TRAVELOG

Masjid Sabiilurrosyaad: Sejarah, Peninggalan, dan Tradisi sejak Abad ke-16 Masehi (2)

Berangsur-angsur langit terlelap, matahari perlahan tenggelam. Begitu juga dengan penanda waktu, kini jam bencet di utara masjid sudah tak terlihat bayangannya, tandanya azan Magrib akan segera tiba. 

Masyarakat desa mulai berdatangan. Anak-anak kecil mulai bermain bersama di pelataran. Bersamaan dengan itu, masyarakat dari luar daerah Pandak juga berduyun-duyun datang.

Beranjaklah kami mengikuti kegiatan berikutnya, kegiatan yang kami nanti-nanti sedari awal tiba. Terdapat dua tempat yang digunakan sebagai kegiatan sore ini (25/3/2025), satu di serambi masjid, satunya lagi di sisi selatan masjid. Seketika kami langsung menuju ke sisi selatan masjid terlebih dahulu.

Kesibukan kelompok ibu-ibu dan remaja perempuan menyiapkan hidangan takjil bubur sayur lodeh di area Masjid Sabiilurrosyaad, Bantul, Yogyakarta/Afrinola Setya Syarmanella

Pembuatan Takjil Sayur Lodeh di Masjid Sabiilurrosyaad

Di selatan masjid, terdapat bangunan yang khusus dibuat sebagai dapur umum, yang tentunya digunakan untuk memasak. Terkhusus bulan puasa Ramadan, setiap sore dapur itu ramai, karena difungsikan untuk mempersiapkan takjil bubur sayur lodeh yang sudah ada sejak sekitar abad ke-16 Masehi.

“Kami meyakini itu [keberadaan takjil bubur sayur lodeh] sejak Panembahan Bodho, karena orang-orang tua dan mbah-mbah kita, ya, dari dulu, dari yang bikin masjid,” ungkap Pak Haryadi.

Begitu juga dengan pengurusnya yang memasak, selalu turun-temurun. “Ada Pak Yurkon dan Pak Hasan, mereka itu terpanggil dengan kesadaran diri karena mewarisi orang tuanya dulu karena sudah terbiasa masak bubur,” tambahnya.

Mereka, para penerus itu, selalu memasak setiap harinya ketika bulan puasa. Memasaknya juga tanpa bayaran, karena sudah seperti kewajiban untuk meneruskan warisan simbah-simbahnya.

Kabar baiknya, masyarakat di sini juga mendukung. Jadi, walaupun mereka tidak diutamakan, ketika ada waktu luang, masyarakat berdatangan untuk bahu-membahu saling bantu dan mempersiapkan buka puasa.

Ketika kami datang, setelah salat Asar berjemaah, beberapa orang sudah ada yang mempersiapkan piring dan tempatnya. Kemudian nantinya dilanjut lagi agak petang menjelang azan Magrib tiba. Namun, sebelum ‘agak petang’ itu, bubur dan sayur lodeh sudah dimasak hingga matang.

Jika azan Magrib hampir tiba, orang-orang yang ada di dapur itu, bertugas sesuai dengan tugasnya. Ada yang mempersiapkan piring, menuangkan bubur, menaburi mi, memberi telur, menuangkan sayur lodeh, menata piring, menyiapkan kerupuk, hingga menyiapkan minuman. Tidak hanya tradisi turun-temurun yang ada di sini, tetapi juga tradisi gotong royong dan kebersamaan yang dijaga untuk keharmonisan sesama.

Begitulah hari demi hari ketika Ramadan tiba. Sementara di serambi masjid, terdapat kegiatan lain yang perlu kami ikuti juga. Akhirnya, kami pun pergi ke sana.

Masjid Sabiilurrosyaad: Sejarah, Peninggalan, dan Tradisi sejak Abad ke-16 Masehi (1)
Seorang priayi memimpin pengajian dan disimak antusias oleh para jemaah perempuan/Afrinola Setya Syarmanella

Pengajian sebagai Sarana Penebar Kebaikan

Sesampainya kami di serambi masjid, hanya berjarak tak sampai 10 meter dari dapur, salah satu tokoh priayi di dusun sedang duduk sila di depan, ditemani bangku dan kitab yang telah terbuka. Sembari membaca beberapa hal, priayi itu turut menjelaskan kepada jemaah yang datang. Mereka antusias menyimak dan bertanya jika kebingungan.

Seperti orang Jawa pada umumnya, pengajian tiap sore menjelang buka bersama ini ada filosofinya. Filosofi itu berkaitan dengan dua makna dari ‘bubur’, yaitu bibirrin dan beber.

Bibirrin berarti hal yang bagus. Sementara beber diartikan membeberkan, menjelaskan, atau menerangkan. Maksudnya, siapa yang datang ke masjid, nantinya akan dijelaskan tentang hal-hal yang bagus.

“Makanya sebelum takjil harus ada pengajian-pengajian terkait,” ujar Pak Haryadi.

Namun, di sisi lain, terdapat hari ketika pengajian itu berskala lebih umum dan besar lagi, yaitu di hari Jumat. Berbeda dengan hari-hari lain, khusus hari Jumat pengisi kajian adalah kiai dari luar, sehingga terdapat daya tarik tersendiri bagi masyarakat umum. 

Terkhusus hari Jumat juga, karena masjid dekat dengan pondok, jemaah yang datang dari pondok banyak. Begitu pun yang dari kalangan masyarakat umum, sehingga porsi bubur akan dibuat berbeda daripada hari-hari biasanya. Jumlah bubur hari Jumat bisa mencapai 400 sampai 500-an porsi, hari biasa 100–150 porsi, dan hari-hari menjelang lebaran 80–100 porsi (karena anak pondok sudah pulang kampung).

Pengajian di Masjid Sabiilurrosyaad, baik di hari Jumat maupun hari lain, bersifat umum dan boleh didatangi oleh siapapun. “Masjid Kauman itu tidak hanya milik orang Kauman. Jadi, tetangga desa itu banyak yang datang ke sini,” kata Pak Haryadi.

Sejarah, Peninggalan, dan Tradisi sejak Abad ke-16 Masehi Masjid Sabiilurrosyaad (2)
Seorang remaja putra sedang memindahkan bubur ke atas baki untuk diantar ke para jemaah/Risqita Ayu Sofyananda

Filosofi Takjil Bubur Sayur Lodeh

Tak terasa, bunyi sirine dari toa pun terdengar. Lantas salah seorang jamaah membatalkan puasa dan lekas melaksanakan tugasnya sebagai muazin. Azan Magrib pun bergema.

Sebelumnya, para jemaah sudah duduk manis untuk melaksanakan buka bersama dengan menu takjil bubur sayur lodeh. Terdapat dua tempat yang berbeda, masing-masing khusus untuk laki-laki dan perempuan.

Setelah kami duduk manis, para remaja di desa melaksanakan tugasnya, yaitu mengantar bubur-bubur yang sudah siap dihidangkan dari dapur. Tak lupa, teh manis dan kerupuk juga disediakan sebagai pelengkap takjil bubur sayur lodeh tersebut.

Ketika sirine mulai terdengar, kami bersama-sama mulai menyantap takjil sayur lodeh. Terasa enak, gurih, lembut, dan juga membahagiakan, karena kami menyantap disertai pemandangan kebersamaan. Jika sudah selesai dan terdengar ikamah, para jemaah bergegas mengambil air wudu lalu salat Magrib berjemaah.

Hal menarik lainnya, karena sudah turun-temurun dari dulu, orang tua di sekitar masjid yang terbiasa takjil bubur ketika muda dan telah mengalami masa membatasi aktivitas fisik serta perlu istirahat (bed rest), mereka tetap minta dikirimi jatah bubur. “Wes, pokoe kudu bubur,” sahut Pak Haryadi seketika.

Para jemaahh pria (kiri) dan perempuan menikmati takjil bubur sayur lodeh di serambi masjid/Havis Tio Zidananto dan Risqita Ayu Sofyananda

Mengapa takjilnya memakai bubur? Ternyata itu mengandung filosofinya sendiri. Bubur sendiri merupakan makanan khas dari Gujarat, India. Begitu juga dengan kedatangan agama Islam ke Indonesia yang berasal dari Gujarat. Untuk memadukannya, diberi lauk khas Jawa, yaitu sayur lodeh.

Adapun filosofi pertama yang terkandung adalah bibirrin, berarti hal yang bagus. Maksudnya, masjid itu harus menjadi sumber pusat kebaikan yang bagus bagi masyarakat. Kedua, beber, berarti membeberkan, menjelaskan, atau menerangkan. Maknanya, agar agama Islam dapat diketahui masyarakat, itu disampaikan melalui penjelasan, seperti yang dilakukan Panembahan Bodho pada masa lalu. Begitu juga dengan masa kini, penjelasan itu disampaikan priayi melalui pengajian sebelum buka bersama.

Ketiga, babar, yang berarti meratakan ajaran Islam ke seluruh lapisan masyarakat. Ajaran agama Islam bisa diterima seluruh kalangan masyarakat, dari yang kaya-miskin, pejabat-rakyat biasa, dan tua-muda. Filosofi terakhir, bubur, berarti lemah lembut dan melebur. Maksudnya, ketika ajaran Islam datang, harus disampaikan secara lemah lembut agar mudah dicerna dan dipahami, sehingga akan melebur dengan jiwa masyarakat penganutnya.

Selain itu, bubur juga cocok disajikan sebagai menu berbuka puasa karena teksturnya lembut dan segar, sehingga nyaman untuk dikonsumsi. Secara ekonomi juga hemat. Jika dibandingkan dengan beras yang disajikan dalam bentuk nasi, bubur akan menghasilkan lebih banyak porsi.

Kami pun penasaran. Apakah menunya pernah ganti? Dan apakah takjil tetap berjalan saat pandemi COVID-19?

Sejarah, Peninggalan, dan Tradisi sejak Abad ke-16 Masehi Masjid Sabiilurrosyaad (2)
Hidangan takjil bubur sayur lodeh dan segelas teh manis hangat di Masjid Sabiilurrosyaad/Risqita Ayu Sofyananda

Berbekal cerita-cerita dari orang tua terdahulu, Pak Haryadi berkata, “Menurut cerita menunya tidak pernah ganti. Kecuali pas waktu itu masa larang pangan. Itu pernah katanya adanya bulgur, ya, bulgur; jagung, ya; jagung. Itu pernah, konon katanya simbah-simbah. Karena waktu itu benar-benar tidak ada yang kuat bersedekah beras.” 

Namun, hal itu tidak mengurangi prinsip mereka. Selama ada beras dan tetap terjangkau, mereka akan tetap menyajikan bubur. “Jadi, kalaupun pernah ada ganti itu karena keadaan situasi kondisi,” imbuhnya.

Tatkala pandemi COVID-19 melanda, Pak Haryadi menjelaskan, “Karena masjid aja ditutup apalagi takjil. Itu dua tahun. Tapi tahun ketiga itu sudah mulai meskipun terbatas, sedikit-sedikit tapi jangan sampai nanti hilang gitu,” pungkasnya.

Tok, tok, tok, tok, tok, tok, tok… Duk, duk, duk, duk, duk, duk, duk. Suara kentungan dan beduk ditabuh, azan Isya mulai bergema, mengakhiri pembicaraan kami di serambi Masjid Sabiilurrosyaad.

Allahu Akbar Allahu Akbar…


Referensi:

Ivan. (2021, 17 April). Menyantap Bubur di Masjid Sabilurrosya’ad. Kedaulatan Rakyat Online, https://www.krjogja.com/bantul/1242495618/menyantap-bubur-di-masjid-sabilurrosyaad, diakses pada 03 Juni 2025.
Mahmudah, Y. N. (2020). Respons Masyarakat Kauman Desa Wijirejo Pandak Bantul Yogyakarta terhadap Pelurusan Arah Kiblat Masjid Sabilurrosyad. Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang. https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/15722/.

Tulisan ini merupakan tugas kelompok liputan mahasiswa tentang fenomena unik di Yogyakarta, dengan dosen pengampu Ghis Nggar Dwiadmojo. Foto sampul oleh Risqita Ayu Sofyananda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Danang Nugroho

Danang Nugroho, lahir 2004 di Boyolali. Kini sedang menempuh pendidikan di Jogja. Suka berkelana serta menikmatinya. Dapat dihubungi via instagram @danang.kulo_real atau email [email protected].

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Museum Pertama di Boyolali (1)