik, bahwa bangunan pabrik sudah mengalami perubahan beberapa kali akibat semakin meningkatnya produksi. Meski begitu, lanskap pabrik di tengah perkebunan karet masih dipertahankan, hanya dilakukan perubahan di gedung utama.
Sejatinya kami menyayangkan adanya perubahan besar-besaran yang terjadi, walau hal ini tidak bisa dimungkiri. Namun, Michael dan Theresia tidak mempermasalahkan itu. Mereka merasa bersyukur masih bisa menjumpai peninggalan kakek buyutnya, yang sudah tidak tampak seperti awal pabrik dibangun.
Ekspedisi kami di pabrik karet Klein Getas berlangsung sekitar 2,5 jam. Di tengah asyik menikmati suasana perkebunan, tiba-tiba Michael menunjukan selebaran mengenai kabar wafatnya Rudolph Louis d’Abo, tertanggal 11 Agustus 1905. Hanya saja, tidak diberitakan secara detail waktu dan lokasi pemakaman. Kami menduga ada dua tempat, yaitu makam Kristen Meteseh di Boja dan makam keluarga Dezentje di Ampel.
Tingginya rasa penasaran membawa kami untuk segera melanjutkan perjalanan. Tidak lupa kami foto bersama dengan latar belakang pabrik lalu berpamitan dengan satpam.

Melacak Pusara Rudolph Louis d’Abo di Meteseh
Kami membutuhkan waktu sekitar 20 menit dari pabrik Klein Getas menuju makam Kristen Meteseh, Jalan Tulang Bawang, Krajan Tengah, Boja. Lokasi yang diduga menjadi tempat peristirahatan terakhir sang Rudolph Louis d’Abo.
Tidak saya sadari sebelumnya, jarum jam menunjukan pukul 11.15. Waktunya untuk salat Jumat. Tampak dari kejauhan, anak-anak bersarung menyeberang jalan. Saya segera meminta izin untuk istirahat sebentar sekaligus salat Jumat. Suatu keberuntungan lokasi masjid tepat berseberangan dengan minimarket.
Michael dan Theresia pun ikut turun dan beristirahat di minimarket yang ber-AC. Sekitar 45 menit kemudian, kami berjumpa kembali dan melanjutkan ekspedisi. Tak disangka, Michael bercerita soal karyawan minimarket yang sempat menyapa mereka dan meminta foto bersama.
Ia menambahkan, karyawan tersebut ingin menunjukkan ke orang tuanya, kalau di tempat kerja ia bertemu warga Belanda. Mereka awalnya bingung karena karyawan itu berbahasa Indonesia, sedangkan mereka lebih fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Namun, mereka memahami bahasa tubuh si karyawan.
Michael juga sempat menceritakan keinginannya untuk belajar bahasa Indonesia dan melihat peninggalan kolonialisme di Indonesia, jika masih diberi kesempatan Tuhan berkunjung kembali ke Indonesia. Mendengar pernyataan tersebut, tiba-tiba saya terpikirkan memberi cendera mata kecil untuk mereka di hari terakhir ekspedisi. Mereka tidak sabar dengan apa yang akan saya berikan.
Asyik bercengkerama, saya sempat kebablasan hingga harus putar balik dua kali untuk memasuki areal pemakaman Kristen Meteseh. Gara-garanya, jalan menuju pemakaman berada di antara dua ruko berjejer di pinggir jalan.
Setidaknya ada sekitar 15 makam Belanda dalam satu kompleks di sini, dengan berbagai ukuran dan gaya arsitektur berbeda. Kondisinya utuh meski beberapa kurang terawat dan mengalami rusak parah. Batu nisan makam mayoritas utuh dan terbaca nama mendiang yang dikuburkan. Hanya saja butuh ketelitian membaca setiap guratan epitaf yang masih tersisa.
Mereka yang dikuburkan di sini, selain elit Belanda, juga pegawai pemerintah Belanda, yakni asisten residen Kabupaten Kendal dan seorang anak pengusaha yang tewas akibat salah tembak oleh rekan orang tuanya ketika berburu. Sekitar satu jam kami membaca setiap batu nisan yang tersisa, kami tidak menemukan satu nama keluarga d’Abo.
Kami pun fokus pada batu nisan anak yang jadi korban salah tembak itu. Ia tewas karena rekan orang tuanya salah menduga si anak adalah hewan buruan yang bersembunyi di antara pepohonan. Meski bisa menerima, Michael dan Theresia cukup terkejut mendengar cerita tragis tersebut.
Upaya mencari keberadaan makam Rudolph Louis d’Abo di Meteseh menemui jalan buntu. Namun, alam seolah merestui ekspedisi kami, yang membantu menguak cerita masa lalu masyarakat dan pemakaman Kristen itu.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.