TRAVELOG

Masjid Sabiilurrosyaad: Sejarah, Peninggalan, dan Tradisi sejak Abad ke-16 Masehi (1)

Matahari tampak condong ke barat, suara azan Asar mulai bergema, dan suasana asri mulai terasa saat kami sampai di pelataran Masjid Sabiilurrosyaad, Kauman, Desa Wijirejo, Kapanewon Pandak, Bantul, Selasa (25/3/2025). Rencana kami adalah mengikuti takjil bubur sayur lodeh yang konon katanya sudah ada sejak abad ke-16 Masehi. Kami pun segera mengambil air wudu dan bergegas mengikuti salat berjemaah terlebih dahulu.

Setelah salat selesai, saya yang berada di saf laki-laki melihat wajah salah satu jemaah yang tak asing, yang sudah pernah saya lihat sebelumnya di internet. Lantas setelah wiridan selesai saya menyapanya.

“Permisi, Pak. Apakah benar ini dengan Bapak Haryadi, ketua takmir masjid sini?” tanya saya.

“Iya, Mas. Ada apa?” jawabnya ramah.

“Ada keperluan yang ingin saya sampaikan, Pak. Baiknya di luar, di serambi masjid saja.”

Saya keluar terlebih dahulu. Pak Haryadi mematikan AC ruangan dan mengatur beberapa hal, lalu menyusul saya yang tengah duduk di serambi masjid bersama tiga teman sekelompok, yakni Afrinola Setya Syarmanella, Risqita Ayu Sofyananda, dan Havis Tio Zidananto. Kami menyampaikan keperluan untuk meliput masjid, kegiatan takjil, dan wawancara dengannya bakda takjil dan salat Magrib.

Beliau menyanggupi dan mempersilakan. Namun, karena ada keperluan lain di luar, Pak Haryadi tidak mengikuti takjil terlebih dahulu hari ini, tapi tetap akan ke masjid untuk salat Magrib berjemaah dan wawancara. Sembari menunggu, kami mulai melakukan observasi, mengikuti pengajian, berbuka dengan takjil bubur sayur lodeh, dan salat Magrib berjemaah.

Waktu terus berjalan, kegiatan demi kegiatan kami ikuti. Usai salat Magrib kami bertemu kembali dengan Pak Haryadi. Seperti orang yang sedang membawa gelas kosong, gelas-gelas kami terisi oleh informasi yang ia sampaikan, bagaikan air yang mengisi kekosongan gelas itu. Segala tanda tanya kami mulai terjawab.

Sejarah, Peninggalan, dan Tradisi sejak Abad ke-16 Masehi Masjid Sabiilurrosyaad (1)
Pak Haryadi, Ketua Takmir Masjid Sabiilurrosyaad, dengan raut wajah mengingat sejarah ketika kami wawancarai usai salat Magrib berjemaah/Afrinola Setya Syarmanella

Sejarah Masjid Sabiilurrosyaad

Sabiilurrosyaad bukanlah nama asli masjid ini, tetapi Masjid Kauman, memakai nama kampung. Sebab, masjid ini termasuk salah satu dari sekian banyak Kagungan Ndalem Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat.

“Karena waktu itu untuk kepentingan pendataan Kemenag (Kementerian Agama), masjid ini diganti namanya menjadi Sabiilurrosyaad,” ungkap Pak Haryadi.

Nama Kauman itu banyak sekali. ‘Kauman’ itu biasanya sebutan untuk wilayah tempat para santri belajar. Wilayah santri itu disebut sebagai ‘kaum’, tempat berkumpul para kaum agamawan. Masjid-masjid tua dengan wilayah santri seperti itu sering berada di kampung yang bernama Kauman.

Namun, lebih jauh dari itu, sekitar abad XVI masehi (kata Pak Haryadi tahun 1570-an), nama masjid bukanlah Kauman, melainkan Pijenan (Pawijenan). Alkisah pada waktu itu terdapat tokoh bernama Raden Trenggono atau Panembahan Bodho, murid Sunan Kalijaga. Terdapat dua cerita yang berkembang di masyarakat tentang sebutan Panembahan Bodho tersebut.

Pertama, dahulu ketika ada gemuruh suara debur ombak pantai selatan, Raden Trenggono menyangka bahwa itu adalah suara ancaman meriam dari Portugis. Waktu itu, dalam misinya menyebarkan syiar agama Islam di Pulau Jawa, beliau mendapat penjajahan dari Portugis, dan beredar kabar bahwa Portugis akan memasuki Jawa melalui pantai selatan. Oleh sebab itu, Raden Trenggono bersiap-siap menghadapi serangan tersebut dengan membangun pos penjagaan di wilayah pantai, sampai suara yang disangka meriam itu, ternyata hanyalah ombak dari Samudra Hindia yang sangat keras. 

Kedua, Raden Trenggono adalah keturunan dari Kerajaan Majapahit dan kakeknya merupakan adipati di Terung. Sebagai anak dari raja atau adipati, pastilah mewarisi takhta dari ayahandanya. Namun, ketika utusan dari ayahnya datang dan menyampaikan pesan agar mau menggantikan takhta dari ayahnya (Adipati Terung II), beliau menolak karena merasa bahwa dirinya telah hidup tenteram dengan menjadi seorang ulama. Atas dasar penolakan takhta itu, Raden Trenggono mendapat sebutan ‘bodho’ (bodoh).

Mengapa Raden Trenggono menolak jabatan itu? Hal ini berkaitan dengan pesan dari Adipati Terung I. Dahulu ketika Adipati Terung I di masa akhir pemerintahannya, beliau merasakan kejenuhan akibat banyaknya peperangan yang dilakukan antara kerajaan dan juga rakyatnya untuk mempertahankan dan merebutkan kekuasaan. Karena itulah Adipati Terung I memilih untuk hidup mulia, dengan bertobat, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan meninggalkan urusan duniawi.

Sejarah, Peninggalan, dan Tradisi sejak Abad ke-16 Masehi Masjid Sabiilurrosyaad (1)
Plang nama masjid, alamat, dan keterangan peninggalan Panembahan Bodho (yang bernama asli Raden Trenggono)/Afrinola Setya Syarmanella

Keinginan hidup mulia itu disampaikan kepada anak keturunannya untuk menghindari perebutan kekuasaan dan urusan politik. Salah satu cucu yang menjalankan pesan tersebut adalah Raden Trenggono. Beliau memilih untuk menimba ilmu agar meraih kemuliaan, kewibawaan, dan keluhuran. Pilihannya itu dijalankan dengan berguru kepada Sunan Kalijaga lalu menyebarkan agama Islam ke arah selatan Jawa, sampailah di Kulon Progo, Yogyakarta.

Raden Trenggono mulai mendirikan masjid dan menyiarkan ajaran Islam, hingga Sunan Kalijaga memerintahkannya untuk mendirikan masjid di sekitar Pandak. Tahun 1570-an beliau membuat masjid di lokasi yang dikelilingi hutan wijen.

“Karena begitu Raden Trenggono di sini, dulu hutan wijen, makanya dulu namanya Pijenan. Nah, setelah santrinya banyak, karena berkumpulnya para kaum, menjadi kampung Kauman,” lontar Pak Haryadi menyambung sejarah yang diceritakan sebelumnya.

Perjuangan Panembahan Bodho dalam syiar agama Islam di Pijenan berlangsung sekitar 20 tahunan, kemudian diteruskan oleh santri-santrinya. Pada tahun 1600 Panembahan Bodho wafat kemudian dikebumikan di Pasarean Sewu.

Sepeninggal Panembahan Bodho, berangsur-angsur jamaah tambah banyak, sehingga perlu renovasi. Renovasi pertama pada zaman penjajahan Belanda, yaitu ketika ada pabrik gula milik VOC di Kampung Kauman. Sebagai bentuk politik etis, masyarakat dibantu dengan renovasi bangunan masjid. Renovasi kedua berskala besar, terjadi sekitar tahun 1955–1997, yaitu perluasan area masjid dari yang awalnya 7×7 meter diperluas menjadi 13,5×13,5 meter.

“Karena namanya masjid, ya, prinsipnya itu fungsi, bukan sejarah, karena semakin berkembang, jamaahnya banyak, sehingga dengan terpaksa direhab,” ungkap Pak Haryadi.

Di sisi utara masjid masih ada peninggalan yang perlu dikulik, Begitu pun sisi selatan, terdapat tempat memasak yang melahirkan tradisi takjil sayur lodeh sejak abad ke-16 silam.

Tampak depan dan belakang dua maqom atau peninggalan bersejarah di Masjid Sabiilurrosyaad, jam bencet (seperti tugu, lebih tinggi) dan Watu Gilang yang diberi pembatas rantai/Risqita Ayu Sofyananda

Peninggalan Bersejarah di Masjid Sabiilurrosyaad

Tak jauh dari gurunya, Raden Trenggono mengajarkan Islam seperti cara Sunan Kalijaga, yaitu melalui pendekatan budaya yang luwes. Sebelum Islam datang dan berkembang, Agama Hindu dan Buddha terlebih dahulu eksis di Pulau Jawa dan memengaruhi kehidupan masyarakat saat itu.  

Pendekatan itu dijalankan Raden Trenggono dengan tidak menghilangkan batu klasik yang berbentuk seperti dampar’(kursi raja), yang digunakan untuk alas kaki ketika Raden Trenggono wudu. Batu tersebut diberi nama Watu Gilang. Itu adalah sebuah bentuk toleransi untuk menghormati umat agama lain dan tidak serta-merta menganggapnya keramat bagi umat Islam. Selain itu, cara demikian juga digunakan untuk menarik perhatian.

“Makanya jangan dibuang atau disia-siakan. Meskipun kita mendirikan masjid di sini jangan dibuang, itu adalah sarana mereka [umat Hindu] untuk ibadah,” kata Pak Haryadi.

Di samping batu itu, terdapat peninggalan berupa jam bencet atau jam istiwa. Berdasarkan pantauan saya, jam itu berbentuk persegi disertai cekungan segitiga di atasnya dan cekungan setengah lingkaran ke bagian dalam. Cekungan ke dalam itu terdapat angka 5, 4, 3, 2, 1 (sisi kiri) dan 7, 8, 9, 10, 11 (sisi kanan). Kemudian di tengah, terdapat angka 12.

Masjid Sabiilurrosyaad: Sejarah, Peninggalan, dan Tradisi sejak Abad ke-16 Masehi (1)
Potret dari dekat jam bencet yang angka-angkanya sudah pudar/Havis Tio Zidananto

Alat itu dulunya digunakan untuk mengetahui waktu salat tiba dengan mengandalkan cahaya matahari yang melewati paku yang terdapat di tengah jam, sehingga memunculkan bayangan.

Tak hanya itu, Pak Haryadi juga mengungkap fungsi lainnya. “Fungsinya itu bisa macam-macam, bisa menjadi dasar ilmu falak atau astronomi, menentukan waktu salat, menentukan cuaca, dan memastikan jam konvensional itu benar atau tidak.”

“Itu hanya untuk salat yang siang saja, Pak?” tanya saya seketika.

“Tidak, itu bisa menentukan salat lima waktu sekaligus. Paku yang untuk bayangan itu juga tidak sekadar dipasang. Panjangnya sudah ada rumusnya sendiri, ada ketentuannya sendiri. Kemudian ada blok atau rumah atau bodi, kemudian ada plat itu yang untuk dasar perhitungan,” jawabnya.

(Bersambung)


Referensi:

Mahmudah, Y. N. (2020). Respons Masyarakat Kauman Desa Wijirejo Pandak Bantul Yogyakarta terhadap Pelurusan Arah Kiblat Masjid Sabilurrosyad. Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang. https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/15722/.
Pradito, R. P. (2021, 14 April). Kisah di Balik Jam Bancet, Penanda Waktu Salat Masjid Sabilurrosya’ad Bantul. Detiknews, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5532517/kisah-di-balik-jam-bancet-penanda-waktu-salat-masjid-sabilurrosyaad-bantul, diakses pada 22 Mei 2025.
Wijana, E. P. E. dan Baktora, M. I. (2021, 15 April). Kenali Jam Bancet dan Batu Yoni, 2 Peninggalan Sejarah Masjid Kauman Bantul. Suarajogja.id, https://jogja.suara.com/read/2021/04/15/082500/kenali-jam-bancet-dan-batu-yoni-2-peninggalan-sejarah-masjid-kauman-bantul, diakses pada 22 Mei 2025.

Tulisan ini merupakan tugas kelompok liputan mahasiswa tentang fenomena unik di Yogyakarta, dengan dosen pengampu Ghis Nggar Dwiadmojo. Foto sampul oleh Afrinola Setya Syarmanella.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Danang Nugroho

Danang Nugroho, lahir 2004 di Boyolali. Kini sedang menempuh pendidikan di Jogja. Suka berkelana serta menikmatinya. Dapat dihubungi via instagram @danang.kulo_real atau email [email protected].

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo