Legasi Kesultanan Demak di Jepara, Jawa Tengah antara lain menyuguhkan keragaman budaya Jawa, Cina, Islam, Hindu, dan Buddha. Di sini juga terdapat makam para pejuang dan tokoh penguasa Islam, yakni Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, dan Raden Abdul Jalil atau dikenal dengan Sunan Jepara.
Bulan lalu saya dan keluarga mengunjungi bulik yang tinggal di “Kota Ukir” tersebut. Selain bersilaturahmi, kami berniat berburu ukiran untuk menghias rumah. Zaki, sepupu saya berbaik hati mengantar kami ke sentra-sentra ukir di Jepara. Saya membeli beberapa vas dan tempat aksesoris yang dihias ukiran indah, sementara kakak saya membeli kaligrafi yang dibingkai dengan kayu berukir.
Menjelang Zuhur, Zaki mengajak kami ke sebuah masjid. Lokasinya berada di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Jepara. Dari pusat kota Jepara, jaraknya sekitar lima kilometer arah selatan. Sesuai dengan lokasi, masjid ini bernama Masjid Mantingan atau dikenal juga dengan Masjid Astana Sultan Hadlirin.
Gapura lengkung bertulis kalimat syahadat menyambut. Kami menaiki tangga berundak untuk masuk ke halaman masjid. Suasana asri langsung terasa begitu menapakkan kaki di halaman masjid yang banyak ditumbuhi tanamanan. Kendi-kendi berjajar rapi menghias latar masjid. Zaki bercerita, kendi-kendi tersebut menyimpan air yang dipercaya masyarakat Jepara bertuah untuk menguji kejujuran seseorang setelah meminumnya.
Perpaduan Kekayaan Budaya
Azan berkumandang. Kami langsung menuju tempat untuk berwudu dan bersiap melaksanakan salat Zuhur berjamaah. Usai ibadah, saya beranjak menuju dinding masjid yang dihiasi dengan panel relief. Saya amati bentuk-bentuknya yang beragam. Ada yang persegi, lingkaran, geometris, dan heksagon. Menariknya, di dalam panel-panel ini terdapat relief beraneka motif, mulai dari sulur, bunga, daun, untaian tali, bangunan, candi hingga binatang yang distilir (disamarkan).
Teknik stilir tersebut menunjukkan peralihan seni Hindu-Buddha ke Islam yang melarang menggambarkan makhluk bernyawa. Adapun relief geometris dan flora (sulur-suluran tumbuhan) merupakan adaptasi dari seni kaligrafi.
Panel relief tidak hanya terdapat di dinding depan masjid, tetapi juga ada di dinding belakang dan dinding pembatas antara ruangan tengah dengan ruang di samping kiri dan kanan. Saya hitung jumlahnya ada 51 panel relief yang terpasang. Zaki mengatakan totalnya ada 114 panel relief, sisanya disimpan dalam sebuah museum sederhana di samping masjid.
Tidak hanya panel relief yang menarik perhatian, arsitektur bangunan masjidnya pun menawan. Atapnya berbentuk tumpang, disangga dengan empat tiang atau soko guru. Terdapat mustaka di atasnya, khas masjid kuno Jawa. Masjid ini memiliki lantai tinggi yang ubin dan undak-undakannya didatangkan langsung dari Makau. Pengaruh seni Cina yang lain terlihat pada piring-piring tembikar berwarna biru yang menghiasi dinding luar masjid.
Jejak agama dan budaya Hindu juga tampak di area masjid seluas 2.935 meter persegi ini. Di antaranya gapura yang berbentuk lengkungan sebagai pintu masuk kawasan masjid, gerbang Candi Bentar pada makam, dan beberapa petilasan candi meski kini tak utuh lagi.
Jejak Sejarah Kesultanan Demak
Masjid Mantingan dibangun pada era Kesultanan Demak. Melalui prasasti “Rupa Brahmana Warna Sari” yang terukir di mihrab, diketahui pembangunan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak ini rampung pada 1481 Saka atau 1559 Masehi.
Pembangunan masjid tersebut diinisiasi oleh Ratu Kalinyamat. Dikutip dari buku Sejarah dan Hari Jadi Jepara (1988), nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retno Kencono. Ia adalah putri dari Sultan Trenggono (1521–1546), pemimpin kerajaan Islam Demak.
Sebelum diangkat menjadi sultan di Demak, Trenggono pernah menjabat sebagai bupati di Jepara. Di masa itulah, Pangeran Toyib—putra dari Sultan Aceh yang bernama Mughayat Syah—datang ke Jepara untuk berdakwah.
Pangeran Toyib dikenal sebagai seorang ulama sekaligus saudagar yang gemar berkelana menuntut ilmu hingga ke mancanegara. Salah satu negara yang ia singgahi adalah Campa, Tiongkok. Di sana ia diangkat menjadi anak seorang menteri kerajaan Campa bernama Tjie Hwio Gwan. Pangeran Toyib mendapat nama baru Tjie Bin Thang atau Win-tang dalam ejaan Jawa.
Kemudian, Win-tang dan Tjie Hwio Gwan hijrah ke Jepara. Mereka mendirikan desa Kalinyamat. Win-tang lalu dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Kehadiran mereka disambut baik oleh bupati Jepara. Singkat cerita, sang bupati menikahkan putrinya, Retno Kencono dengan Pangeran Kalinyamat. Ratna Kencana pun mendapat gelar sebagai Ratu Kalinyamat. Mereka berdua memimpin kerajaan Kalinyamat yang berada dalam wilayah Jepara.
Saat masuk menjadi anggota keluarga Kesultanan Demak, Pangeran Kalinyamat dianugerahi gelar Sayyid Abdurrahman Ar Rumi atau Sultan Hadlirin. Ia diberi gelar Sultan Hadlirin, yang artinya “Raja Pendatang” karena asal-usulnya bukan merupakan orang Jawa asli.
Ketika Trenggono diangkat menjadi sultan Demak, Jepara diserahkan kepada Pangeran dan Ratu Kalinyamat. Wilayah kekuasaan Kerajaan Kalinyamat meluas meliputi Jepara, Kudus, Pati, Mataram (Jogja dan Solo yang masih hutan belantara). Di bawah kepemimpinan keduanya, Kerajaan Kalinyamat mencapai masa kejayaannya.
Ayah angkat Pangeran Kalinyamat, Tjie Hwio Gwan turut membantu pemerintahaan kerajaan Kalinyamat dan menjadi patih bergelar Sungging Badar Duwung. Ia juga yang mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.
Perebutan Takhta dan Kematian Sultan Hadlirin
Sultan Hadlirin memimpin Kerajaan Kalinyamat sampai tahun 1549. Ia tewas di tangan utusan Arya Penangsang yang berupaya berebut takhta kerajaan Demak. Semua berawal dari perseteruan antara anak-anak Raden Patah (Jin Bun), raja pertama Kesultanan Demak. Raden Patah memiliki enam putra dari tiga istrinya: Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Surowiyoto, Pangeran Trenggono, Raden Kanduruwan, dan Raden Pamekas.
Sepeninggal Raden Patah, takhta diturunkan kepada Pangeran Sabrang Lor atau dikenal dengan Pati Unus. Penobatan ini tidak ada yang menentang. Semua berlancar mulus lantaran Pati Unus merupakan putra mahkota tertua dari istri pertama. Secara silsilah memang dia yang paling berhak menduduki tampuk kekuasaan.
Api pertikaian mulai tersulut ketika Pati Unus mangkat atau wafat pada 1521 tanpa meninggalkan putra. Terjadilah perebutan takhta antara Pangeran Surowiyoto dan Pangeran Trenggono.
Kedua belah pihak saling mengklaim paling berhak menjadi pemimpin kesultanan Demak. Pangeran Surowiyoto atau yang dikenal juga dengan Raden Kikin merasa berhak menggantikan Pangeran Sabrang Lor karena dialah yang berusia paling tua. Masalahnya, Raden Kikin adalah putra dari istri ketiga. Sementara Trenggono, walaupun usianya lebih muda, tetapi ia merupakan anak dari istri pertama Raden Patah.
Perseteruan kedua putra raja dan para pendukungnya tersebut berlangsung sengit hingga menumpahkan darah. Raden Kikin tewas dibunuh oleh anak buah Sunan Prawoto yang tidak lain adalah putra sulung dari Trenggono. Mahkota pun jatuh ke Trenggono. Perebutan kekuasaan antara putra Jin Bun ini tercatat dalam kronik Tionghoa dari klenteng Sam Po Kong di Semarang dengan tarikh tahun 1521.
Sultan Trenggono tewas dalam perang Panarukan tahun 1546. Meninggalnya Sultan Trenggono ini membuka kesempatan Arya Penangsang, putra Raden Kikin untuk merebut takhta. Dalam buku Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia (2020) karya Binuko Amarseto, disebutkan Arya Penangsang memiliki dendam kesumat terhadap keluarga Sultan Trenggono, terutama Sutan Prawoto yang menjadi dalang terbunuhnya ayahanda.
Arya Penangsang pun bersiasat mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya. Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa pada tahun 1549 Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto dan berhasil membunuhnya. Rangkud juga tewas terkena tusukan keris Sunan Prawoto. Tidak berhenti menyingkirkan Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Adipati Jepara, Sultan Hadlirin yang dianggap sebagai kandidat kuat Sultan Demak berikutnya.
Kematian Sultan Hadlirin membuat Ratu Kalinyamat sedih dan murka. Ia bersumpah akan bertapa hingga Arya Penangsang terbunuh. Untuk mengatasi kesedihannya, Ratu Kalinyamat membuatkan makam serta masjid di daerah Mantingan yang dipersembahkan untuk suaminya, Sultan Hadlirin.
Referensi
Amarseto, B. (2020). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Istana Media.
Na’am, M. F. (2018). Pertemuan antara Hindu, Cina dan Islam pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan Jepara. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten jepara.
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.