Lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang mengantar saya melakukan perjalanan meniti aliran sungai Bengawan Solo. Tepatnya di Bandar Beton, Kampung Sewu, Jebres, Solo (Surakarta). Kampung Sewu Solo berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Aliran sungai Bengawan Solo melintas tepat di perbatasan kedua wilayah tersebut. Rekan sejawat, Heri Priyatmoko, menemani perjalanan saya kali ini. Ia berkisah banyak mengenai masa lalu Bengawan Solo.

Mungkin berkunjung ke tempat ini tidak menarik bagi sebagian orang, karena hanya menyaksikan arus sungai berwarna kecoklatan. Namun, jika melihat dari sudut pandang berbeda, kita akan menemukan sesuatu yang tidak mungkin kita temukan di aliran sungai lain. Terlebih Bandar Beton di Kampung Sewu adalah saksi bisu perjalanan perkembangan Kota Solo, serta menjadi pusat jalur perdagangan sejak era Mataram Islam.

Walau sudah tidak lagi menjadi jalur perdagangan, sisa-sisa kejayaan sungai terpanjang di Pulau Jawa itu masih cukup terasa. Tak ayal, Gesang menciptakan lagu Bengawan Solo karena menyimpan memori yang luar biasa bagi Kota Solo. Sekalipun kondisi sungai Bengawan Solo saat ini jauh dari kata sempurna, seperti lagunya.

Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan
Aliran Bengawan Solo dari arah hulu/Ibnu Rustamadji

Jejak Perdagangan di Era Mataram Islam

Bandar Beton merupakan pelabuhan dagang Mataram Islam yang ada di wilayah Beton, Kampung Sewu. Pada masa itu, supaya bisa memasuki wilayah Kota Solo, para pedagang harus melalui Bandar Beton terlebih dahulu. Lalu menggunakan perahu sejenis jung berukuran lebih kecil menuju tujuan.

“Sebenarnya Bengawan Solo kala itu mampu dilewati kapal dagang karena cukup lebar. Namun, semakin ke hulu sungai luasannya menyempit. Tentu dibutuhkan kapal jung untuk mempermudah akses barang dan orang,” jelas Heri. 

Heri menambahkan, ketika Kerajaan Mataram Islam pindah dari Kartasura ke Solo, keberadaan Bandar Beton menjadi makin vital. Selain perdagangan, juga berfungsi untuk transportasi utama keluarga dan prajurit militer kerajaan.

“Lebar Bengawan Solo saat ini tentu sudah berubah. Artinya, dulu ketika penuh kapal dagang, luar biasa ramai dan lebar sungainya,” batin saya ketika pertama kali melihat dari tepian sungai. Faktanya demikian. Selain sedimentasi, juga disebabkan pengembangan ruang daerah aliran sungai Bengawan Solo.

Sebagai pusat nadi perdagangan di wilayah Solo dan Yogyakarta, barang-barang kualitas ekspor macam gula, kopi, dan kain sutra melintasi Bengawan Solo. Semua dagangan dibawa oleh pedagang Cina dan Arab dari negeri seberang dan menjualnya ketika singgah di Surakarta.

“Warga Bandar Beton juga menjalin perjanjian dengan para pedagang asing. Tak ayal menjamur gudang pedagang asing berisi komoditas, dengan mengambil pekerja dari warga Bandar Beton sendiri. Lazim kala itu,” terang Heri.

Salah satu wujud perjanjian dagang yang pernah terjadi adalah jual beli opium atau candu. Angkutan sungai Bengawan Solo di abad ke-18 sampai dengan abad ke-19 turut memperlancar perdagangan opium.

Heri mengungkapkan, mereka mendatangkan opium dari Batavia menuju Solo. Mulanya menumpang perahu dagang untuk masuk ke Bandar Beton, kemudian pakai jung hingga hulu Bengawan Solo di Laweyan. Tempat para saudagar batik tinggal.

“Opium atau candu dibeli oleh pekerja pembatik, istilahnya dulu ‘wong madat’ atau pemakai opium. Jejak bandar opium masih ada di Laweyan,” tambahnya.

Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan
Salah satu temuan di area Bandar Beton, berupa dudukan wadah hio/Ibnu Rustamadji

Perubahan Drastis Bandar Beton di Masa Cultuurstelsel

Hanya saja, eksistensi Bandar Beton di aliran Bengawan Solo berubah sejak tahun 1830 akibat kebijakan cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) oleh Van Den Bosch. Dampaknya terhadap Bandar Beton cukup masif dan mengubah ekosistem Bengawan Solo.

Pembukaan lahan perkebunan di sekitar aliran Bengawan Solo, membuat Bandar Beton tidak layak lagi menjadi pelabuhan kota. Selain pendangkalan, juga sering terjadi banjir. Para pedagang yang sudah telanjur menetap sementara di kota, mereka memutuskan pindah ke kampung sekitar Bandar Beton. Tidak sedikit dari mereka yang tinggal di kawasan Laweyan, sehingga lahirlah pengusaha kelas atas di kedua kampung tersebut.

Tak pelak hanya sekitar 50% pedagang asing yang masih menggunakan Bandar Beton. Mereka tidak tahu jalur perdagangan alternatif lainnya di Kota Solo. Bagi mereka yang sudah menetap beralih ke moda transportasi yang lebih modern, yakni kereta api. 

“Kereta api kala itu sangat vital. Meski mahal dan tidak semua orang bisa naik, tetapi menyambung seantero Pulau Jawa,” kata Heri.

Kebijakan kolonial tersebut bukan hanya merugikan pedagang, melainkan juga Pura Mangkunegaran dan Keraton Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Upaya keduanya dalam melakukan normalisasi Bengawan Solo hanya sekitar 70%. 

Puncak kejayaan Bandar Beton pun akhirnya runtuh. Menyerah dengan keadaan. Terutama sejak Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels atau De Groote Postweg terbangun memasuki kawasan kerajaan di Surakarta (Solo) hingga Yogyakarta.

Menurut Heri, perkembangan kota yang cukup pesat membuat Bengawan Solo dan Bandar Beton hanya tinggal kenangan. Persis seperti tergambar dalam penggalan lirik lagu ciptaan Gesang: 

Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi…
Perhatian insani

Musim kemarau
Tak seberapa airmu
Di musim hujan air…
Meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air meluap sampai jauh
Dan akhirnya ke laut

Itu perahu
Riwayatnya dulu
Kaum pedagang selalu…
Naik itu perahu

Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan
Tambatan perahu penyeberangan tradisional di Bandar Beton, Jebres, Solo/Ibnu Rustamadji

Kisah Bapak Pendayung Perahu di Bengawan Solo

Seiring berkembangnya zaman, kerusakan ekologis dan ekosistem di Bengawan Solo turut berdampak besar pada hilangnya sisa kejayaan peradaban Bandar Beton. Bingung, kaget, dan heran adalah hal pertama yang saya rasakan campur aduk ketika menyaksikan langsung bekas pelabuhan Bandar Beton.

Apakah Bandar Beton sama sekali tidak ada sisanya? Tentu ada, tetapi mungkin sudah tertimbun endapan lumpur Bengawan Solo. Tidak mudah melakukan penggalian untuk mencari bukti-bukti arkeologis. Butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit jika ingin menemukan kembali jejak Bandar Beton. 

Bahkan mungkin tidak hanya reruntuhan Bandar Beton saja, tetapi juga kapal-kapal dagang yang karam di sepanjang aliran Bengawan Solo. Saya pun berharap suatu saat reruntuhan Bandar Beton bisa ditemukan. Sebagai pengingat eksistensi Bandar Beton di Kampung Sewu.

Walau begitu, saya cukup senang masih menemukan perahu penyeberangan tradisional di Bengawan Solo. Hal yang cukup langka, khususnya bagi kalian yang tidak pernah menyaksikan. Bagi saya, perahu penyeberangan tradisional ini adalah gambaran kesibukan pelabuhan Bandar Beton kala itu. Sayangnya saya lupa nama si bapak pendayung perahu itu karena terlalu asyik mengobrol selama penyeberangan. Bermula dari keisengan saya mengajak Heri untuk menyeberang ke wilayah Kabupaten Sukoharjo.

Bapak itu sudah bekerja selama 35 tahun di jalur penyeberangan Bengawan Solo. Penyeberangan tradisional yang menghubungkan antara wilayah Bandar Beton dengan Sukoharjo. Bertambahnya usia tidak menyurutkan niat si bapak untuk membantu warga menyeberang sungai Bengawan Solo. Padahal kondisi perahu miliknya jauh dari kata layak dan berbahaya.

“Sebenarnya perahu ini untuk memancing atau menjaring ikan, tetapi juga saya gunakan untuk menyeberangkan orang dan motornya. Pokoknya pelan-pelan asalkan semua selamat sampai seberang.” jelasnya.

Perjuangan yang patut diapresiasi. Namun, beliau tidak mau menuntut lebih. Si bapak sudah bersyukur, jika para pengendara yang membutuhkan bantuan memberinya sedikit upah atas jasanya. Itu pun lebih dari cukup, ungkapnya.

“Mau dikasih seribu rupiah atau tidak, juga tidak ada masalah apa-apa. Seringnya saya dikasih Rp2.000 sekali berangkat. Kalau lagi rame bisa Rp25.000-an pergi-pulang menyeberang. Saya tidak maksud untuk dikasihani, cuma karena bisanya saya seperti ini, ya, dimaklumi,” terang si bapak.

Selama lebih dari tiga dasawarsa bekerja di Bengawan Solo, tentu banyak pengalaman manis dan pahit yang beliau rasakan. Termasuk saat banjir bandang tahun 1966. Seluruh Kota Solo, yang terletak di cekungan, tenggelam karena jebolnya tanggul di tepian Bengawan Solo. Si bapak pun pontang-panting bersama ratusan warga lain untuk mengungsi ke dataran yang lebih tinggi.

“Kata orang tua saya dulu, banjir 1966 termasuk yang terparah kedua setelah zaman Belanda. Satu kota tenggelam, warga semua bingung, tiba-tiba air ini [Bengawan Solo] sudah masuk permukiman. Rumah langsung tenggelam bersama seluruh perabot. Pokoknya itu zaman sengsara, seperti zaman Belanda,” kenangnya.

Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan
Pesepeda menyeberangi Bengawan Solo. Selain ancaman keselamatan, sungai ini juga menyimpan bahaya banjir di masa mendatang jika ekosistem sekitar tidak dijaga/Ibnu Rustamadji

Ironi di Balik Keindahan Bengawan Solo

Pernyataan bapak tersebut diperkuat temuan Heri mengenai musibah banjir bandang pada 1966 dan banjir zaman Belanda. Menurutnya, banjir 1966 memiliki keterkaitan dengan banjir di zaman kolonial. Ambrolnya tanggul di tepi sungai Begawan Solo karena debit air yang cukup besar dari daerah hulu.

Seluruh kota tergenang. Posisi jebolnya tanggul berada di sekitar Semanggi, Pasar Kliwon, tetapi dampaknya luar biasa. Bayangkan saja debit air sungai seperti sekarang, tanggul tepi ambrol. Hancur sudah, ungkapnya seraya menunjuk aliran hulu sungai.

Tidak hanya warga pribumi, orang Belanda yang tinggal di Solo pun ikut panik. Jelas panik bukan kepalang, ketika tiba-tiba air bah memasuki kampung dan rumah mereka.

“Banjir tiba-tiba, tentu wabah penyakit merebak. Anak-anak keturunan Belanda dan pribumi kena imbasnya. Adapun mereka yang mampu bertahan hidup, akhirnya kembali ke Belanda. Banyak juga dari mereka yang akhirnya wafat akibat ‘virus’ banjir,” tandasnya.

Mengingat dahsyatnya banjir tersebut, pemerintah Belanda di Kota Solo membangun kantor pengairan bernama “Opak” Irrigatiewerken di Loji Wetan, timur Benteng Vastenburg. Sekarang gedungnya rusak parah. Tujuan dan fungsi kantor tersebut, salah satunya adalah mengurus aliran sungai Bengawan Solo.

“Seperti pepatah, air tenang menghanyutkan. Benar adanya dan terbukti oleh Bengawan Solo,” kataku.

Menarik memang aliran sungai Bengawan Solo ini. Selain nilai sejarah, juga menyimpan memori kelam mengenai tragedi dua kali bencana banjir bandang. Meski saat ini hanya tinggal aliran sungai seperti lazimnya, jika ekosistem alam dan lingkungan Bengawan Solo tidak kita jaga, tentu bencana banjir bandang sewaktu-waktu bisa terjadi kembali.

Ironis memang, di balik keindahannya ternyata menyimpan bahaya yang terus mengintai warga yang tinggal di sekitarnya. Masyarakat harus tetap menjaga keseimbangan alam, terutama dengan Bengawan Solo. Jangan malah merusak, jika kita tidak mau dirusak oleh banjir.

Semoga semua makhluk hidup, dapat saling hidup berdampingan.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar